ESG seperti hantu bagi dunia bisnis. Sebagai kerangka kerja keberlanjutan, ia cukup menakutkan kalau tak dikejar, tetapi tak begitu jelas ke mana arahnya.
Environmental, social, and governance (ESG) merupakan sebuah instrumen investasi berkelanjutan yang pertama kali diperkenalkan oleh UN Compact pada 2004 melalui laporan Who care wins: Connecting Financial Market to Changing the World. Laporan ini dibuat atas inisiatif kolektif UN Compact bersama 20 institusi keuangan global yang saat itu mengelola aset global senilai 6 Triliun USD sebagai upaya untuk mendorong peran institusi keuangan dalam memenuhi 4 pilar UN Compact: human rights, labour, environment, dan anti corruption.
Menindaklanjuti laporan tersebut, UN Compact menyusun Principle of Responsible Investment (UNPRI) yang digagas pada 2006 dengan melibatkan lembaga-lembaga keuangan global, industri-industri multisektoral, akademisi, NGO, dan lain sebagainya. Pada 2022 lalu, terdapat 4.902 pihak yang menandatangani UNPRI tersebut dengan nilai dana kelola mencapai 121,3 triliun dolar AS.
Baca juga:
ESG lahir dan beranak pinak menjadi kerangka penilaian keberlanjutan secara global yang melibatkan berbagai pihak, mulai dari lembaga konsultan global, asosiasi profesional dan industri, konsortium lembaga keuangan, lembaga bursa, hingga NGO. Masing-masing lembaga penilai ESG memiliki model dan tekniknya sendiri yang mewakili orientasi, jejaring, dan afiliasi masing-masing.
ERM mencatat ada lebih dari 600 lembaga penilai ESG di seluruh dunia pada tahun 2020. Kualitas masing-masing lembaga dilihat berdasarkan pada kepercayaan investor sebagai pengguna informasi, serta industri-industri sebagai pihak yang dinilai.
Tentunya, bagi para investor, kualitas lembaga penilai ditentukan dengan informasi yang presisi tentang aspek dampak lingkungan, sosial, serta kinerja tata kelola perusahaan. Informasi yang tepat dan berkualitas akan membantu para investor untuk mengalkulasi risiko-risiko investasi dan pemberian obligasi, baik untuk kepentingan operasi maupun pengembangan bisnis mitranya.
Ketepatan informasi tersebut diukur dari beberapa aspek. Pertama, kejelian dalam mendapatkan informasi tentang kinerja absolut terkait lingkungan dan sosial, serta tata kelola perusahaan. Kedua, ketepatan dalam memberikan skala perbandingan antar industri sejenis di masing-masing sektor. Ketiga, kemampuan menggambarkan kondisi existing dan trajectory yang akan dijalankan perusahaan dalam mencapai keberlanjutan di masa depan.
Sedangkan bagi perusahaan yang dinilai, kualitas penilai akan dilihat dari sisi; Pertama, Ketepatan dalam menilai kriteria-kriteria sektoral, Kedua, Kemampuan lembaga penilai dalam mengikat pasar keuangan sebagai afiliasi pendukungnya, Ketiga, Adanya guidance yang jelas dari lembaga penilai bagaimana untuk mencapai penilaian yang baik, sehingga memberikan nilai tambah di hadapan investor.
Merumuskan Jalan Keberlanjutan Otentik
Perusahaan dihadapkan pada banyak pilihan ketika menentukan lembaga penilai mana yang akan digunakan untuk mendapatkan nilai tambah di hadapan investor yang disasar atau memberikan bargaining dalam mekanisme pasar dan afiliasi industrinya. Tentunya, masing-masing sektor bisnis memiliki orientasinya sendiri yang didasarkan pada kondisi aktual industri, skala dan sasaran pasar, rantai suplai, serta target investor
Bursa Efek Indonesia (IDX), misalnya, memilih dua lembaga penilai untuk mendorong ESG bagi perusahaan-perusahaan yang listing di pasar, Sustainalytics (IDX ESG Leader) dan Kehati (Sri IDX-Kehati). Pertimbangan utama penggunaan model ESG tersebut tidak lain adalah upaya untuk menarik investasi yang sesuai dengan karakter emiten di IDX.
Sustainalytics merupakan salah satu lembaga penilai ESG terkemuka yang cukup diterima di berbagai sektor. Penilaiannya secara global juga dapat dijadikan benchmark bagi para emiten untuk bisa memacu kinerja keberlanjutan yang lebih optimal.
Sementara itu, Kehati diambil sebagai inisiatif lokal yang memiliki kepekaan terhadap upaya konservasi dan perlindungan keanekaragaman hayati di Indonesia. Kemitraan Kehati yang luas diharapkan dapat memacu pertumbuhan investasi, khususnya di kalangan investor ritel dan investor yang memiliki specific value di aspek konservasi. Kehati sebagai lembaga sosial juga punya keseriusan untuk terlibat secara langsung dalam upaya-upaya konservasi sehingga dapat secara langsung terkoneksi dengan dunia usaha sebagai penyokong pembiayaan melalui kemitraan multipihak.
