Aku tak pernah mengutuki cacat rabun mataku selain ketika tiba waktunya potong rambut. Aku ingin saja membotaki habis rambut sialan ini andai saja kepalaku bulat seperti melon. Namun, yang ada di balik sana hanya kepala kerucut dengan bopeng sana-sini.
Tentu aku bersyukur atas usaha ibu melahirkanku susah payah hingga nyaris semaput, tetapi aku sering berandai-andai seumpama ia bisa menahan diri dari mengejan sebelum waktunya dan menunggu hingga ketubannya pecah, mungkin aku akan keluar ke dunia fana seperti naik perosotan dan kepalaku tak berakhir peyang. Itu juga alasannya aku tak mungkin jadi biksu.
Andai saja ibu menuruti kata bidan di puskesmas yang sudah melahirkan lima kali itu, aku akan dengan bangga mempertontonkan sekujur kulit kepalaku, dan mungkin bisa mendapat pencerahan di penghujung hidup.
Entah apa ada hubungannya kepala peyang dengan pertumbuhan rambut, tapi seiring dewasa aku menyadari rambutku tumbuh semau-maunya. Ia tipe rambut ikal yang berapa kali pun disisir akan sia-sia belaka dan selalu tampak seperti habis bangun tidur.
Ketika ditutupi helm barang sejam-dua jam, bagian pangkal hingga tengah rambut akan merunduk seperti putri malu, tapi ujungnya akan menggulung seperti serut kayu habis diketam.
Rambutku ini ibarat anak bandel yang tak pernah mendengarkan saat disuruh jangan pulang malam-malam. Dan ketika dibiarkan hingga tiga bulanan, rambut itu akan menjelma jemari-jemari nakal yang menggerayangi leherku. Akibat tak tahan gatal itulah aku harus rutin potong rambut, meskipun itu tak pernah jadi pengalaman yang menyenangkan.
Aku tak pernah percaya dengan politisi. Jika ingin memegang omongan mereka, kita harus memegang lidahnya dan memotongnya. Namun, aku lebih tak percaya lagi dengan tukang cukur. Aku malang-melintang mencoba berbagai tangan tukang cukur, dari potongan Asgar seharga 20 ribuan hingga salon yang biasa menangani artis ibukota. Hasilnya? Berkali-kali aku kecewa.
Mereka selalu bertanya basa-basi ingin potongan seperti apa dan selalu berlagak paham dengan keinginanku. Namun, seperti tabiat rambutku yang tumbuh semau-maunya, mereka juga hanya memotong semau-mau mereka. Begitulah kesimpulanku.
Aku pernah menulis hal ini di internet dan berakhir divonis sebagai penista profesi tukang cukur. Waktu itu gawat sekali. Aku baru tahu setelahnya kalau mereka punya perkumpulan sendiri dan sangat aktif di grup Facebook. Di sana namaku dihina-hina dan beberapa mengompori agar wajahku di-blacklist dari salon mana pun. Memang benar ternyata, sama seperti orang apes selalu ada di tiap golongan, begitu juga ekstremis.
Untung saja walau kepalaku peyang dan rambutku acak-acakan, otakku masih lebih berguna ketimbang kebanyakan anggota dewan. Aku selalu ingat orang bijak pernah berkata: Diam selain membuat seseorang tampak bijak, juga membuatnya terhindar dari berbagai masalah. Begitulah aku menghadapi somasi dari para tukang cukur tadi.
Aku tahu akan selalu ada orang bodoh: artis selingkuh, skandal mesum, dan orang kaya baru bertingkah sok jago yang beritanya akan menutupi heboh-heboh kasus penistaanku.
Aku tak perlu melakukan apa-apa, tak perlu minta maaf, dan orang-orang akan bosan membahas itu dengan sendirinya. Ibu-ibu yang bergerombol di gerobak sayur saja selalu membahas berita terbaru tiap hari, mereka memegang teguh slogan “tak ada yang lebih tua dari surat kabar kemarin”.
Benar saja, lama-lama para ekstremis tukang cukur tak lagi peduli, aku berhenti jadi buron dan bebas masuk salon mana saja seperti sedia kala. Semua beres. Sisanya tinggal menemukan tukang cukur yang bisa dipercaya, tetapi sulitnya luar biasa, hampir-hampir seperti mencari tempat persembunyian Dajjal.
