Krisis Analitisitas dan Logika Feminisme

Raisa Rahima

4 min read

Feminisme hari ini sudah cukup sebagai sikap ilmiah. Tetapi, sikap ilmiah ini tidak dibarengi analisis yang tepat untuk menumpas masalah-masalah dalam agenda feminisme.

Masalah membutuhkan metodologi. Dalam menjawab permasalahan lingkungan yang tercemar, misalnya, dibutuhkan metodologi berupa metode kualitatif yang mencakup pembacaan kritis terhadap apa yang menyebabkan lingkungan tercemar pada level kedua, dalam hal ini misalnya kapitalisme. Selain itu, dibutuhkan juga metode kuantitatif yang bisa berupa pengambilan variabel penyebab pencemaran lingkungan pada level pertama, dalam hal ini misalnya pencemaran udara lewat transportasi. Hal tersebut dilakukan untuk bisa menemukan resolusi melalui kebijakan transportasi.

Feminisme, sebagai kajian ilmiah, sebenarnya sudah secara formal memiliki metode yang cukup untuk menjawab masing-masing masalah dalam proposal riset yang diajukan. Feminis liberal (feminisme gelombang pertama), misalnya, menggunakan analisis kesetaraan hak dalam menjawab masalah ekslusivitas perempuan dalam akses pendidikan maupun pekerjaan. Sementara feminis marxis lebih menggunakan analisis kelas dalam menjawab masalah ketertindasan perempuan yang tidak bisa dibaca dalam level pertama. Feminis marxis menggunakan kacamata struktural dengan melihat tendensi kapitalisasi dan monetisasi pemodal sebagai penyebab utama penindasan perempuan.

Baca juga:

Sampai hari ini, diskursus feminisme terus berlanjut. Riset-riset ilmiah dan cabang topik riset berkembang dalam institusi formal maupun informal. Lantas, apa masalah atau tantangan yang hari ini penting disadari para akademisi feminisme Indonesia? Tulisan ini merupakan refleksi pribadi saya yang menyorot betapa feminisme di Indonesia macet karena penggunaan metodologi yang tidak tepat. Jika metologi berarti analitisitas, analitisitas feminisme tidak digunakan secara rigor.

Dalam epistemologi, kita dapat mengukur validitas teori atas aspek prediktabilitas, deskriptif, dan pragmatisnya. Mengikuti kriteria teori yang utuh ini, harus saya katakan bahwa feminisme di Indonesia jauh dari kata holistis—bahkan tepat—dalam menggunakan feminisme sebagai kapak pembedah patriarkisme. Feminisme terlena dengan aspek prediktabilitas teori, sampai-sampai aspek pragmatisnya hilang. Hal ini juga diakibatkan oleh daya analitisitas feminisme yang tidak rigor.

Tentang Analitisitas yang Keliru

Feminis Indonesia terlena pada aspek prediktabilitas suatu teori. Tentu hal ini merupakan cara menggunakan teori yang keliru, sebab teori yang utuh dibarengi dengan aspek deskriptif dan pragmatis. Ketika teori x menyatakan y adalah penyebab masalah A, maka y digunakan hanya karena prediktabilitasnya yang kuat.

Ketika masalah penindasan perempuan terjadi, teori x menyatakan patriarkisme adalah penyebab masalah A karena daya prediktabilitasnya yang kuat. Sekilas hal ini tampak sah-sah saja, dan bahkan wajib hukumnya digunakan masyarakat hari ini. Namun aksioma ini tidak datang tanpa masalah: aksioma ini mengandaikan relasi kuasa hadir selamanya dan harus dihilangkan.

Saya sepakat bahwa patriarkisme harus dihilangkan. Tetapi, dalam komitmen teoretisnya, patriarkisme merupakan kategori dari himpunan relasi kuasa. Relasi kuasa, secara logis, tidak dapat dihilangkan: ia hanya mungkin dihilangkan, dengan catatan, digantikan dengan kuasa yang lain. Ketika kapitalisme runtuh, adalah kuasa komunisme yang kita butuhkan. Ketika patriarkisme runtuh, adalah kuasa feminisme yang beroperasi.