Cara penilaian ESG bervariasi. Salah satu komponen dasarnya adalah dengan penyusunan laporan keberlanjutan yang disertai dengan proses pendokumentasian dan pengungkapan secara berkala tentang dampak aktivitas bisnis terhadap lingkungan dan masyarakat, serta kerangka tata kelola bisnis yang ada di perusahaan. Dampak lingkungan dan sosial tidak hanya dilihat dari program-program eksternal melalui CSR atau TJSL saja, tetapi juga aktivitas inti perusahaan. Hal ini mencakup pengelolaan pekerja, pelibatan dan pemberdayaan supplier lokal, hingga efisiensi penggunaan sumber daya untuk bahan baku, sumber energi primer, hingga penurunan beban limbah.
Oleh karenanya, dalam menyusun rencana keberlanjutan tak dapat menafikan penggabungan antara faktor otentik desain industri, skala dan kapasitasnya, hingga wilayah tempat beroperasinya. Otentisitas keberlanjutan sebuah perusahaan akan menunjang pencapaian-pencapaian yang optimal dalam agenda keberlanjutan.
Jika dengan ESG investor mencoba melihat kinerja keberlanjutan perusahaan, maka perusahaan pun harus punya strategi keberlanjutannya sendiri untuk menyusun rencana sistematis yang memperbesar daya tawarnya di hadapan investor. Di sinilah pentingnya sustainability roadmap.
Transisi Tanpa Tipu-Tipu
Di tengah tren ESG, ada juga upaya mengelabui pasar dan investor dengan rencana keberlanjutan yang seakan-akan mampu mengubah industri yang berisiko tinggi terhadap lingkungan menjadi industri yang tiba-tiba ramah lingkungan. Upaya tipu-tipu ini sering disebut greenwashing.
Greenwashing ini merupakan upaya-upaya pengungkapan strategi existing ataupun trajectory masa depan yang ternyata tidak sejalan dengan fakta maupun temuan riset dan ilmu pengetahuan kontemporer.
Tahun lalu, Guardian mengangkat kasus perusahaan-perusahaan minyak dunia yang melakukan greenwashing dengan mengampanyekan penanganan dan daur ulang sampah plastik dari hasil produksi kondensat dan petrokimia yang paling bertanggung jawab terhadap kerusakan lingkungan global. Hasil kajian dan investigasi mendalam menunjukan bahwa kemampuan mengolah dan mendaur ulang plastik tidak pernah mampu menyaingi jumlah polutan yang dihasilkan industri plastik. Perusahaan seharusnya menjelaskan secara transparan potensi risiko yang ditimbulkannya, bukan malah bersikap seakan-akan telah mampu menyelesaikan masalah tersebut.
Pengadilan di AS bahkan mencoba untuk tidak hanya menuntut perusahaan yang overclaim tersebut, tetapi juga menyeret para agen periklanan dan kehumasan yang turut bertanggung jawab mengelabui publik.
Menurut para penggugat, bila perusahaan mengakui potensi masalah sejak awal, maka pilihannya adalah mereduksi kapasitas produksi atau mendesain ulang sistem industri agar lebih efisien. Di sisi lain, dengan pengakuan atas dampak negatif, pemerintah dan pasar dapat melakukan upaya-upaya pencegahan, misalnya menerapkan pajak yang lebih tinggi agar tercipta insentif bagi pengembangan bahan alternatif dan memaksa pasar untuk mengurangi konsumsi.
Baca juga:
Dalam bisnis berkelanjutan, ada ungkapan “lebih baik ngaku daripada ngaku-ngaku yang tidak bisa dilakuin”. Pasalnya, masa depan berkelanjutan bukan hanya ranah industri dan bisnis, tetapi juga tanggung jawab kolektif yang melibatkan pemerintah dan masyarakat sebagai pasar.
Di Indonesia, industri-industri yang berisiko terhadap lingkungan seperti pembangkit listrik, pertambangan dan smelter, hingga perkebunan dan kehutanan nantinya akan dituntut untuk membangun sistem keberlanjutan. Bukan hanya investor yang memberikan tuntutan, tetapi juga pasar dan kebijakan pemerintah. Secara pragmatis, pemerintah di negara-negara berkembang akan dihadapkan pada pilihan sulit: pembiaran terhadap industri-industri tersebut demi mendapat nilai tambah ekonomi atau menerima tawaran insentif global untuk membantu pembiayaan transisi di sektor energi.
Keduanya punya konsekuensi sendiri-sendiri. Pilihan pertama akan memberikan nilai tambah domestik, tetapi jangka panjangnya akan mengucilkan negara kita dari arena perdagangan dan investasi global. Sementara itu, pilihan kedua akan memberikan jaminan konektivitas global yang besar, tetapi dengan konsekuensi nilai tambah ekonomi akan turun drastis selama proses transisi berlangsung hingga nanti terbentuknya pasar baru yang lebih bertanggung jawab.
Jadi, please, jangan latah dengan ESG. Mari mulai dari merumuskan ulang rencana keberlanjutan yang jujur supaya peluang-peluang untuk tumbuh terbuka bagi kita.
Editor: Emma Amelia