Temanku pernah bilang begini dengan santainya. “Kenapa kamu diam saja di tempat cukur pas potongan mereka sudah kelewatan?”
Ia tentu diberkati dengan mata jernih sejak lahir dan tak mengerti dunia macam apa yang ditinggali orang berkacamata. Bagi seseorang bermata minus 6 sepertiku, kacamata sama pentingnya seperti mata itu sendiri, sedangkan tiap tukang cukur yang kutemui selalu memintaku melepasnya saat potong rambut.
Setengah jam potong rambut rasanya bagiku seperti diculik dengan mata tertutup, entah ke mana arah tujuannya, dan tiba-tiba saja aku berakhir akan dibunuh.
Itu tak jauh berbeda dengan apa yang kutemukan sehabis tukang cukur meletakkan guntingnya dan meraih cermin lipat kecil untuk menunjukkan rupa belakang kepalaku. Saat kembali memakai kacamata, hanya ada rambut yang bertambah pendek dan tetap tak menyenangkan.
Seumur-umur mereka hanya menawarkan dua jenis potongan: yang jelek sejak di salon; atau yang hanya tampak bagus ketika di salon.
Setelah kegagalan berantai, akhirnya aku menemukan tempat persembunyian Dajjal tahun lalu, tepat ketika hujan tiba-tiba menderas di lampu merah depan warung kopi yang baru dibuka, menggusur toko buku yang tak laku.
Aku ingat lampu merah keparat itu menghitung mundur 178 detik, dan hanya menunggu di sana hingga lampu hijau menyala, cukup untuk membuat air hujan merembes sampai kolor.
Kuperhatikan tak ada pengendara motor menepi sesudahnya. Mereka yang sama-sama terjebak di lampu merah itu semua kebasahan dan kecewa. Aku tiba-tiba berpikir ini waktu yang tepat untuk memotong rambut dan bertekad akan berhenti di salon mana saja yang pertama kali kutemui.
Begitulah aku berakhir di sebuah tempat bernama Forgeron Barbershop yang diapit toko kue dan bunga. Saat mendorong pintu masuk dan kaki kananku melesat ke dalam, seorang pria bertato wajik di bawah mata kirinya menatapku keheranan. Aku akan bersikap sama jika ada seseorang masuk ke ruang tamuku dengan basah kuyub.
Ia bertanya apakah aku mau potong rambut? Aku membatin, “bukankah sudah jelas, tolol!” tetapi karena itu terlalu kasar aku hanya mengangguk.
Seorang pria baru saja kelar dan membayar ke kasir. Ia sejenak membuat sibuk pria bertato wajik tadi. Sementara tukang cukur dengan potongan kumis ala Stalin menyapu potongan rambut yang berserakan.
Sesaat ia melirik ke arahku lalu mengambil handuk dan menyodorkannya. “Kalau butuh baju kering, ada di lemari samping kamar mandi,” ucapnya.
Aku berterima kasih singkat dan segera melaju ke kamar mandi di pojokan. “Celana pendeknya juga?” tanyaku sambil meraba setumpuk pakaian polos di lemari.
“Pakai saja,” jawab tukang cukur tadi sambil terus menyapu.
Salon itu cenderung kecil. Hanya ada tiga kursi depan cermin, dan aku hanya melihat seorang tukang cukur–atau dua kalau pria bertato wajik tadi juga dihitung. Namun, baru sekali-kalinya aku mampir ke salon yang menyiapkan baju ganti untuk pelanggan yang kehujanan. Begitu keluar dari kamar mandi, tukang cukur berkumis Stalin sudah beres menyapu dan segera menuntunku ke kursi tengah.
Kelak aku akan mengetahui nama tukang cukur itu dari insiden yang mencengangkan. Hingga saat itu tiba, aku selalu memanggilnya Stalin, dan ia setuju begitu saja. Perjumpaan pertamaku dengan Stalin begitu mengesankan, sampai-sampai aku berpikir ialah Dajjal yang selama ini kucari-cari.
