May masih heran, kenapa ada yang menciptakan kancing baju. Apalagi kerah yang membuat leher orang-orang tergesek-gesek itu. Seperti digesek pisau. May juga tak menyangka akan menikah. Dulu ia pernah memutuskan tak akan pernah tidur dengan pria mana pun. Ringkasnya, ia tak ingin menikah.
Tak mungkin ada laki-laki yang betul-betul jatuh cinta. Katanya suatu hari di depan mesin gulali. Tentu, pembuat gulali itu kebingungan, sebab pembuat gulali itu laki-laki, yang barangkali sudah beristri dan beranak. Tapi tetap saja, May curiga pada semua lelaki di dunia ini. Tak ada laki-laki yang benar-benar jatuh cinta.
Pembuat gulali itu hanya menggaruk lehernya. Tugasnya di situ hanya jualan dan membuat gula darah orang-orang naik. Pembuat gulali itu sendiri juga heran, kenapa ada yang membeli gulali miliknya. Itu hanya gula. Rasanya ya gula.
Tapi, di pasar malam, gulali sama pentingnya dengan bianglala. Apa pun yang berwarna cerah, mesti ada di pasar malam. Meski pasar malam yang sedang May datangi bukan pasar malam biasa. Pasar malam ini luas. Tak ada ujungnya. Dari benua satu ke benua lain. Pasar malam ini seluas bumi. Tenda-tenda kecil tersebar seperti pepohonan di hutan. Tenda-tenda besar tersebar seperti perbukitan. Di setiap kota, ada tenda sebesar gunung untuk loket.
Tenda-tenda besar berisi sirkus yang tak pernah pulang. Mereka hanya berpindah dari satu tenda ke tenda lain. Mereka tak punya rumah. Mereka adalah sirkus nomad. Dan May berniat menyusup masuk ke kelompok mereka.
Pertama-tama, May mesti berlatih hipnotis. Minimal ia bisa masuk ke dalam alam bawah sadar penonton dan mengontrolnya. Kedua, ia mesti pura-pura tak berumah. Jadi gelandangan. Ikut karavan sebagai tukang bersih-bersih. Saat pertunjukan dimulai, ia mesti berlari ke tengah sirkus, pura-pura sedang membersihkan lapangan, lalu dengan mengejutkan membuat penonton semua tertidur. Pastilah pemimpin sirkus berjanggut tebal itu langsung mempekerjakannya sebagai pemain. Tapi sebelum melangkah ke rencana kedua, ia mestilah menyelesaikan langkah pertama.
Tataplah baik-baik gulali itu, Tuan. Kata May tiba-tiba. Ia menatap duluan gulali itu supaya Tuan Gulali mengikutinya.
Tentu, Tuan Gulali tak langsung mengikuti apa mau perempuan di depannya.
Jika tidak, aku akan pergi. Lagi pula apa susahnya.
Mungkin perempuan itu sedang menjalani hidup berat atau baru saja diusir dari rumahnya. Ia butuh hiburan.
Tuan Gulali mulai gontai. Matanya berwarna merah muda seperti gulali. Mesin itu terus berputar. Gula-gula bertabrakan seperti planet-planet kecil di dalam bimasakti. Hancur lalu memanjang, saling melilit, mengembang, menjadi jaring-jaring, menjadi sekumpulan bulu-bulu awan.
Gula-gula itu adalah butiran ingatanmu, Tuan Gulali. Semua ingatan mengkristal, tapi karena terus berputar-putar di kepala, ia akan jadi bulu-bulu awan.
Temukan bulu-bulu awan itu. Temukan. Jatuhkan tubuhmu di ujung itu. Meski kau percaya bahwa tak pernah ada ujung. Ujung tak pernah ada di dalam kepala. Setiap ujung mempertemukan ujung-ujung lainnya. Setahun lalu. Sepuluh tahun lalu. Setengah abad lalu. Ujung-ujung kosong itu, saat kau dilahirkan dengan tergesa-gesa. Masukilah. Masukilah semak-semak berbulu awan itu. Semua gula sebetulnya pahit. Semua orang ditipu lidah mereka sendiri. Masukilah. Jangan dirasakan. Ada yang perlu dibangunkan. Dirimu yang lain, yang sedang tidur di ujung itu. Selamatkanlah. Goyangkan tubuhnya.