Sebagai pencetus konsepsi relasi kuasa, Foucault sendiri tidak pernah mengatakan bahwa relasi kuasa merupakan suatu hal yang harus kita hilangkan, sebagaimana ia tidak mengemban modal “niscaya”, tetapi “mungkin” secara aksiomatis. Artinya, Masyarakat bisa hidup tanpa kuasa dan pendisiplinan patriarkisme dengan mengupayakan kuasa feminisme. Jika kuasa yang hari ini mengontrol masyarakat sangat opresif dan merugikan, bukan berarti kuasa itu harus kita hilangkan seutuhnya: kita masih butuh struktur kuasa lain dalam masyarakat. Kita harus mendisiplinkan kuasa yang kita inginkan: feminisme dan komunisme, misalnya. Pendisiplinan inilah aspek pragmatis teori feminisme yang hilang dalam analitisitas feminisme.

Penggunaan teori yang bergantung pada analitisitas yang saya sebut sebagai “sok kritis” ini, harus saya katakan tidak menggunakan teori dengan tepat, sebab menghilangkan aspek pragmatis teori feminisme. Selain itu, analisis mereka mengakibatkan masalah yang diajukan dari awal justru bereksponen menjadi banyak.

Mari ambil contoh, yakni ketika dunia akademia pada akhir Juli ini sedang hangat-hangatnya mendiskusikan kritik musik dari tulisan Aris Setyawan. Seorang feminis, melalui cuitannya di Twitter mengatakan bahwa kritik musik sangatlah berkonotasi maskulin dan cenderung menutup ruang bagi perempuan untuk berbicara tentang musik.

Analisis ini tentu saja cacat, sebab: (1) Tidak ada yang melarang perempuan untuk menulis tentang kritik musik. (2) Kritik musik atau diskurus secara umum tidak pernah bergender laki-laki maupun perempuan. Alih-alih menulis bagaimana pandangannya sebagai perempuan terhadap tulisan Aris tersebut, feminis itu malah asal mengidentifikasi alat metodologi akademia musik dan mengecapnya sebagai “musuh” yang juga merupakan “kuasa”.

Baca juga:

Feminis tersebut terlena dengan aspek prediktabilitas teori, tanpa memikirkan aspek deskriptif dan pragmatisnya. Adapun jika ia memikirkan aspek pragmatis teori apa pun yang ia gunakan, ia harus memikirkan bahwa kritik musik adalah milik manusia. Dan ketika laki-laki menguasai kritik musik, ia harus merebut kritik musik tersebut dan menjadikannya ruang di mana perempuan tidak terekslusikan.

Meskipun teori x menjelaskan bagaimana kondisi tertentu memungkinkan kritik musik menjadi ekslusif terhadap perempuan, misalnya seperti alasan struktural, di mana perempuan memiliki beban kerja ganda untuk melakukan pekerjaan rumah tangga, sifat relasi kuasa yang “mungkin” tidak boleh membuat perempuan menalar bahwa patriarkisme tidak bisa diruntuhkan oleh feminisme secara pragmatis.

Masalah ini sepenuhnya masalah logis, yaitu masalah antesenden-konsekuen, di mana konsekuen bisa terjadi tanpa harus menghilangkan antesenden. Dalam implikasi P → Q, bagi Q untuk terjadi (bagi keadilan untuk terjadi), tidaklah harus dengan kondisi di mana feminisme sudah terwujud sepenuhnya (patriarkisme runtuh). Feminisme bisa juga terwujud dengan praktik kecil-kecilan, seperti merebut dominasi laki-laki dalam kritik musik dengan ikut menulis, misalnya. Atau ketika perempuan harus melakukan kerja ganda, mereka bisa berserikat dan menuntut hak pekerja perempuan. Hal ini sama seperti mengatakan “Jika hujan maka basah, tetapi basah bisa terjadi tidak hanya karena hujan, tetapi karena ketumpahan air”