Ia jelas bukan sembarang tukang cukur. Bagiku seakan-akan kemampuannya memotong rambut adalah bakat sejak lahir. Itu langsung kusadari ketika ia menahanku saat hendak mencopot kacamata sebelum potong rambut. “Biar sudah, kalau mau pakai saja,” ucapnya.
“Memang bisa potong rambut pakai kacamata?” tanyaku penasaran, sebab selama ini aku didoktrin dilarang pakai kacamata saat potong rambut.
“Memangnya tidak bisa?” ia balik bertanya.
Aku hanya diam dan seketika ingin sekali menanyakan hal yang sama ke setiap tukang cukur yang pernah kutemui.
Lalu tanpa basa-basi–berbeda dengan tukang cukur lain–ia segera menebas belantara rambut ikalku dengan gunting di tangan kirinya (aku baru sadar ia kidal setelah tiga kali potong di sana).
Hingga akhir ia hanya membiarkan trimmer-nya menganggur. Ini mungkin terkesan dilebih-lebihkan, tapi aku bersumpah caranya bermain-main dengan gunting mengingatkanku dengan tarian Muhammad Ali di pojok ring saat menghindari pukulan bertubi-tubi dari Dokes. Itu tentu bukan perumpamaan yang tepat, tapi biarlah, karena buatku sama-sama sedap dipandang.
Dan sepanjang proses potong rambut, Stalin hanya memintaku melepas kacamata ketika memangkas sekitar telingaku. Serampungnya mencuci dan mengeringkan rambutku, ia hanya merapikan seadanya.
“Ke mana saja aku selama ini?” bisikku dalam hati setelah ia menyuruhku ganti baju dan pulang.
Entah mengapa kedua sisi garis dahiku yang sudah agak naik tidak tampak mencolok, rambut di sebelah kanan yang sebelumnya tampak jingkrak kini merebah alami, dan ajaibnya aku tak kelihatan seperti habis potong rambut.
Aku membayar 70 ribu ke pria bertato wajik dan di luar hujan sudah minggat. Ia memberiku kartu berisi sepuluh kotak yang salah satunya habis distempeli.
“Kalau sudah lengkap, gratis potong sekali,” ujarnya. Aku menyimpan kartu itu berjejer dengan KTP di dompet merah marun dan berjanji akan menjaganya baik-baik.
Tiga bulan berikutnya, aku kembali ke sana dengan baju kering dan kegirangan seperti bocah diajak ke pasar malam. Ada seorang tukang cukur lain berambut mullet yang sedang menganggur, tapi aku memilih Stalin menyelesaikan pekerjaannya lebih dulu. Saat melihat Stalin lowong, aku menyambutnya seperti bapak baru pulang dari kantor.
Kali kedua itu Stalin masih sama seperti pertama kali, mengerjakan tugasnya tanpa basa-basi. Dan aku memberanikan diri bertanya apakah ia selalu memotong rambut tanpa mencari tahu keinginan pelanggan? Katanya, rata-rata orang yang potong rambut tak tahu apa yang mereka inginkan.
“Kalau ada permintaan, tentu saya dengarkan,” ucapnya.
“Sudah 12 tahun saya jadi tukang cukur, saya bisa bedakan mana yang datang dengan keraguan dan keyakinan.” Ia menambahi bahwa wajahku selain penuh keraguan juga penuh kekecewaan.
Aku membatin ia dulu pasti pernah buka jasa membaca tarot atau di kehidupan sebelumnya adalah ahli nujum kerajaan.
Pada pertemuan ketiga–enam bulan sejak pertama kali datang ke Forgeron–aku iseng bertanya dari mana referensi kumis tebal melengkungnya itu berasal? Seakan-akan isi kepalaku terpampang bulat-bulat di depan mukanya, ia menjawab singkat sambil setengah bercanda, “Stalin.”
Aku setengah bercanda akan memanggilnya begitu, dan ia bilang suka-suka saja. Sejak saat itu aku memanggilnya Stalin, dan ia memanggilku Gandhi.
“Kenapa Gandhi?” Tanyaku.
“Kacamatamu bulat,” jawabnya.
‘Lenon juga.”
