Di tengah badai yang menyerang kewarasan, menulis selalu menjadi titik terang untuk membuka jalan.

Periode Biru

Gilang Satria Perdana

7 min read

Jadi begini rasanya kerasukan setan. Puas. Namun perasaan itu hanya mampir sekejap. Naluri welas asih membuat Anita merasa bersalah tatkala menatap Fandi yang tersungkur tak berdaya. Dengan dada sesak, Anita melangkahi adik iparnya yang berdarah-darah di ruang tamu. Farhan, suaminya, hanya bisa melenguh terisak dengan bibir miring dan tangan kaku akibat stroke yang dideritanya.

Ini semua karena dia! Batin Anita menolak salah. Bisa-bisanya Fandi menyelundupkan KTP dan KK Anita untuk mencairkan pinjol. Sudah dapat 30 juta, malah dipakai judi slot dan open BO. Dia tak tahu rasanya dirangsek tukang pukul pinjol jahanam di rumah dan dirampas laptopnya. Padahal di dalamnya banyak file penting persiapan Wuri, anak Anita, untuk mengikuti Olimpiade Sains.

Tak mau menyerah, Anita mencari Fandi. Bukan di rumah orang tua Farhan—rumah itu telah Fandi gadaikan sejak lama. Melainkan di kosan. Fandi dan Anita sama-sama kaget saat Anita berhasil mendobrak pintu, karena mendapati Fandi dan seorang perempuan binal sedang merekam aksi syahwat mereka di sana. Untunglah tenaga emak-emak Anita mampu melumpuhkan hingga memboyong Fandi ke rumahnya. Di sana Fandi makin babak-belur karena amarah Anita begitu membabi-buta.

“Kasihan, Om Fandi. Kan, kita masih bisa cari duit lagi, Ma,” bela Wuri.

“Gampang? Jual diri sejam dapat dua juta, itu baru gampang!” semprot Anita.

Tunggu. Anita seperti mendapat pencerahan dari kata-katanya sendiri.

“Wuri, kamu menginap di rumah Tante Yussy dulu, ya? Mama mau membereskan semua bencana ini. Belajar yang rajin ya, Nak. Mama doakan Wuri dapat medali emas lagi.”

“Mama yakin?” tanya Wuri, tak percaya.

Anita memahami anak perempuannya itu. Situasi rumah yang kacau sejak Farhan lumpuh membuat konsentrasi belajar Wuri terganggu. Walau rasanya ingin selalu mengakhiri hidup, Anita yang terus kelelahan bekerja siang-malam plus mengurus Farhan akhirnya bertahan karena prestasi-prestasi Wuri di sekolah. Nilai-nilai cemerlang Wuri adalah penyambung napasnya. Maka ketika sebuah ide ngawur itu terlintas di kepalanya, Anita tak segan mengganti label “ngawur” menjadi “brilian”.

Malamnya, ketika Anita telah memulangkan Fandi dan menghardik beberapa penghuni kosan yang ikut campur dengan komentar mengasihani, perempuan itu segera mengurus Farhan. Suaminya pasti lapar. Mungkin di celananya telah ada tinja dan dibasahi kencing. Anita sangat ingin tidur tapi keinginannya mewujudkan rencananya membuatnya kuat kembali. Untung Farhan tidak berak, tidak kencing. Rencana Anita pun bisa berjalan.

Sigap, Anita melucuti pakaiannya di depan Farhan yang menatapnya terkejut. Meski bisu, Anita masih bisa membaca ekspresi suaminya. Anita hampir selesai melepas bra saat berpikir, tidak boleh ada yang tahu identitasku. Apalagi Wuri.

Aha! Untunglah dia punya koleksi pakaian panjang lengkap dengan cadarnya. Anita pun segera membungkus wajah Farhan dengan masker sisa pandemi, juga kacamata hitam. Nah, lengkap sudah. Kini saatnya memulai aksi.

Kelumpuhan Farhan menjadi akhir riwayat persenggamaan mereka sebagai suami-istri. Tadinya, Anita menganggap penis Farhan ikut lumpuh. Selama ini, dia belum pernah melihat benda itu berdiri lagi. Hingga kondisi sialan ini membuatnya mengusahakan hal yang tampak mustahil.

