Buruh di Semarang dan kerja paruh waktu sebagai editor di penerbit Semut Api. Bukunya yang sudah terbit berupa kumcer Sekelompok Babi dan Rumah-Rumah (Semut Api, 2021).

Jakarta: Benang Merah Riwayat Chili dan Indonesia

Farras Pradana

3 min read

Antara Santiago di Chili dan Jakarta di Indonesia terbentang jarak yang begitu jauh. Separuh lingkaran jika kita lihat di bola dunia, lebih dari setengah jika ditengok pada atlas. Bagi satu sama lain, mungkin kehidupan di dua kota tersebut asing. Namun, pernah ada masa kedua kota mengalami pengalaman yang hampir mirip. Nama Jakarta pun pernah hadir menjadi alarm bagi Santiago dan seantero negeri yang bentuknya memanjang di pantai barat Amerika Selatan itu.

Bagi siapa pun yang pernah membaca Metode Jakarta: Amerika Serikat, Pembantaian 1965, dan Dunia Global Kita Sekarang (2022) karya Vincent Bevins ataupun novel karya Isabel Allende, Rumah Arwah (2010), tidak akan sulit menemukan keberadaan Jakarta di paruh lain bola dunia.

Jakarta dilekatkan pada sebuah nama operasi anti komunis tersembunyi di Amerika Latin untuk menjatuhkan pemerintah kiri dan menghabisi para aktivis komunis. Operasi Jakarta, begitulah pengondisian sosial-politik kelompok kanan itu kemudian dikenal, mengambil inspirasi dari rangkaian peristiwa yang terjadi di Indonesia pada 1965-1966—melemahnya kekuatan Sukarno, pemenjaraan dan pembunuhan massal aktivis kiri oleh tentara, serta tampilnya Jenderal Soeharto sebagai pemegang kekuasaan.

Di Chili, Jakarta muncul secara mencolok pada tembok-tembok Kota Santiago sebelum kudeta terjadi. Tulisannya, mengutip Bevins, “Yakarta viene”, Jakarta se acera”. Jakarta Tiba, begitu terjemahan harfiahnya. Allende mendramatisasinya dengan menulis, “Coretan cat merah dan cuma berisi satu kata dalam huruf-huruf yang sangat besar: JAKARTA.”

Operasi Jakarta di Chili menjadi pendahuluan untuk melemahkan pemerintah kiri yang dipimpin Salvador Allende. Pada puncak keriuhan politik yang semakin tidak stabil, militer melakukan kudeta pada 11 September 1973. Jenderal Pinochet kemudian naik ke tampuk kekuasaan dan pembersihan aktivis kiri semakin gencar.

Baca juga:

Sebelum dan Sesudah Kudeta

Kudeta itu bukan hanya menandai perubahan politik saja, tetapi juga mengubah lanskap kebijakan pemerintah Chili dari tahun-tahun sebelum dan sesudah kudeta—dari yang bercorak kiri jadi kanan. Hal ini menjadi pembahasan Irham Kahfi Yuniansah dalam Revolusi Chili yang Dikudeta: Transisi Politik dari Allende ke Pinochet 1970-1990 (2023).

Salvador Allende merupakan seorang anggota Partai Sosialis Chili. Dalam bukunya, Irham menggambarkan Allende sebagai seorang Marxis, tetapi bukan ideolog. Dia tidak terlalu tertarik dengan pemikiran Marxis terbaru dan revolusi dengan kekerasan. Dia adalah ahli dalam bertaktik politik. Dia berpikir bahwa kekuasaan untuk mengadakan negara sosialis dapat diraih dengan jalan demokratis.

Berkat komitmennya itu, Allende membutuhkan empat kali pemilu untuk menjadi presiden. Partisipasi pertamanya dalam pemilu pada 1952; dia kalah di posisi keempat sekaligus buncit. Pada pemilu 1958, dia di urutan kedua, kalah dari kandidat Partai Konservatif-Liberal. Pada pemilu 1964, dia kalah dari kandidat Partai Demokrat Kristen.

Pada pemilu 1970, dia akhirnya menang dengan dukungan aliansi Partai Komunis Kelas Pekerja dan Partai Radikal Kelas Tengah. “Setelah dilantik,” tulis Irham, “Allende mulai melakukan restrukturisasi masyarakat Chili dengan haluan sosialisme, sembari tetap mempertahankan bentuk pemerintahan demokratis, menghormati kebebasan sipil, dan keadilan dalam proses hukum”.

Dalam membawa negara ke jalan menuju sosialisme, Allende menggelontorkan program-program ekonomi yang berpihak kepada rakyat miskin. Bersama pemerintahannya, dengan kesan yang cukup politis, dia merangsang ekonomi untuk memobilisasi massa mendukung kebijakannya. Caranya, dia menaikkan gaji pekerja untuk melihat sejauh mana dukungan terhadapnya. Kemudian, mengoreksi kebijakan rezim pendahulunya dengan melaksanakan Reformasi Agraria, menciptakan koperasi dan pertanian milik negara, serta memberikan sertifikat tanah kepada individu, termasuk memberikan sumber daya bagi masyarakat adat.