May merapal semacam mantra. Ia sama sekali tak menatap mata Tuan Gulali. Ia masih menatap gulali yang berputar di meja.
Tuan Gulali pun ambruk. May segera mengambil alih mesin gulali. Tuan Sirkus sudah hampir sampai. Derap roda-roda karavannya sudah mendekat. May hanya perlu menarik perhatikan Tuan Sirkus itu. Ia tak perlu jadi gelandangan dan menyusup.
Tidak. Kami tidak butuh tukang hipnotis. Penonton punya kerajaan hitamnya sendiri-sendiri. Mereka tidak suka ada yang masuk dan ikut campur. Apalagi dikontrol. Mereka ingin dihibur, bukan jadi hiburan.
Tuan Sirkus mengencangkan suaranya lalu pergi.
Rencana ketiga. May tak perlu menghipnotis penonton. Tapi tetap mesti menghibur. Artinya ia mesti mencari objek penghibur.
May kembali merapal semacam mantra. Semacam sugesti. Tuan. Tuan Gulali. Anak kecil dalam dirimu itu. Iya betul. Anak kecil berusia 10 tahun yang pernah kau bunuh mimpinya itu, cepat bangunkan. Ia masih punya usia hidup yang panjang. Mari kita lihat bersama-sama, apa yang bisa ia lakukan.
Dan, bah!
Tuan Gulali terbangun dan seketika meloncat ke atas meja. May tak pernah melihat seorang tua meloncat setinggi itu. Tuan Gulali mengeluarkan ribuan kupu-kupu dari lubang bajunya. Berputar-putar di udara. Membentuk gulali berwarna kuning. Kepakan sayapnya, May ingat betul suara kepakan itu. Suara tepuk tangan di pesta pernikahannya. Suara yang aneh.
Mengapa orang-orang bertepuk tangan untuk keputusan orang lain. Bisa jadi, keputusannya sangat buruk. Di antara riuh tepuk tangan itu, ibunya berbisik, Keputusan itu sendiri sudah pantas untuk dirayakan. Salah atau benar. Itu tak masalah. Meski menurut May keputusan yang pernah diambil ibunya jelas-jelas salah.
Tuan Gulali itu berputar-putar di atas meja mesin gulali. Seperti pusat bimasakti. Semua kupu-kupu mengitarinya.
Dulu aku ingin jadi pesulap. Suara Tuan Gulali ikut berputar.
Kau pastilah pesulap yang hebat. May dengan sigap memegangi meja reot itu supaya tidak ambruk.
Aku ingin menyulap seluruh dunia supaya mengelilingiku.
Tak ada yang tak mungkin.
Benarkah?
Tuan Gulali minta diyakinkan. Seperti anak kecil usia sepuluh tahun. May sendiri ragu. Tapi, memangnya apa itu seluruh dunia? Bagi May sendiri, mimpi di dalam tidurnya adalah seluruh dunia.
Kita ini awalnya adalah bintang. Kita semua pernah dimasak di dalam kobaran api bintang. Semua unsur yang membentuk kita dan bumi ini dibentuk di dalam perut bintang.
Tuan Gulali masih tak berhenti berputar. Seperti ingin mendahului bayangannya sendiri.
Kita ini bintang. Kita ini bintang. Kitainibintang.
Suaranya makin tak jelas. Kata-kata menempel. Menyambung dan berderet-deret. Seperti percikan api dari gasing yang berputar. Terang mirip lecutan api. Tapi itu masih kata-kata. Sekarang sudah menjadi suara. Apa pun makna di dalamnya, percikannya sudah terlanjur menarik perhatian orang-orang dari kejauhan. Tak ada yang peduli pada makna saat pertama dengar.