“Dua-duanya mati ditembak, tapi usia Gandhi lebih tua. Anggap saja doa panjang umur.”
Aku menjawab suka-suka saja, tapi aku tak mau jadi botak di hari tua. Ia tertawa. “Orang dengan kepala bergelombang memang selalu ingin punya rambut,” sambungnya.
Satu yang paling kusuka dari Stalin adalah ia tipe orang yang mulutnya tak pernah menghentikan tangannya bekerja. Entah itu sesi potong rambut yang penuh obrolan atau lebih senyap dari bisikan, durasinya akan sama-sama saja dan hasilnya sama-sama sempurna.
Seandainya ia seorang penulis, mungkin ia bisa merampungkan novel ratusan halaman sambil menimpali omelan istrinya dan menerima panggilan dari agen asuransi.
Selain itu, aku sebetulnya bukan tipe orang yang akan memantik dan menjaga obrolan terus menyala dengan orang di sebelahku dalam perjalanan bus antar kota, tetapi entah mengapa aku senang-senang saja mengobrol panjang dengan Stalin. Setengah jam potong rambut rasanya begitu lama sekaligus cepat, seperti jam pelajaran terakhir menunggu bel pulang sekolah. Sungguh sihir yang memperdaya.
Pada pertemuan keempat, ia menyapaku duluan ketika wajahku masuk dalam jarak pandangnya. “Oh orang suci kami! Masih puasa hari ini?”
“Tidak lagi Pak Diktator, percuma. Yang fana itu waktu, kerajaan Inggris abadi,” jawabku sembrono.
Hari itu salon sedang sepi, hanya ada Stalin seorang sebelum aku datang. Pria bertato wajik sedang mengambil HP bekas yang ia beli tunai dari seorang kenalannya di Facebook. Sementara tukang cukur yang satunya lagi entah ke mana dan aku tak peduli ia masih hidup atau sudah mati. Stalin segera menarik kursi tengah dan membiarkanku duduk. Aku melepas kacamataku dan–sesuai dugaan–ia bertanya mengapa.
“Mari kita lihat rambutku jadi apa nanti,” jawabku menggoda.
“Dan kalau begini, kau samar-samar mirip Rio Dewanto.” Ia mengelus kumisnya dari tengah ke pinggir dengan dua ujung jemari. Tak tampak jelas sorot matanya dari pantulan cermin, tapi sepertinya ia memberi tatapan “baiklah kalau itu maumu,” dengan sebelah kumis terangkat.
Karena jadi manusia setengah buta, keinginanku untuk menghabiskan waktu dengan mengobrol kian menjadi-jadi. Aku bertanya asal-usul nama Forgeron dan pernahkah Stalin membeli hadiah untuk seseorang dari toko kue atau bunga di sebelah salon. Ia menjawab tak pernah sama sekali; tak ada orang yang terpikirkan untuk diberi hadiah; ia sendiri tak suka camilan yang terlalu manis; dan baginya bunga lebih cocok ditaburkan di atas kuburan.
Ia lalu bercerita kalau pemilik salon punya darah keturunan Bali dengan marga Pande yang konon leluhurnya seorang pandai besi, atau dalam bahasa Prancis-nya: Forgeron.
“Mengapa tak pilih Blacksmith atau Pande sekalian?” aku mengejar.
Kata Stalin, Pande kurang menjual dan Blacksmith sudah kebanyakan dipakai. Forgeron juga lebih enak disandingkan dengan kata barber dan kebetulan si pemilik salon doyan makan di Tous les Jours yang berbahasa Prancis itu.
Aku menangkap kesan kalau Stalin mengenal baik bosnya seperti orangtua mengenal anaknya. Ketika kutanya bagaimana ia menggambarkan hubungannya dengan pemilik salon, baru sekali itu kudapati Stalin menghentikan pekerjaannya untuk sesaat.
“Hmm. Seperti Gandhi dan Inggris,” jawabnya.
Lagi-lagi, tanpa kacamata, tak bisa kupastikan sorot mata macam apa yang terpantul di cermin.
