Orang Batak yang Separuh Jiwanya Berada di Kota Malang

Arafat Nur, Konflik Aceh, dan Ingatan Kesedihan Bersama

Alpi Anwar Pulungan

4 min read

Memori kelam konflik Aceh terdokumentasi dengan baik pada karya-karya Arafat Nur, penulis penting Indonesia yang tumbuh dan besar di tengah gejolak konflik Aceh yang beberapa kali hampir membunuhnya. Arafat Nur dapat dikatakan sebagai korban sekaligus saksi hidup konflik Aceh. Karyanya menjadi alat transmisi memori kepada generasi selanjutnya.

Lewat novel Arafat Nur, pembaca dibawa lebih dekat dengan narasi kelam konflik Aceh yang tidak sesederhana yang dibayangkan—sebatas konflik antara GAM dan TNI, tetapi jauh lebih rumit dan kompleks, yakni antara GAM, masyarakat sipil, dan negara Indonesia. Arafat Nur seolah ingin memberi tahu banyak orang betapa lemahnya masyarakat sipil di hadapan negara.

Konsistensi Arafat Nur menjadikan konflik Aceh sebagai ide dan latar karyanya melejitkan namanya sebagai pemenang unggulan Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta pada tahun 2010 dan 2016 lewat novel Lampuki dan Tanah Surga Merah, serta juara dua Sayembara Novel Basabasi 2020. Arafat Nur juga memperoleh penghargaan Khatulistiwa Literary Award pada tahun 2011 dan masuk 5 besar penghargaan Badan Bahasa Kemendikbud 2020. Bisa jadi, kompetisi adalah salah satu motivasinya menulis dan strategi agar bukunya diminati pembaca.

Baca juga:

Namun, bagi saya, Arafat Nur adalah sastrawan yang mengalami ambiguitas. Di satu sisi, karya-karyanya banyak menyuarakan protes sosial terhadap kolonialisme Jawa-Indonesia dan menonjolkan identitas Acehnya. Akan tetapi, di sisi lain, Arafat Nur gagal mengidentifikasi dirinya sendiri karena menikah dengan perempuan Jawa, menetap di pulau Jawa, dan menjadi dosen di salah satu perguruan tinggi di Pulau Jawa. Bahkan, di unggahan Facebook-nya, ia pernah mengaku kesulitan menulis tentang Aceh sejak pindah ke Ponorogo.

Ambiguitas serupa saya temukan pada sastrawan Sutan Sati Nasution (Willem Iskander) di Tanah Batak Selatan. Sutan Sati dalam karya-karyanya secara jelas membenci kolonialisme Belanda dan banyak mengunggulkan budaya Mandailing, tetapi ia menerima beasiswa pendidikan dari Belanda, mengubah namanya menjadi Willem Iskander, menikahi perempuan Belanda, dan dimakamkan di Belanda. 

Memori Kelam Konflik Aceh

GAM berdamai dengan Pemerintah Indonesia pada 15 Agustus 2005 di Helsinki, Finlandia. Akan tetapi, perdamaian tersebut tidak dapat dijadikan jaminan kesejahteraan di Aceh. Konflik Aceh seolah hanya selesai dalam lembaran sejarah, tetapi kenyataan di lapangan jauh berbeda.

Pada Pemilu 2014, misalnya, terjadi kekerasan seperti intimidasi, teror, kampanye hitam, penembakan, pembakaran, dan kekerasan fisik di Aceh. Cerminan peristiwa kekerasan tersebut dapat dilihat pada novel Tanah Surga Merah yang menggambarkan berbagai konflik antara elit GAM dan eks kombatan GAM yang tidak memiliki kuasa menjelang Pemilu 2014.

Gambaran kekerasan selama pemberlakuan DOM di Aceh dari sudut pandang masyarakat sipil dapat dilihat lewat novel Lampuki, Tempat Paling Sunyi, dan Bayang Suram Pelangi. Sementara itu, cerita peristiwa itu dari sudut pandang pelaku dapat dilihat lewat novel Seumpama Matahari dan, yang lebih vulgar, Kawi Matin di Negeri Anjing.

Tanpa ada malu, dia (Sukarno) merengek-rengek di ketiak Teungku Daud supaya bersedia membantu negaranya yang dengan mudah kembali dikuasai Belanda. … Terkumpullah perhiasan, uang, lada, pala, cengkeh, padi, dan segala benda lainnya yang berwujud 20 kilogram emas … dari uang derma rakyat itulah, maka dibelilah pesawat terbang sebagai penyokong kebebasan mereka dari penjajah … hanya suaranya saja yang terdengar kemari dan gemanya amat menyakitkan hati dan telinga kami. (Nur, 2019:20-21)

Ingkar janji Sukarno terhadap masyarakat Aceh adalah salah satu penyebab konflik yang lekat dalam memori kolektif masyarakat Aceh. Ketika bertemu Sukarno di Aceh, Daud Beureuh menyatakan bersedia berperang mempertahankan NKRI dan memohon kelak agar Aceh diperbolehkan menjalankan syariat Islam.

Sukarno tidak mempermasalahkan keinginan tersebut karena masyarakat Indonesia mayoritas beragama Islam. Daud Beureuh kemudian meminta jaminan hitam di atas putih, tetapi Sukarno lalu menangis karena merasa tidak berguna sebagai presiden yang tidak dipercaya rakyatnya. Sukarno bahkan bersumpah “wallah, billah” akan memberikan hak kepada Aceh untuk menjalankan syariat Islam.

