Kebudayaan merupakan jalan hidup dan ciri khas yang menjadi pembeda antara satu masyarakat dengan masyarakat lainnya. Dalam masyarakat Karo, dikenal suatu budaya kerja sama yang bernama aron. Kini, makna aron sudah berubah, tidak lagi sesuai dengan makna aslinya, sehingga identitas masyarakat Karo pun ikut berubah.
Baca juga:
Aron adalah budaya kerja sama untuk menggarap lahan pertanian. Dasar kerja samanya berasal dari kesepakatan antar petani Karo sehingga pihak-pihak yang terlibat kerja sama dimungkinkan untuk memodifikasi pengaturan kerja sama tersebut.
Berdasarkan pengalaman dan pengetahuan salah satu tokoh adat di tanah Karo, aron sudah eksis saat zaman penjajahan Belanda. Pada saat itu, orang Karo membuat sistem kerjasama untuk melawan dan menandingi pihak para penjajah dalam hal politik dan ekonomi.
Satu kelompok aron terdiri dari 6 hingga 24 orang anggota. Dalam praktiknya, aron dilakukan oleh seluruh anggota dengan mengerjakan salah satu ladang atau sawah anggota yang telah ditentukan. Di hari selanjutnya, mereka semua bergantian mengerjakan ladang anggota lainnya dan begitu seterusnya secara bergiliran sampai ladang seluruh anggota rampung digarap. Setelahnya, dibuat lagi kesepakatan antaranggota untuk memulai dan membuat jadwal aron yang baru.
Bukan hanya dalam berladang, dahulu ada banyak jenis kegiatan aron. Di antaranya, aron dalam merawat anak anggota lain yang tengah mengerjakan ladang, aron membangun rumah yang bahan-bahannya diambil bersama-sama dari hutan, aron membangun jalan ke ladang, dan banyak lagi. Dalam aron, tenaga dibayar dengan tenaga.
Aron bermanfaat mempererat hubungan para anggotanya dalam menghadapi tantangan alam maupun perubahan zaman. Aron mempermudah pekerjaan karena dalam aron beberapa orang mengerjakan satu ladang yang tentunya lebih mudah daripada mengerjakan ladang sendirian. Aron juga menjadi ruang untuk mengembangkan diri. Dari aron, seseorang mendapat ilmu dan pengalaman dari anggota lainnya dan dari pekerjaan yang dilakukannya. Secara luas, aron membuat anggota masyarakat terpacu untuk bekerja.
Perubahan Makna Aron
Kini, makna aron menjadi tidak sesuai dengan makna awalnya. Kaum awam kebanyakan menganggap aron adalah kelompok orang yang mengerjakan ladang dari pemilik ladang; sebagai bayarannya, kelompok ini diupah dengan uang dalam nominal tertentu. Dengan kata lain, aron telah bergeser artinya menjadi kelompok buruh tani. Ini menandai hilangnya makna asli dari aron itu sendiri, yaitu gotong royong.
Kebudayaan memang memiliki sifat dinamis, mudah berubah sesuai dengan perkembangan dan tantangan zaman. Namun, perubahan tersebut tidak selalu menguntungkan, contohnya ialah perubahan budaya aron ini, yakni hilangnya gotong royong.
Pada sidang pertama BPUPKI, Bung Karno pernah menyampaikan gagasannya mengenai dasar Indonesia merdeka, yaitu Pancasila yang dapat diperas menjadi Trisila dan diperas lagi menjadi Ekasila. Isi dari Ekasila itu adalah gotong royong.
“Gotong royong adalah membanting tulang bersama, pemerasan keringat bersama, perjuangan bantu-binantu bersama. Amal semua buat kepentingan semua, keringat semua buat kebahagian semua. Holupis-kuntul-baris buat kepentingan bersama! Itulah gotong royong.”
Perubahan makna aron mengancam jiwa yang menjadi dasar pendirian Negara Republik Indonesia. Meskipun yang saya jelaskan di sini lingkupnya hanya masyarakat Karo, tidak dapat dimungkiri bahwa kini masyarakat lain juga mulai kehilangan jiwa gotong royong.
Perubahan makna aron kemungkinan disebabkan oleh sifat anggota masyarakat Karo yang semakin individualis, serta munculnya sistem sosial-ekonomi baru dalam masyarakat Karo, yaitu kapitalisme. Semakin individualisnya anggota masyarakat Karo dibuktikan dengan munculnya istilah baru yang mendeskripsikan sifat orang Karo saat ini, yaitu anceng cian cekurak (ACC) yang artinya usil, iri, penggosip. Sifat individualis anggota masyarakat merupakan akar lahirnya sistem kapitalisme dalam suatu masyarakat.
Masyarakat kapitalis akan mendewakan keuntungan materi—profit di atas segalanya! Alhasil, segala sesuatu menjadi barang dagangan demi menghasilkan keuntungan. Aktivitas membantu orang lain pun kini harus dibayar dengan uang tunai sampai-sampai kebudayaan gotong royong seperti aron berganti makna.
Keinginan menumpuk profit membuat harga sesuatu dapat ditentukan sesuka pihak yang menguasai ekonomi dalam suatu masyarakat. Dalam masyarakat Karo kini, harga jasa “aron” seharusnya mencapai Rp100.000 hingga Rp150.000 per hari per orang. Namun, menurut kebanyakan pemilik ladang, harga tersebut tidak sesuai dengan kinerja buruh “aron”.
Alhasil, “aron” kebanyakan dilakukan oleh suku lain karena lebih murah dan rajin ketimbang “aron” orang Karo. Hal ini menyebabkan kecemburuan sosial antara masyarakat Karo dan pendatang di beberapa wilayah di tanah Karo. Ini tidak sesuai dengan sifat asli masyarakat Karo yang dapat menerima perbedaan.
Dulunya, masyarakat Karo ialah kumpulan beberapa suku yang terus berinteraksi dan berbagi kebudayaan satu dengan yang lain sehingga menciptakan kebudayaan baru, yaitu kebudayaan Karo. Buktinya, banyak cerita rakyat Karo yang menyebutkan bahwa marga-marga dalam suku Karo kebanyakan berasal dari suku lain atau lahir dari hubungan antarsuku. Contohnya, cerita rakyat tentang nenek moyang marga Karo-Karo Barus, yaitu Simbelang Cuping yang berasal dari Osang, Pakpak.
Baca juga:
Maka itu, kecemburuan sosial yang muncul belakangan akarnya bukanlah banyaknya migrasi suku lain ke tanah Karo, tetapi berubahnya sifat masyarakat Karo yang dulunya menjunjung tinggi kebersamaan dan dapat menerima perbedaan menjadi masyarakat yang individualis dan intoleran. Ketimpangan sosial dan ekonomi memperparah kecemburuan sosial tersebut, tidak hanya antar suku, tetapi juga antar anggota suku Karo.
Editor: Emma Amelia