Orang-orang yang lalu lalang mulai mendekat. May pikir, mereka pastilah sudah biasa melihat pertunjukan sulap semacam itu. Tapi kata-kata itu. Mereka memperhatikan baik-baik kata-kata Tuan Gulali.
Selamat datang, kalian semua. Selamat datang di pertunjukan sekali putaran. Seluruh dunia berputar. Seluruh dunia bermandi cahaya. Seluruh cahaya mencari-cari jalan gelapnya sendiri. Tapi di sini. Kalian akan berputar bersamaku. Hormatilah planet-planet ini. Hormatilah bola matahari. Semuanya mesti berputar dan menimbang-nimbang. Sulap seperti apakah yang akan terjadi. Tapi tunggu dulu. Tidak semua sulap mengagetkan. Kadang-kadang sudah lebih dulu mengalir di balik kulitmu. Dengarlah. Suara itu. Suara darahmu yang melaju!
Tuan gulali mengeraskan suaranya hingga menarik perhatian lebih banyak pengunjung.
Ha!
Mirip teriakan. Bukan. Tuan Gulali tertawa. Lagi pula kenapa ia tertawa? Mirip tawa anak berusia sepuluh tahun.
Kupu-kupu yang berputar itu tiba-tiba menyebar. Orang-orang dewasa yang baru saja tiba malu-malu mengangkat jari. Siapa tahu, kupu-kupu itu mau hinggap.
Kali ini kunang-kunang. Keluar dari sepatu milik Tuan Gulali. Sepatu itu ia angkat tinggi-tinggi. Kunang-kunang berputar-putar. Seperti bintang. Seperti air yang mengelilingi lubang. Anak-anak kecil mengeluarkan stoples kaca. Menunggu kunang-kunang itu menyebar. Kapan lagi mereka bisa menangkap cahaya dan membawanya pulang.
Anak-anak sekalian. Anak-anak yang sebentar lagi mati. Anak-anak yang takut bermimpi. Anak-anak yang sebentar lagi kaget pada kecepatan waktu. Cepat larilah. Larilah dan masuk ke dalam tenda-tenda sirkus itu. Jadilah anak-anak selamanya. Penonton terhibur bukan karena tua. Yang terhibur adalah anak-anak di dalam dirimu.
Tuan Gulali mencoba meyakinkan orang-orang.
Kunang-kunang di mata kaki. Rambut-rambut. Kuping-kuping. Kunang-kunang di udara. Di atas langit. Jadi satu dengan bintang-bintang. Tak lagi bisa dibedakan.
Jangan jatuh cinta. Tak ada manusia yang sanggup jatuh cinta.
Tuan Gulali mengakhirinya dengan berbisik.
Kunang-kunang berhenti di tempatnya. Mematung. Seperti jeda dalam sebuah irama. May ingin menari. Tiba-tiba ingin menari.
Di luar pagar-pagar yang membatasi tenda, bendera-bendera berwarna tua berkibaran seperti api. May berjalan meninggalkan kerumunan. Meninggalkan mesin gulali. Ia tahu Tuan Gulali ingin bersenang-senang dengan penontonnya sendiri.
Ia melihat gulungan tali dibawa oleh tukang panggul sirkus. Tubuhnya besar berjalan pelan. Ia ingin menari di atas tali itu. Di atas kobaran api. Tapi ia bukan pemain akrobat. Pastilah penonton tidak terima jika ia tiba-tiba terjatuh lalu tiba-tiba hidup kembali. Itu mudah bagi May.
Ia masih menimbang-nimbang. Sebetulnya ia tukang hipnotis atau penyihir.
Sirkus tak suka hipnotis, tapi kalau penyihir, semua orang suka penyihir jahat. Semua orang ingin memantrai orang lain yang mereka benci dengan sihir paling jahat. Semua orang ingin jadi penyihir. Semua orang tak puas dengan 5 indra serta sepasang kaki dan tangan.