Menyumpahi patriarkisme untuk tumbang suatu saat nanti tidak menyelesaikan masalah apa-apa dalam agenda feminisme. Sayangnya, analisis feminisme justru macet pada analitisitas jenis ini. Di mana dan apa pun itu masalahnya, koar-koar menjadi nomor satu, tanpa menalar dengan logis dan menganalisisnya dengan analitisitas yang tepat. Mengapa hal ini terjadi? Sebab feminisme sudah cukup sebagai sikap ilmiah, tetapi tidak dibarengi dengan metodologi analitisitas yang tepat.

Keresahan saya akan jenis analisis ini tertuang juga pada artikel Ni Nyoman Asmarani  (2018) dan Rangga mahaswa & Ayom Mratita (2022) yang berjudul Ekofeminisme dalam Antroposen: Relevankah? Kritik terhadap Gagasan Ekofeminisme dan Ekofeminisme Kritis: Menelaah Ulang Gender, Keadilan Ekologi dan Krisis Iklim.

Dalam dua artikel tersebut, para penulis membicarakan betapa ekofeminisme macet sebagai teori yang utuh. Hal ini disebabkan tendensi teorisi ekofeminisme yang cenderung melabelkan konsepsi “patriarkisme” dan “kapitalisme” sebagai suatu hal yang niscaya, sehingga bagaimanapun resolusi praktisnya, melekatkan seluruh hal dengan patriarkisme dan kapitalisme tanpa analisis yang tepat adalah metodologi analisis yang tepat. Hal ini tentu keliru, karena sekali lagi, dengan logika “mungkin” alih-alih “niscaya”, kuasa tidak bisa hilang, tetapi digantikan dengan kuasa yang tepat.

Asmarani (2018) menyatakan bagaimana genderisasi terhadap alam merupakan hal yang sia-sia. Konsekuensi logis genderisasi alam yang feminin mengharuskan perempuan untuk memasak dan mencuci piring dan mengurus anak selamanya. Tentu hal ini bermasalah secara logis. Implikasi pelekatan sifat universal (misalnya patriarkisme yang universal atau feminisitas yang universal) dan tak tergantikan sungguh tidak berguna bagi penyelesaian masalah penindasan.

Tulisan ini merupakan refleksi pribadi saya yang menekankan bahwa analitisitas feminisme sedang diambang kritis. Bisa jadi karena feminisme jauh dari perangkat logika, bisa juga karena feminisme analitik maupun filsafat analitik jauh dari iklim akademik Indonesia yang banjir analitisitas poskolonialisme. Meskipun saya takut tulisan ini dicap “tulisan kulit putih” tanpa analisis logis yang tepat dan dengan hanya bermodalkan “cocoklogi”, saya tetap akan berargumen sebagai akademisi terkait krisis yang sedang diambang feminisme Indonesia.

 

Editor: Prihandini N

Raisa Rahima

One Reply to “Krisis Analitisitas dan Logika Feminisme”

  1. personal opinion

    ngga jelas, tidak menjangkau grassroots. ngga semua pembaca paham istilah² “ndakik”, masa baca esai kelas D kaya gini aja kudu buka kamus tiap paragraf? kaya tulisan maba yang baru belajar filsafat.

    pelaku (dan korban) patriarki itu—sepertinya—mayoritas ada di masyarakat yang kurang terdidik alias yang masih bingung besok bisa makan ato ngga, bulan depan bisa ngga bayar listrik atau beli kebutuhan anaknya. esai ini “hanya” mewakili “korban patriarki” dari kalangan “yang bisa kuliah”, yang aware di dunia ini ada patriarki. lantas “korban sebenarnya” gimana?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email