Stalin menyelesaikan pekerjaannya tanpa cela walau tak segesit biasanya. Ia memang tukang cukur papan atas, seorang maestro, seperti Musashi dengan pedangnya; Flea dengan bassnya; atau Efren Reyes dengan tongkatnya.
Di kasir sudah berdiri pria bertato wajik yang sedang mengoprek HP bekas barunya. Sebelum aku pamit, Stalin menahanku dengan sebuah pertanyaan.
“Menurutmu, manusia terlahir baik atau jahat?”
Tanpa perlu pikir panjang aku segera menyahut. “Pass.”
“Kalau ada yang mengganggumu, apa yang kamu lakukan?” lanjutnya.
“Hmm, yang jelas aku tak percaya orang anarkis, mereka itu pembual. Di dunia tanpa hukum, orang-orang bakal saling bunuh.” Aku berdiri dan mengibaskan beberapa rambut yang gugur di pundak.
“Jadi, kalau tak ada hukum, kamu bakal membunuh?” tanyanya lagi.
Aku hanya tersenyum jahil dan melengos pergi. Aku meminta pria bertato wajik untuk menambahkan satu stempel lagi di kartuku sebagai bonus, tetapi ia hanya tertawa.
“Sabar, setengah lagi,” katanya.
“Sabar bagaimana? Ini masih setengah,” balasku.
Masih tersisa enam kotak kosong, yang artinya butuh sekitar 18 bulan lagi untuk dapat promo potong rambut gratis.
Entah mengapa masyarakat kelas menengah selalu terobsesi dengan keuntungan-keuntungan remeh seperti hadiah TTS, barang diskon, dan menang giveaway.
Sepertinya itu kutukan orang-orang biasa yang hanya peduli dengan diri sendiri. Sepanjang jalan pulang aku selalu membayangkan betapa 18 bulan adalah waktu yang begitu lambat dan lama. Bayi saja umur segitu sudah lepas dari susu ibunya dan bisa berjalan tanpa pegangan.
Tiga bulan setelah aku menguak rahasia di balik nama Forgeron, aku kembali memacu motorku terburu-buru ke sana dan mengutuki lampu merah yang masih sama keparatnya. Aku nyaris menabrak gerobak pemulung saat menyalip angkot biru yang ngetem di depan pasar buah. Dan saking ngebutnya, aku malah nyaris kebablasan dari tempat yang kutuju.
Hari itu, langit sedang terang-terangnya, dan salon langgananku entah mengapa dikerumuni banyak wartawan. Aku terpaksa memarkir motor di depan toko bunga sambil bertanya-tanya apa yang terjadi. Pintu masuk Forgeron diberi garis pembatas polisi dan para petugas berjaga di sekitarnya.
Percuma saja memaksa menerobos masuk. Aku berjalan melewati Forgeron menuju toko kue karena mendadak lapar dan ingin yang manis-manis. Setelah memasuki toko itu, rasa-rasanya aku paham mengapa Stalin tak pernah membeli kue di sana. Untuk sebuah toko kue, dalamnya tampak terlalu murung dan pahit, tak menggairahkan, seperti kebanyakan bangunan McDonald’s masa kini.
Aku memesan ganache choco dan tiramisu karena harganya pas 70 ribu–uang yang mestinya kugunakan untuk membayar jasa Stalin.
“Ada ribut-ribut apa di sebelah?” tanyaku ke penjaga toko.
Ia menggeleng. “Katanya ada pembunuhan,” suaranya ragu-ragu.
Hanya itu informasi yang kudapat dari perempuan berambut kepang satu yang disampirkan di bahu kirinya itu. Tak mungkin Stalin mati, kan? Pikirku.
Sambil mengunyah tiramisu yang rasa kopinya tipis-tipis, aku berjalan cepat ke toko bunga dan membeli setangkai mawar putih.
“Siapa yang mati Bu?” tanyaku ke seorang perempuan paruh baya yang kuduga pemilik toko. Ia bertubuh besar dan kepalanya kecil seperti potongan pin boling.
“Yang punya salon sebelah,” jawabnya setengah berbisik. Aku hampir kesulitan menelan potongan tiramisu terakhir.