Tuan-tuan kepala sirkus itu pastilah ingin menyihir tenda miliknya, sehingga ketika dikeluarkan dari peti bisa langsung mengembang dan berdiri sendiri. Tak perlu repot-repot membayar juru tali dan tukang kayu.
Malam mulai berkabut. Sirkus-sirkus lama pergi. Sirkus-sirkus baru datang. Penonton masih antre karcis di tempat yang sama. Penonton adalah tuan rumah. Seluruh sirkus adalah tamu mereka.
Kau harus minum! Kata penjual limun di seberang jalan.
Sari-sari buah berwarna kuning itu digoyang-goyangkan. Botol kacanya memantulkan wajah May. Ia ingat. Ia seharusnya tak semuda itu.
Jangan gugup. Ambillah. Minumlah ini. Semua orang di pasar malam ini memang menjadi muda lagi. Sebagian besar malah menjadi kanak-kanak. Jadi, lupakan pekerjaanmu. Ambillah limun ini supaya kau bisa melanjutkan perjalanan.
Tapi, aku akan tersentak jika limun itu masam, Nyonya. May ragu-ragu tapi mendekat.
Tidak ada rasa masam di pasar malam. Semuanya manis dan hingar bingar. Nyonya penjual limun itu tersenyum lebar hampir tertawa. Giginya hitam. Lebih mirip seperti penyihir tua.
May menyerah. Ia meraih botol kaca itu dan menggoyang-goyangkannya sebentar. Wajahnya muda. Memantul dan bergoyang.
Pengeras suara di mana-mana. Mengisi udara. Bertumpuk suara sana-sini. Tapi selalu yang diumumkan adalah kedatangan atraksi akrobat, badut, binatang terlatih, aksi trapeze, berjalan di atas tali, juggling, sepeda roda satu, dan semua yang baru saja tiba.
Selamat datang di Bourdou. Alun-alun pasar malam yang tak pernah ada matahari terbit. Bourdou adalah kota pelarian. Kau tahu? Kata penjaga loket dengan berapi-api. Ia menarik lagi karcisnya sebelum memberikannya pada May dan bertanya. Apa tujuan hari menggelap? Untuk menyembunyikan lelah? Lantas mengapa orang-orang di semua kota mencuri-curi waktu malam untuk menikmati hidup? Dalam waktu yang singkat dan berbatasan dengan kantuk itu. Kau mesti tahu, malam di kota ini tak memiliki warna muda, garis simetris, dan suara yang dipersiapkan dengan baik. Semua serba tiba-tiba. Di udara. Di ruang hampa itu rasa kehilangan akan memudar pelan-pelan. Penjaga loket itu mengakhiri sambutannya seperti seorang pesulap. Matanya menerawang ke sana ke mari. Tangannya mencubit-cubit udara.
Rombongan sirkus baru datang dengan seratus karavan. Tanah-tanah lapang tiba-tiba menjadi semakin luas. Semua sirkus punya wilayah mereka sendiri-sendiri dan semua pekerja punya pekerjaan mereka sendiri-sendiri.
Tenda masak didirikan di dekat bukit. Saat makanan telah siap, bendera dikibarkan dari atas tenda. Rombongan lain telah mendirikan tenda binatang dan tenda untuk pertunjukan sampingan. Anak-anak kecil dari kota juga ikut bekerja. Beberapa mengangkut ember-ember air untuk gajah-gajah. Bayaran mereka adalah menonton gratis pertunjukan.
Di jalanan utama, kerangkeng-kerangkeng binatang liar dan antrean gajah dipamerkan. Badut-badut, menunggang kambing dan sepeda-sepeda tinggi, masuk keluar di sepanjang parade. Iring-iringan diakhiri peluit lokomotif calliope. Seperti suara air teko mendidih.
