Tak seperti bintang di langit
Tak seperti indah pelangi
Karna diriku bukanlah mereka
Ku apa adanya
Penggalan lirik dari lagu Menjadi Diriku mungkin mampu mengembalikan ingatan sebagian orang yang melewati masa remajanya di tahun 2010-an. Di tahun-tahun itu grup musik nasyid Edcoustic yang digawangi Aden (alm) sedang dalam posisi puncak ketenarannya di Indonesia. Sebagian besar remaja muslim mendengarkan dan memainkan lagu-lagunya.
Era 2010-an menjadi waktu di mana nasyid populer sangat diminati. Di tahun-tahun itu pula saya pertama kali mendengarkan nasyid. Musiknya ringan, liriknya Islami, mayoritas pesannya mengajak untuk menjalankan pesan-pesan agama dengan lebih “populer”.
Di tahun-tahun itu nasyid populer memang sedang dalam puncak ketenarannya. Nasyid selalu diputar di radio-radio Islam, festival Islam, dan selalu ada di playlist para aktivis muda Islam.
Sejarah nasyid di Indonesia memang cukup panjang perjalanannya. Seperti musik-musik lainnya, batasan genre musik nasyid kadang kala juga tidak tegas, mana yang bisa dianggap nasyid mana yang bukan. Apakah nasyid itu harus berbahasa Arab? Apakah nasyid itu harus membawa pesan agama secara lugas? Hal ini yang sering menimbulkan kebingungan dan bahkan perdebatan.
Bagi sebagian orang, musik nasyid itu ya musik yang dibawakan oleh penyanyi legenda Mesir Umi Kultsum. Suara khas dan balutan musik Arab itulah yang dijadikan batasan musik nasyid. Selain musik jenis ini, maka dianggap bukan nasyid. Karena kata nasyid memang berasal dari bahasa Arab. Alhasil jika lirik bukan berbahasa Arab maka bukan nasyid.
Secara umum nasyid dapat dilihat sebagai salah satu seni Islam dalam bidang seni suara. Biasanya merupakan nyanyian yang bercorak Islam dan mengandung kata-kata nasihat, kisah para nabi, memuji Allah, dan sejenisnya. Biasanya nasyid dinyanyikan secara acapella dengan hanya diiringi gendang.
Seiring berjalannya waktu, di Indonesia mulai masuk dan tumbuh musik Islami yang digawangi Raihan, grup nasyid dari Malaysia. Mereka membawa musik dan lirik bernuansa Melayu. Di kemudian waktu musik jenis ini dinamakan Nasyid Melayu.
Raihan berhasil mendobrak pasar musik muslim di Indonesia. Tembang Demi Masa, Suasana Subuh, dan yang lainnya sangat melekat di telinga para pendengar Indonesia dekade 90-an dan awal 2000-an. Bahkan banyak yang menamakan anaknya dengan nama Raihan. Sepertinya para orangtua ini tidak tahu kalau Raihan itu nama grup, bukan nama solois.
Pasca masuknya Raihan dengan Nasyid Melayu-nya, mulai muncul nasyid dengan subgenre yang lain, yakni Pop Nasyid. Top grup yang dikenal luas adalah Maydani dan Edcoustic. Dua grup ini sepertinya yang berjasa dalam “penyebaran ajaran” Pop Nasyid ke kalangan akar, yakni para aktivis dakwah muda. Hampir seluruh rohis, lembaga dakwah kampus, dan aktivis dakwah muda mengonsumsi musik-musik mereka.
Di beberapa bagian, musik Maydani terasa feel Melayu-nya. liriknya pun menggunakan diksi-diksi khas Melayu. Entah karena Maydani berasal dari Medan yang dekat dengan kebudayaan Melayu, atau memang mereka sengaja mencari diksi dan susunan lirik yang khas dengan Melayu. Berbeda dengan grup-grup nasyid lain yang mungkin lahir di pulau Jawa misalnya, yang liriknya cenderung tegas dan berbahasa Indonesia. Misalnya grup Edcosutik yang lahir di tanah Sunda.
Edcoustic menjadi grup nasyid papan atas dan digandrungi anak muda muslim di tahun 2010-an. Pensi-pensi sekolah Islam tahun-tahun itu belum absah kalau belum memainkan lagu-lagu mereka. Edcoustic kemudian menjadi ikon nasyid di Indonesia dan mampu mengenalkan musiknya ke khalayak luas. Berkat kemajuan teknologi media baru pula musik mereka didengar banyak orang. Lewat Youtube dan radio yang kerap memutar karya-karya mereka.
Selain Edcoustic, sebenarnya banyak grup nasyid yang produktif berkarya. Sebut saja Tazakka, Izzatul Islam, Nowseeheart, dll. Tapi lagu mereka yang nge-hits tak sebanyak Edcoustic. Mungkin karena tampilan Edcoustic yang lebih fresh dan mereka mengusung tema keresahan anak muda. Dari keresahan hidup, kesetiaan dalam berkawan, dan tentu juga cinta. Lirik-lirik cinta yang dituliskan Aden kerap dinilai sebagai lirik penyembuh luka dan pengafirmasi nilai agama.
Pasca meninggalnya Aden, Edcoustic tampak berjalan terengah-engah. Grup ini masih ada, tapi entah mengapa gaungnya tak lagi terdengar. Lagu baru atau album baru sepertinya juga belum ada lagi. Anak-anak Rohis dan aktivis Islam kampus yang biasanya memainkan lagu-lagu mereka seolah kehabisan bahan bakar. Bahan bakarnya ada tetapi tak terbarukan. Lagu yang mereka nyanyikan di sela-sela kesibukan akhirnya hanya itu-itu saja. Alhasil mereka mulai mendengarkan lagu-lagu lain. Entah pop lokal maupun barat, dan yang lainnya.
Beberapa grup nasyid sudah merilis lagu baru, salah satunya Maydani dengan single Hati Yang Baru, tetapi belum mampu mengembalikan kejayaan nasyid di kalangan aktivis muda seperti dedade 2010-an. Saat ini pasar mereka sudah “direbut” oleh musik-musik baru yang sebetulnya kental dengan nuansa lokal. Popdut saat ini masih merajai dan diberi lapak yang besar oleh pelaku industri hiburan. Lihat saja panggung-panggung musik saat ini, baik on air maupun off air, yang dipenuhi oleh pelbagai genre musik lokal selain nasyid.
Bangkit dan tenggelamnya grup musik (atau bahkan genre musik) dapat disebabkan banyak faktor. Media baru dan pendengar baru seolah-olah menjadi penentu eksistensi mereka. Media baru mampu membungkam produk lokal dan mengimpor produk luar sesuai selera pasar. Demam musik pop Melayu hingga K-Pop pernah menjadi arus utama genre musik populer di Indonesia.
Saat ini mungkin nasyid masuk dalam era hidup segan mati tak mau. Grup nasyid yang dulu berjaya saat ini seperti kurang logistik untuk kembali berkarya. Bukan berarti mereka telah tak ada, akan tetapi karya mereka tak lagi dilirik kelompok muda.
***
Editor: Ghufroni An’ars