Lalu, programnya yang paling terkenal ialah nasionalisasi perbankan dan pertambangan yang dikuasai asing. Pada periode itu, Chili merupakan pengekspor tembaga terbesar. Namun, Chili tidak menguasai ekonomi tambangnya dan hanya mendapatkan pajak ekspor dari beroperasinya perusahaan-perusahaan tambang asing, terutama milik Amerika Serikat.

Tak pelak, nasionalisasi perusahaan tambang oleh pemerintahan Allende mengundang geram, apalagi dalam situasi Perang Dingin. Singkatnya, Amerika yang sangat berkepentingan atas perusahaan tambang itu kemudian berusaha menggulingkan pemerintahan Allende. Melalui serangkaian rekayasa, termasuk berkontribusi dalam Operasi Jakarta, kejatuhan Allende melalui kudeta terjadi juga.

Berada dalam kondisi ekonomi yang hancur, pemerintah junta militer yang dipimpin Jenderal Pinochet yang baru saja berkuasa mengundang Amerika dalam perbaikan ekonominya. Pendulum kebijakan ekonomi beralih ke kanan. Irham menjelaskan dengan agak panjang:

“Pemerintah Pinochet dengan jelas memberikan kesempatan kepada kapitalis untuk berkembang di bawah kepemimpinannya, hingga mendatangkan alumni Universitas Chicago yang sering disebut sebagai Chicago Boys yang merupakan ahli ekonomi yang mendukung pasar bebas.”

Dengan mengikuti saran dari Chicago Boys, Pinochet mengeluarkan kebijakan yang mengarah pada privatisasi di banyak sektor. Privatisasi dimaksudkan untuk menciptakan pasar yang bebas tempat setiap orang dapat saling bersaing untuk melahirkan kompetensi yang mumpuni dan menghilangkan monopoli. Pemerintah tidak akan ambil bagian dalam sektor ekonomi. Dengan begitu, pertumbuhan ekonomi negara dapat terangsang serta mengurangi tingkat kemiskinan.

Program privatisasi dilakukan dalam dua tahap. Pertama, pada 1974-1979 dengan menjual perusahaan milik negara serta terkonsentrasi dalam sektor finansial, perusahaan industri, dan distribusi. Kedua, pada 1984-1989 di sektor pendidikan, kesehatan, perumahan, serta perusahaan minyak Chili.

Baca juga:

Berbagi Sejarah

Garis sejarah Chili terhampar senada dengan garis sejarah Indonesia pada masa peralihan Demokrasi Terpimpin ke Orde Baru. Perubahan kondisi politik dan pengambilan kebijakan mengisyaratkan dua negara ini berbagi sejarah dengan prosesnya masing-masing yang “unik”. Chili mungkin sudah lebih dahulu menyadarinya, atau malah dengan sengaja meniru prosesnya jika boleh dikata, dengan menempelkan di dinding-dinding nama kota nun jauh di sana: Jakarta.

Sebaliknya, seberapa tahu kita tentang sejarah negara yang ada di seberang samudra sana itu? Pengetahuan kita soal sejarah Chili membuat kecil hati. Sebab, peristiwa seputar kudeta oleh militer dan penghancuran politik kiri di Chili tidak pernah ada dalam buku ajar sekolah. Bahkan, dalam mata pelajaran Sejarah Peminatan di sekolah menengah atas—yang sudah tidak ada lagi di Kurikulum Merdeka—juga jarang tersentuh. Peristiwa yang terjadi di Chili itu, seperti peristiwa lain serupa, ada di bagian pinggiran dari sejarah Perang Dingin antara Amerika dan Uni Soviet. Kalah riuh dari perlombaan merakit nuklir dan menjajah antariksa dalam penceritaan sejarah populer.

Jika memang kondisinya demikian, sepertinya kita harus keluar dari tempurung walau hanya sejenak untuk melihat apa yang terjadi di belahan dunia lain. Buku karya Irham Kahfi Yuniansah dapat menjadi pengantar perjalanan kita menyisir sejarah Chili pada dekade-dekade Perang Dingin 1970-1990 secara singkat dan padat. Buku ini disusun berdasarkan arsip-arsip Central Intelligence Agency (CIA) yang sudah dibuka ke publik atau deklasifikasi. Mengikuti saran dari Abdul Gaffar Karim, Dosen Fisipol UGM, seperti termaktub dalam bagian pengantar, dia menulis:

“Semoga buku ini bisa mendorong lebih banyak orang untuk mencari tahu seperti apa suasana hubungan antarbangsa menjelang dan beberapa dekade setelah PD II.”

 

Editor: Emma Amelia

Farras Pradana
Farras Pradana Buruh di Semarang dan kerja paruh waktu sebagai editor di penerbit Semut Api. Bukunya yang sudah terbit berupa kumcer Sekelompok Babi dan Rumah-Rumah (Semut Api, 2021).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email