Di dekat pintu masuk, empat gajah diikatkan pada tiang-tiang panjang. Ujung tiang dimasukkan ke dalam gelang kain tenda, lalu setiap gajah menyeret ujungnya sampai tiang berdiri tegak. Setelah tiang berdiri tegak, generator listrik dinyalakan untuk lampu.
Tak jauh dari lahan kosong berisi sepeda roda satu yang sudah rongsok, seorang penunggang kuda menggosok bulu kuda miliknya di bawah lampu gantung kandang. Bulu-bulunya mengilat memantulkan sinar bulan.
Di lapangan sebelahnya, anak-anak sirkus belajar salto, berjalan di atas tali, lempar-tangkap banyak benda, dan melayang dari ayunan.
Bisakah kau menghilangkan gravitasi? Tanya seorang anak sirkus yang sedang berlatih. Melayang dari ayunan.
Maaf? Sejenak May seperti kehilangan pendengarannya.
Iya. Aku tidak suka gravitasi. Bisakah kau menghilangkannya? Bukankah kau yang menciptakan tempat ini? Tanya anak laki-laki itu setelah meloncat tepat di depan May.
Tentu, May tidak siap dengan keyakinan anak itu. Bisa jadi, semua anak di sirkus ini mengenal May sebagai orang penting. Lagi pula kenapa mereka ingin menghindari gravitasi? Pikir May. Mereka hanya akan melayang-layang di udara. Dan pastilah pertunjukan melompat dari ayunan itu tak lagi menarik. Tak ada suasana tegang. Penonton suka pada batas antara jatuh atau tidak jatuh. Berhasil atau tidak berhasil. Mati atau selamat. Anak-anak sirkus itu mestilah mengerti. Ia tidak sedang bermain melainkan memberi makan ketakutan penonton. Orang-orang ingin melihat ketidakmungkinan dihadapi. Perasaan takut lalu lega. Penonton kecanduan pada itu.
Sebaiknya kalian tetap mempertahankan gravitasi. Saran May singkat.
Semua anak mengidolakan seorang Ringmaster. Pemimpin sirkus. Poster-posternya dipajang di semua pintu masuk kota dan perkemahan. Besar-besar. Memakai setelah Barnum. Tuxedo merah lengan panjang dan berekor. Bahu berumbai. Garis-garis dada dari tali-tali emas dikepang. Kerah tegak. Topi hitam besar. Kaus tangan putih. Dan tentu sebuah tongkat.
Ringmaster lahir sebagai anak serbuk gergaji. Hidupnya ada di atas serbuk gergaji yang disebarkan di lantai tenda-tenda besar. Tugasnya menyambut penonton sebelum pemain masuk. Mengendalikan penelan pedang, orang setengah pria setengah wanita, orang cebol, orang berkulit albino, orang berkaki empat, dan orang-orang berfisik aneh lainnya.
Tuan-tuan dan nyonya-nyonya.
Seorang Ringmaster berdiri di tengah-tengah ring sirkus membuka pertunjukan.
Inilah penari hulahop kami. Ia telah menari selama 10 tahun. Ia adalah wujud awal kehidupan elang. Keinginan besar kita. Maju dan terbang tinggi.
Kau harus mengunjungi tempat orang menangis. Seorang anak sirkus melintas dengan sepeda roda satunya. Berputar-putar lalu masuk ke cincin api.
Tempat orang menangis! Dekat bianglala… Suaranya menjauh.
May terdiam. Biasanya orang menangis di dalam selimut atau disimpannya baik-baik. Tapi kabarnya ada tempat megah dan bergaung. Sebuah tenda besar dengan tempat duduk melingkar berbentuk oval di sekeliling ring utama. Orang-orang menangis sendiri-sendiri. Di tempat terbuka. Ada penonton, tukang masak, dan pemain akrobat. Beberapa baru masuk. Beberapa keluar, mengenakan bajunya kembali, mengelap matanya lalu tersenyum.
