Unggahan X Omong-Omong Media yang memuat tulisan Raisa Rahima yang berjudul Krisis Analitisitas dan Logika Feminisme menuai beragam respons dari akun-akun berpengaruh dan dengan segera memicu debat sengit warganet X. Sebagian besar kritik terhadap tulisan Raisa mempermasalahkan cara penyampaiannya yang tidak ramah pembaca awam.
Tulisan Raisa sukar dimengerti karena memuat konsep-konsep filsafat yang belum memasyarakat seperti “analitisitas”, “aksioma”, dan “antesenden-konsekuen” tanpa penjelasan lebih lanjut. Selain itu, Raisa seperti memaksakan terlalu banyak contoh kasus dan pembahasan dalam satu tulisan tanpa menjelaskan masing-masing dalam porsi yang cukup. Alhasil, penyampaian ide dalam tulisan Raisa terkesan “loncat-loncat”.
Sebagai orang awam yang tidak pernah mendapat pendidikan formal di rumpun ilmu sosial dan humaniora, saya ingin ikut mengevaluasi tulisan Raisa untuk mengembangkan diskusi tentang feminisme Indonesia secara sehat. Di sini, saya mengelompokkan ide pokok dan kutipan langsung dari tulisan Raisa ke dalam bagian-bagian yang lazim dijumpai pada sebuah karya ilmiah versi ringkas. Pengelompokan ini bertujuan untuk mempermudah kita menafsirkan tulisan Raisa sekaligus melacak motif dan posisi politik penulisnya.
Mari kita jawab bersama-sama pertanyaan “Maksudmu opo, toh, Ra?”
Latar Belakang
Bangunan latar belakang tulisan Raisa dapat saya rangkum menjadi poin-poin sebagai berikut:
- Feminisme hari ini sudah cukup sebagai sikap ilmiah.
- Kajian feminis membutuhkan analisis yang tepat untuk menumpas masalah dalam agenda feminisme.
- Upaya menjawab masalah dalam agenda feminisme membutuhkan metodologi.
- Analogi permasalahan lingkungan tercemar dipakai untuk menjelaskan kebutuhan akan metodologi yang ketat (rigor) dalam kajian feminis.
Rumusan Masalah
Raisa menuliskan dengan jelas apa rumusan masalah yang ia coba jawab dalam tulisannya, yaitu:
“Apa masalah atau tantangan yang hari ini penting disadari para akademisi feminisme Indonesia?”
Tujuan Penulisan
Raisa tidak menyebutkan tujuan penulisan secara eksplisit. Namun, sejauh yang dapat saya tangkap, Raisa menulis Krisis Analitisitas dan Logika Feminisme untuk mengkritik cara mengkaji dan hasil kajian akademisi feminis Indonesia.
Manfaat
Manfaat dari tulisan Raisa juga tidak tertulis secara eksplisit. Namun, klaim Raisa pada bagian akhir tulisan tentang “…krisis yang sedang diambang feminisme Indonesia” membuat saya berasumsi bahwa jika klaim itu benar, maka tulisan Raisa dapat memantik kemunculan pemikiran-pemikiran yang akan menyelamatkan feminisme Indonesia dari krisis.
Kajian Pustaka
Kajian pustaka yang dilakukan Raisa menunjukkan bahwa feminisme memiliki beragam metode untuk menjawab masalah-masalah dalam proposal penelitian feminis. Feminis liberal dan feminis marxis, misalnya, memiliki pendekatan yang berbeda dalam menjawab masalah terbatasnya akses pendidikan dan pekerjaan bagi perempuan.
Kemudian, Raisa mengulas penelitian sebelumnya yang telah membahas masalah kurangnya variasi cara penarikan kesimpulan (analitisitas) dalam kajian feminisme. Dengan merujuk makalah berjudul Ekofeminisme dalam Antroposen: Relevankah? Kritik terhadap Gagasan Ekofeminisme (2018) karya Asmarani, Raisa menunjukkan contoh bagaimana penggunaan metode yang keliru dapat menghasilkan analisis feminis yang tidak tepat.
Raisa merujuk pula makalah berjudul Ekofeminisme Kritis: Menelaah Ulang Gender, Keadilan Ekologi dan Krisis Iklim (2022) karya Rangga Mahaswa dan Ayom Mratita yang menunjukkan bagaimana kajian feminis turunan, yakni ekofeminisme, juga mengalami kendala dalam menjalankan analisis yang tepat. Raisa mempermasalahkan tendensi ekofeminisme untuk mengaitkan semua masalah dengan patriarkisme dan kapitalisme sehingga hasil kajiannya tidak mampu memberi solusi “nyata”.
