Benarkah Musik Metal Bagus buat Kesehatan Mental?

Risang Parandika

2 min read

Mulai banyak bertebaran ulasan di media populer hasil saduran jurnal ilmiah yang mengatakan bahwa beberapa genre musik memengaruhi kondisi mental para pendengarnya.

Entah dari mana tren ini bermula, tetapi semakin ke sini, makin banyak penulisan serupa yang menghubungkan genre tertentu ke fungsinya sebagai katalisator penyakit mental. Bersamaan dengan itu, sering didengungkan bahwa genre metal justru dianggap baik buat kesehatan mental.

Masalahnya, dianggap baik dalam konteks apa?

Sebelum dihubungkan dengan kondisi mental seseorang dan segala tetek bengeknya, awalnya musik metal justru digunakan sebagai wujud eskapisme bagi segala bentuk kemarahan. Inilah kenapa kesan yang ditimbulkan dari bebunyian musiknya justru bersifat destruktif. 

Metallica adalah yang pertama kali disebut-sebut sebagai band penuh kemarahan. Pengalaman dan trauma masa kecil James Hetfield—dedengkot band tersebut—disinyalir menjadi penyebabnya. Kemarahan akibat hilangnya masa kecil yang indah ia proyeksikan menjadi lagu bertempo cepat, keras, dan lirik penuh sumpah serapah.  

Efeknya, pertunjukkan live Metallica kerap menginisiasi terjadinya ribut-ribut di kalangan penonton. Entah karena adu senggol atau terbawa arus lagunya yang memang erat dengan segala bentuk kemarahan. Kalau sudah begitu, sebenarnya anggapan musik metal baik untuk kesehatan mental tidak sepenuhnya tepat.

Dugaan terbaik yang bisa diajukan adalah anggapan semacam ini disematkan oleh praktisi musik terkait guna mempopulerkan genrenya. Menurunnya popularitas industri musik metal dibarengi dengan melekatnya stigma pendengarnya yang gemar merusuhlah yang justru sedang “disembuhkan” melalui temuan-temuan seperti itu.

Tak usah muluk-muluk konser atau festival skala dunia, coba datang saja ke gigs metal lokal terdekat. Suasana di depan panggung sudah pasti rusuh dan sudah pasti melibatkan minuman beralkohol. Bentuk self destruction seperti ini apakah sudah bisa dibilang output positif?

Sorotan tajam kerap diberikan pada musik metal karena keterkaitannya dengan perilaku bunuh diri. Seorang remaja berusia sembilan belas tahun, John McCollum, adalah contoh kecilnya. Ia memutuskan untuk mengakhiri hidup setelah terpapar lagu berjudul Suicide Solution milik Ozzy Osbourne.

Komponen destruktif yang menyusun komposisi musik metal ini juga turut membentuk pola perkembangan remaja yang cenderung ke arah disfungsional. Katrina McFerran dari Melbourne University Australia berujar bahwa musik metal menyebabkan gangguan mental pada remaja usia 13-18 tahun. “Kebanyakan remaja mendengarkan lagu untuk tujuan positif. Namun, remaja yang berisiko depresi cenderung mendengarkan lagu, terutama lagu-lagu metal, untuk tujuan negatif,” papar McFerran.

Jenis afirmasi sambil menunggangi musik metal ini sebaiknya segera diakhiri. Sebab, teori dengan praktiknya sering kali jauh berbeda. Menemukan penonton gigs metal yang tidak menenggak minuman beralkohol bahkan sama sulitnya seperti mencari jarum di Samudra Pasifik.

Lalu, bagaimana dengan musik punk? Well, Sex Pistols yang merupakan ikon punk pada zamannya saja kelabakan menghadapi kelamnya dunia yang mengitarinya. Sid Vicious—bassist sekaligus vokalis band tersebut—berulang kali melakukan percobaan bunuh diri. Kemudian, ada pula konflik dengan pihak Kerajaan Inggris sampai kecanduan heroin yang berakibat pada kematian sang bassist. Jauh dari kesan “menyembuhkan”, bukan?

Omong-omong soal kontroversinya dengan Kerajaan Inggris, Sex Pistols ini lumayan hipokrit juga. Mereka berulang kali mencerca kemapanan para pengumpul kapital, tapi ujung-ujungnya tetap jualan merchandise. Jadi, kalau kalian ingin menyembuhkan diri melalui musik punk, output minimal yang dapat diterima adalah menjadi aktivis dadakan sok kritis nan hedonis. 

Tulisan lain oleh Risang Parandika:

Sebenarnya jenis musik yang paling dekat kaitannya dengan keselarasan dan harmoni jiwa adalah musik klasik—walaupun sejarah mengungkap kondisi relasi praktisi-pendengarnya terbalik. Kebanyakan komposer musik klasik memiliki kondisi jiwa yang tak stabil, Mozart misalnya. Berbeda dengan komposisinya yang dikenal ceria hingga turut menghasilkan mitos terapi musik untuk masa kandungan kehamilan, perilaku keseharian Mozart justru sangat destruktif terhadap dirinya sendiri. Dia terjerembab dalam kubangan bernama kecanduan alkohol dan judi. Namun, setidaknya para penonton pertunjukkan Mozart tidak beramai-ramai saling adu jotos.

Musik klasik menyajikan pendekatan yang jauh lebih lembut dan mengutamakan estetika dalam komposisinya. Hal ini menjadikan musik tersebut teman segala bentuk kesendirian karena fungsinya untuk melembutkan hati. Tentu saja ini tidak sepenuhnya akurat, tapi mendengarkan musik klasik mampu menghasilkan risiko minimal.

Sebenarnya, banyak opsi alternatif di luar sana untuk sekadar menenangkan jiwa. Tak perlu memusingkan langkah terbaik yang harus diambil karena sejatinya hidup tidak sesaklek itu. Mendengarkan musik metal pun sah-sah saja jika tidak dibarengi dengan perilaku merugikan diri sendiri maupun sekitar. Berbagai indikasi bersumber penelitian pun tak ada artinya jika memang dari awal kita berkeinginan untuk sembuh.

Tak perlu menyesali, apalagi memaksakan preferensi pribadi terhadap suatu genre musik. Apa pun yang menimbulkan rasa nyaman tanpa melibatkan perilaku destruktif sebaiknya terus dilakoni guna menjaga kewarasan. Namun, jika lingkungan tempat kalian menjalaninya berangsur negatif, jauhi saja tanpa pikir panjang. Toh, ujung-ujungnya sumber berupa-rupa kegalauan isi pikiran berasal dari manusia di lingkungan kita bermukim.

Sejatinya, sumber masalah seorang manusia berasal dari manusia itu sendiri.

Editor: Emma Amelia

Risang Parandika

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email