Dua tahun kemudian, pemerintah Indonesia menggabungkan Aceh dengan Provinsi Sumatra Utara. Sukarno juga menolak Islam sebagai dasar negara. “Apa boleh buat. Negara baru, tentara baru. Apa yang terjadi tak bisa dibantah lagi,” ucap Sukarno pada Daud Beureuh. Tidak lama kemudian, pada 21 September 1953, Daud Beureuh memilih jalan pemberontakan.

Belasan orang bersenjata menyeret perempuan ke pos jaga oleh sebab alasan kecurigaan pada suami perempuan itu yang dituduh sebagai mata-mata pemberontak. Para prajurit melucuti pakaiannya sampai tidak sehelai benang pun melekat. … Tubuh bugil itu diseret ke sebuah tempat, dan orang-orang perkasa itu mengangkanginya secara bergantian, secara biadap. … dan dengan amat kejinya, salah seorang menyetrum selangkangannya, sampai perempuan itu pingsan berkali-kali, dan akhirnya mati kelelahan setelah tubuhnya tidak sanggup lagi menahan dera siksaan. (Nur, 2019:23)

Kutipan tersebut hanyalah salah satu potret bagaimana kekejaman kekerasan yang dilakukan oleh tentara Indonesia semasa pemberlakuan DOM di Aceh. Sepanjang 1989-2005, telah terjadi pelbagai penyiksaan dan kekerasan seperti tragedi lautan darah di Arakundo, tragedi KNPI, kisah Rumoh Geudong, pemerkosaan di Alue Lhok, pembantaian di Kanis Gonggong, Papedang berdarah, perang Koboy di Pondok Kresek, dan tragedi di Jambo Keupok. Bahkan, ada kuburan massal (bukit tengkorak) di 35 tempat yang tersebar di berbagai daerah di Aceh.

Ingatan Kesedihan Bersama

Museum Tsunami Aceh, sebagai pengingat simbolis gempa bumi dan tsunami yang memporak-porandakan Aceh pada tahun 2004, dibuka mulai tahun 2009. Situs ini adalah modal besar bagi Aceh untuk mengembangkan pariwisata kelam (dark tourism). Namun, Museum Konflik Aceh mulai dari penjajahan Belanda (1873-1912), Jepang (1942-1945), DI/TII (1953-1962), hingga GAM (1976-2005) belum juga didirikan.

Dark tourism, sebagaimana yang dinyatakan oleh Yoseph Yapi Taum dalam Destinasi Wisata Sastra sebagai Bidang Kajian: Beberapa Prinsip dan Prospek, adalah wisata mengunjungi tempat-tempat bersejarah terkait penderitaan masa lalu seperti pembunuhan, bencana alam, medan perang, dan kuburan. Dark tourism adalah upaya mediasi antara yang mati (masa lalu) dan yang hidup (masa kini dan masa depan).

Peristiwa-peristiwa kelam menjadi memori kolektif yang dapat menyatukan banyak orang. Berbagai situs terkait ingatan kelam penting untuk membagikan tafsir peristiwa sejarah yang tepat agar wisatawan bisa menghormati pengalaman para korban dan memahami masa lalu.

Tulisan lain oleh Alpi Anwar Pulungan:

Dark tourism yang terdokumentasi pada novel-novel Arafat Nur berpotensi untuk dikembangkan lewat fokus places of significance in the work of fiction. Terlebih, wisata sejarah di Indonesia kebanyakan hanya di bangunan peninggalan kolonial dan kerajaan Nusantara. Berbagai peninggalan yang digambarkan dalam novel-novel Arafat Nur seperti pos jaga, rumah penduduk, senjata, KTP merah-putih, terminal, dan kantor partai bermuara pada sebuah gagasan konseptual penting, yaitu pendirian museum atau laboratorium konflik dan perdamaian.

Beberapa catatan penting tentang pengembangan museum atau laboratorium konflik, yakni sebaiknya dibangun di tempat terjadinya konflik dan di daerah yang jatuh banyak korban. Kemudian, museum atau laboratorium setidaknya harus memiliki tiga ruangan. Pertama, ruang pameran berisi peninggalan-peninggalan konflik Aceh yang meliputi foto, buku, manuskrip, kliping koran, senjata, dan seragam lengkap. Kemudian, ruang audio-video berisi video-video saat terjadinya konflik Aceh dan saat damai. Terakhir, ruang pustaka berisi buku-buku fiksi maupun nonfiksi tentang sejarah Aceh dan konflik Aceh.

Museum atau laboratorium tersebut diharapkan dapat menjadi ingatan bersama, alat transmisi memori, penguat perdamaian, serta pusat kajian dan penelitian resolusi konflik bagi daerah maupun negara lain. Yang tidak kalah penting, museum dan laboratorium juga dapat menjadi upaya menjaga martabat korban.

Promosi dan inovasi museum dan laboratorium dapat dilakukan dengan mengadakan festival sastra, misal, setiap 4 Desember yang bertepatan dengan hari lahir GAM dan dinamai GAM Ethno Carnival. Kegiatannya meliputi perlombaan, pemberian penghargaan, pertunjukan budaya, serta doa bersama untuk para korban dan kedamaian di Aceh ke depannya.

 

Editor: Emma Amelia

Alpi Anwar Pulungan
Alpi Anwar Pulungan Orang Batak yang Separuh Jiwanya Berada di Kota Malang

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email