Hipotesis
Hipotesis dari tulisan Raisa adalah kurangnya variasi cara penarikan kesimpulan (analitisitas) dalam kajian feminis di Indonesia yang menyebabkan kajian feminis tidak mampu memberikan solusi yang sesuai bagi masalah-masalah yang diangkat di sana.
“Feminisme hari ini sudah cukup sebagai sikap ilmiah. Tetapi, sikap ilmiah ini tidak dibarengi analisis yang tepat untuk menumpas masalah-masalah dalam agenda feminisme … betapa feminisme di Indonesia macet karena penggunaan metodologi yang tidak tepat. Jika meto[do]logi berarti analitisitas, analitisitas feminisme tidak digunakan secara rigor.”
Dari kutipan itu, kita mendapatkan beberapa informasi. Pertama, tulisan ini ditujukan kepada akademisi feminis Indonesia. Kedua, objek yang berupaya dianalisis adalah analitisitas. Oleh Raisa, istilah analitisitas didefinisikan sebagai metodologi. Ketiga, tulisan ini secara khusus mengkritik penggunaan metodologi yang tidak ketat (rigor) dalam kajian-kajian yang dilakukan oleh akademisi feminis Indonesia.
Selanjutnya, mari kita lihat bagian pembahasan—tempat problem terbesar dalam tulisan Raisa muncul.
Apa yang Seharusnya Ada
Raisa mencoba membongkar logika di balik apa yang ia sebut sebagai “feminisme Indonesia” dalam paparan berikut:
“…Ketika teori x menyatakan y adalah penyebab masalah A, maka y digunakan hanya karena prediktabilitasnya yang kuat … teori x menyatakan patriarkisme adalah penyebab masalah A karena daya prediktabilitasnya yang kuat … Penggunaan teori yang bergantung pada analitisitas yang saya sebut sebagai “sok kritis” ini, harus saya katakan tidak menggunakan teori dengan tepat, sebab menghilangkan aspek pragmatis teori feminisme … Masalah ini sepenuhnya masalah logis, yaitu masalah antesenden-konsekuen, di mana konsekuen bisa terjadi tanpa harus menghilangkan antesenden. Dalam implikasi P → Q, bagi Q untuk terjadi (bagi keadilan untuk terjadi), tidaklah harus dengan kondisi di mana feminisme sudah terwujud sepenuhnya (patriarkisme runtuh).”
Inti argumen Raisa adalah soal antesenden-konsekuen, soal proposisi di awal dan kesimpulan dari proposisi itu. Bagi saya hal ini sudah cukup jelas. Akan tetapi, yang menjadi masalah utama bagi saya adalah tiadanya penjelasan soal “feminisme Indonesia” dalam pemaparan Raisa.
Berbicara soal “feminisme Indonesia” artinya berbicara mengenai 1001 pemikir dan pemikiran yang mungkin saling bertentangan, berkonflik, dan berkontradiksi antara satu dengan lainnya. Pada awal tulisannya, Raisa sempat menyinggung perbedaan salah dua dari sekian banyak variasi feminisme, yakni feminisme marxis dan feminisme liberal. Namun, selanjutnya, Raisa seperti melupakan fakta bahwa feminisme—Indonesia—memiliki banyak corak ideologi.
Mungkin saja, “feminisme Indonesia” yang dikritik oleh Raisa tepatnya adalah feminisme poskolonial—corak ideologi yang disinggung Raisa di bagian akhir tulisannya. Seandainya benar, alangkah baiknya jika Raisa memberi keterangan bahwa kritiknya ditujukan kepada feminisme poskolonial di Indonesia di bagian awal tulisan. Kemudian, akan lebih baik lagi kalau kritik tersebut dibedah berdasarkan literatur-literatur yang dapat menjadi representasi dari corak pemikiran feminisme poskolonial.
Sayangnya, Raisa malah mengambil contoh anekdotal dengan merujuk unggahan X akun @_gladhys tentang kritik musik yang berkonotasi maskulin dan cenderung menutup ruang bagi perempuan untuk berbicara tentang musik. Sebagai bahan untuk mengkritik sesuatu yang sebesar dan seluas “feminisme Indonesia”, tentu contoh anekdotal semacam itu tidak cukup kuat.
Bagaimana Raisa memastikan bahwa unggahan tersebut adalah penubuhan dari feminisme Indonesia atau, minimal, menjadi corak dominan feminisme di Indonesia? Bagaimana Raisa memastikan bahwa isi unggahan dan pembuat unggahan benar mengikuti jalur feminisme? Jangan-jangan, pembuat unggahan justru merefleksikan pemikiran kelompok konservatif di Indonesia? Siapa yang tahu, kan?