Sayangnya ibu itu tak bisa menjawab siapa pembunuhnya meski di kepalaku sudah terukir satu nama. Aku berjalan gontai menuju Maria, motor Suzuki Address keluaran 2014 yang kubeli bekas dari seorang teman yang nyalon kepala desa di kampungnya.
Sisa kue yang kubungkus tertinggal di jok motor sebelah dan baru kusadari sesampainya di rumah. Aku menyetel TV dan baru menemukan jawaban yang kucari-cari saat berita petang.
Pemirsa, seorang tukang cukur tega membunuh bosnya karena diduga sakit hati usai dimarahi. Berdasarkan hasil autopsi, korban diketahui meninggal akibat kehabisan darah pada Minggu lalu. Tersangka mengaku membunuh korban dengan gunting dan menyewa kurir untuk mengirimkan jasadnya ke rumah korban.
Beberapa saat kemudian, tayangan berpindah ke konferensi pers dari kepolisian. Aku melihat Stalin berlutut di depan meja konferensi dengan kedua tangan diborgol besi. Orang-orang memanggilnya Herman.
Di sana ia menceritakan kronologi lengkap peristiwa pembunuhan itu. Sekitar tiga bulan sebelum insiden terjadi, Ketut Pandeyasa, pemilik salon, datang ke Forgeron dengan emosi berkecamuk. Ia dan istrinya baru bertengkar gara-gara pesan singkat dari selingkuhan Ketut lupa dihapus.
Bos meminta Herman merapikan rambutnya, dan usai seperempat jam, ia mencak-mencak karena merasa potongannya buruk. Muka Herman diludahi dan Ketut langsung keluar dengan membanting pintu.
Tiga bulan berlalu, Ketut datang kembali ke salonnya malam-malam, kali ini dengan emosi yang lebih terukur. Lagi-lagi Herman yang memotong rambutnya. Lewat seperempat jam, Herman menggeletakkan gunting dan menawari bosnya untuk dipijat. Dengan mata terpejam, keturunan pandai besi itu mengangguk. Saat itulah Herman menikam lehernya dengan gunting hingga tembus tenggorokan lalu segera mencabutnya kembali.
Tubuh Ketut dibanting ke belakang dan dadanya diinjak dalam-dalam, ia sekarat dengan rambut rapi dan baju berdarah-darah. Herman baru mengangkat kakinya setelah tak merasakan lagi getaran merambat.
Setelah memastikan bosnya mampus, Herman merogoh dompet di saku celana sang mayat, mengantonginya dalam jaket, lalu berjalan ke minimarket membeli berbungkus-bungkus kopi bubuk dan lakban. Usai membersihkan genangan darah dan menyumpal lubang yang baru ia buat di leher Ketut dengan kain, Herman membopongnya ke atas mobil pick up yang ia sewa sebelumnya dan mengangkutnya ke rumah.
Di sana, tubuh tak bernyawa itu dilakban seperti mumi dan dimasukkan dalam kotak kayu besar yang ditaburi bubuk kopi. Esok paginya, Herman menyewa jasa pindah rumah dan mengirimkan peti mati itu ke alamat istri sang bos. Sementara sebatang penis yang ia potong dari selangkangan Ketut dibungkus rapi dalam plastik dan dipaketkan ke alamat selingkuhannya.
Banyak wartawan mempertanyakan alasan Herman harus membunuh korban dengan keji. Herman–yang tak sekedip pun kelihatan menyesal–menjawab sambil tersenyum. “Kalian juga tidak membunuh karena dilarang, kan? Kalau tidak?”
Semua bungkam, setidaknya itu yang tampak dari layar TV. Sementara akulah satu-satunya yang sepertinya ia ajak bicara. Aku mengeluarkan kartu Forgeron dari dompet merah marun, menatapi enam kotaknya yang masih kosong, lalu merobeknya jadi empat bagian.
Aduh sialan. Aku ingin sekali Stalin dapat pengacara bagus dan cepat-cepat bebas. Lagian, sepengetahuanku, hanya ia satu-satunya tukang cukur yang benar-benar becus memotong rambut, dan aku takkan ragu-ragu merekomendasikannya walau ia seorang pembunuh.
Jakarta, 2023
***
Editor: Ghufroni An’ars