Tapi May masih ingin menari. Sambil menangis.
Silakan masuk. Mau menangis berapa lama? Seorang penjaga pintu tidak tanya masalahnya apa saat May berdiri di antrean. Semua orang perlu menangis. Seberapa pun kecilnya masalah.
Tapi May malah meluncur ke tengah-tengah. Berputar dan menangis. Pastilah itu karena cinta. Bisik orang-orang yang sejenak berhenti menangis. Di bangku mereka masing-masing. Jauh-jauh. Terpisah-pisah. Sendiri-sendiri.
Cinta membuat orang ingin menari, tapi juga menangis. Semua tahu itu, tapi tidak ada yang menyangka itu bukan hanya metafora. May melakukannya.
Sepertiga hidup kita adalah mimpi. Aku menikahinya hanya untuk sepertiga hidupku. Itu lebih dari cukup. Kata May pada seorang pengunjung lain. May kelelahan. Tapi puas. Tapi kelelahan.
Apa yang membawamu ke sini? Tanya seorang Ringmaster.
Aku suka sirkus.
Tidak. Tidak. Maksudku, apa yang membuatmu ingin berlama-lama di sini, sampai-sampai kau merelakan tiga perempat hidupmu?
Tak ada sirkus semeriah ini di tiga perempat hidupku. Aku sedang mencari Nukila Amal. Ada suara yang ditahan May.
Misi besar May bukan ingin menjadi tukang hipnotis atau penyihir. Ia merasa perlu mencari pengrajin metafora di perkemahan itu. Barangkali, jika ia bisa bergabung dengan salah satu sirkus, pengrajin metafora dapat melihatnya.
May benar-benar tak ingin menikah. Ia sebetulnya masih tak ingin. Semua cinta selalu berakhir mengenaskan. Tapi, dari jeda yang mengenaskan itu, ia bisa lari ke dalam mimpi. Cinta yang amat sedikit dan sebentar itu, bisa dilupakan dengan tidur.
Di pasar malam tak lagi ada batu. Kabarnya batu-batu itu pergi. Mereka selalu dikutuk sopir karavan karena membuat roda hancur.
Hei, hei! Batu!
Dua orang petugas berpakaian sipir berdiri di depan meja seorang penujum. Katanya dilarang memakai batu. Tak boleh ada batu di Bournou. Tapi penujum itu lebih butuh batu daripada kartu tarot, bola ramal, atau arloji tua. Katanya, batu adalah nenek moyang paling tua manusia. Ibu dari segala ibu. Batu telah menyelamatkan peradaban. Dan batu mestilah ada di meja penujum. Mana mengerti dua petugas bermata cokelat itu. Mereka hanya menjalankan tugas. Entah tugas dari siapa.
Penujum itu melempar empat buah batu. Lebih mirip batu kerikil. Menggelinding seperti kelereng. Saling bertubrukan dan tiba-tiba bertumpuk. Dengan bibir hitamnya, ia meniup batu itu sampai terjatuh. Lalu kuku-kuku kotornya menekan tangannya sendiri sampai berdarah.
Dulu, kita berburu dengan batu. Kini batu tak lagi bisa mencicipi asin darah makhluk hidup. Jadi, dengarkan baik-baik. Siapa pun yang memerintahkan kalian untuk datang ke mejaku, sebaiknya segera bangun dan membuat mimpi lain. Ancam penujum bermata abu-abu itu di depan petugas.
Bukan. Mereka tak tahu kalau batu-batu itu sudah menjadi milik suami May. May menikahi seorang penulis. Seorang pria yang menuliskan mimpi-mimpinya jadi novel. Ia yakin, jika tidur dengan lelaki itu, ia juga bisa bermimpi dan hidup lama di dalam mimpi.
Maukah kau menikah denganku? tanya May suatu sore. Tiga belas bulan yang lalu.
Sejak hari itu, May terus bermimpi dan terus mencari.
***
Editor: Ghufroni An’ars