Posisi dan Tawaran Raisa
Saya membayangkan, dalam beberapa tahun ke depan, Raisa akan ditahan di balik jeruji besi. Mengapa? Posisi politiknya, sayangnya, dilarang oleh TAP MPRS yang dibuat enam dekade silam.
Bayangkan saja, apa yang dibutuhkan untuk menyelesaikan masalah, tulis Raisa di esainya, adalah komunisme dan feminisme. Siapa yang tidak takut pada masyarakat tanpa kelas, masyarakat tanpa eksploitasi antar manusia dengan manusia? Ditambah lagi soal feminisme, apakah Raisa tidak sadar bahwa laki-laki di Indonesia masih sangsi soal ini? Lihat saja, laki-laki kita masih sibuk mendiskusikan soal perempuan mengangkat galon, alih-alih bersolidaritas dengan, misalnya, ibu-ibu petani Kendeng yang berjuang mempertahankan ruang hidupnya ketika Ganjar Pranowo menerbitkan izin operasional baru untuk PT Semen Indonesia. Mereka tentu masih kesulitan membayangkan penindasan berlapis yang dialami oleh ibu-ibu Kendeng.
Selanjutnya, Raisa menyinggung pula masalah “relasi kuasa” dan pemikiran Foucault. Meskipun saya tidak tahu apa yang Foucault tulis, setidaknya saya menangkap maksud Raisa bahwa kita tidak bisa cukup hanya dengan menafsirkan dunia, tapi perlu mengubahnya. Kita perlu untuk realistis dengan realitas. Kita tidak bisa asal tolak dan lawan, tetapi harus punya agenda politik yang jelas beserta metode untuk mencapai agenda tersebut, termasuk untuk berkuasa.
Saya teringat debat soal gerakan moral yang dulu disokong oleh Angkatan ‘66. Bersama aparat dan ormas, mereka menumpas habis gerakan politik progresif pada masa itu yang berupaya mengemansipasi wong cilik seperti kita semua. Kita tahu, gerakan morallah yang paling getol untuk anti pada kekuasaan, anti ditunggangi, anti kepentingan, dan anti-antian lainnya entah mengapa. Mungkin, Raisa ingin feminisme Indonesia tidak berakhir menjadi gerakan moral yang asal anti, tolak, dan lawan.
Baca juga:
Saya menyimpulkan, lewat tulisannya itu Raisa memiliki niat baik untuk mengatakan bahwa “Ini aja nggak cukup, woy!” berdasarkan pengalamannya sebagai perempuan di bidang akademis. Namun, terdapat beberapa hal yang luput dalam tulisannya, salah satunya adalah tidak mendefinisikan “feminisme Indonesia” yang berimbas pada kegamangan dalam mencari kekurangketatan metode dalam teori feminis Indonesia itu sendiri.
Selain itu, pilihan kata dalam tulisan Raisa tergolong sulit dan, fatalnya, tanpa disertai dengan keterangan penjelas agar pembaca awam seperti saya mudah mengerti. Tanpa penjelasan tersebut, saya menilai argumentasi Raisa kurang detail.
Di luar tulisan itu sendiri, ketidaktepatan yang paling mendasar adalah keputusan Raisa untuk mengirimkan tulisannya ke Omong-Omong yang merupakan media populer tanpa terlebih dahulu mengubah tulisan tersebut menjadi tulisan yang dapat dimengerti oleh pembaca awam yang tidak familiar dengan tulisan akademik. Tidak semua orang tahu bagaimana perkembangan ilmu pengetahuan mengingat akses dan kualitas pendidikan, serta kondisi riset dan pengembangan Indonesia yang belum merata. Belum lagi, banyak ide yang ingin disampaikan Raisa dalam tulisan itu terhalang keterbatasan kata untuk menampung konsep-konsep yang perlu dipaparkan satu per satu demi kejelasan argumentasi.
Walaupun demikian, tetap ada dampak positif dari tulisan Raisa, yaitu menambah pengetahuan baru. Bagi saya, hal seperti ini menjadi momen untuk melakukan apa yang sering dicuitkan di Twitter (atau, diunggah di X), “Please educate your(my)self!”
Sebagai penutup, masih dalam semangat kemerdekaan, saya ingin mengutip perkataan Aliarcham, seorang pejuang anti kolonial pada zaman republik ini belum lahir, “Berjuang dan belajar, tanpa belajar tak mungkin bisa berjuang.” Mari kita resapi sama-sama perkataan beliau dalam melakukan agenda-agenda emansipatoris, agenda pembebasan rakyat Indonesia ke depannya.
Editor: Emma Amelia