Anita terlilit utang. Tidak ada lagi modal untuk makan, apalagi untuk belanja barang dagangan, kecuali mengais sisa-sisa terakhir di kulkas dan lemari. Anita tak sudi menggadaikan mobil dan motor mereka karena keduanya hasil kerja keras Farhan sebelum lumpuh. Dia pun terlalu malu berutang ke tetangga, atau ayahnya sendiri yang diam-diam tak menyetujui pernikahannya dengan Farhan.

Maka, mencoba membangunkan “barang” milik Farhan adalah jalan terang. Kalau berhasil, mereka bisa leluasa bercinta demi cuan. Videonya akan dia jual ke pelantar video mesum di internet. Dia akan butuh kuota atau sinyal wifi, tapi itu bukan masalah selama tetangga sebelah bersedia menyedekahkan wifi barang sebentar.

Sambil terus mengurut penis Farhan, Anita ingat salah satu jawaban Fandi saat dia gebuki: situs Gemas.com mau beli satu video seharga dua juta. Itulah yang membuatnya open BO lalu indehoy sambil direkam di kosannya. Ternyata apa yang dilakukan Fandi bernilai investasi. Kini gilirannya meraup cuan dari senggama legal yang sudah tertunda lama.

Sayang, belum tegak juga.

Jangan menyerah! Anita kini telah sepenuhnya tak berbusana, begitupun Farhan. Dia melakukan segala hal yang Farhan suka. Dari pakai mulut, hingga vagina. Tak lupa Anita membisikkan kata-kata penyemangat seperti:

“Ayo, Mas, aku mau, Mas…”

“Ah… kamu nikmat banget, Mas… Mantap…”

Serta aneka desahan klise lainnya. Mungkin Farhan sadar Anita hanya sedang berpura-pura berahi demi kebutuhan konten.

Kadang terlintas rasa malu dan sungkan di kepala Anita. Namun, gulma pikiran itu cepat-cepat dia cerabut dengan dalih “melayani suami adalah kewajiban istri” setara dengan “mendidik anak adalah kewajiban orangtua”. Sayangnya, malam itu rudal Farhan belum minat bangun.

Mungkin Farhan butuh obat kuat?

Malam berikutnya, Anita mencekoki Farhan dengan obat kuat yang ternyata masih nangkring di lemari mereka. Anita tahu Farhan adalah pria berharga diri tinggi. Maka obat kuat adalah salah satu barang simpanan wajibnya. Anita pun mengulangi aneka stimulasi. Kali ini Farhan mengerang serupa binatang jalang. Anehnya, Anita makin terpacu, tanpa perlu berpura-pura. Dan ketika Anita ikut mengerang seperti suaminya, dia merasakan penis Farhan mengeras. Semakin mereka mengerang, makin keras zakar itu hingga benar-benar tegak dan siap berperang.

Anita, yang tak menyangka cara ini bisa berhasil, pun segera memasang ponsel. Tak lupa dia kenakan cadar dan membungkus ulang kepala Farhan dengan masker dan kacamata hitam. Ketika semua siap, Anita pun menggesek-gesekkan liangnya pada zakar yang menantang itu. Hampir saja dia langsung menyelongsongi batang itu ke dalam liangnya, ketika dia menyadari posisi ponsel masih kurang tepat. Setelah beberapa kali pengaturan posisi, malam itu Anita dan Farhan seperti menyatu kembali dalam kenikmatan yang berisik. Melupakan segala utang dan beban duniawi lainnya.

Selama ini, Farhan adalah pilotnya. Malam itu, Anita merebut kemudi. Seberapa cepat genjotan adalah keputusannya. Seberapa berisik lenguhan, tiada yang intervensi. Anita ingin terus menggenjot hingga zakar Farhan tertidur. Sayangnya, dialah yang terkapar duluan. Terbukti, obat kuat Farhan masih ampuh.

Kata orang, hanya butuh satu kali kesuksesan untuk mengulangnya berkali-kali. Hanya butuh sepekan, Anita bisa memproduksi lebih dari 20 video mesum yang dia beri judul Periode Biru. Judul itu Anita dapatkan setelah menonton sebuah video dokumenter tentang perjalanan hidup seorang seniman mahsyur kelahiran Spanyol. Ada masanya sang seniman menghadapi waktu-waktu yang amat mencekam, tetapi justru di saat itulah ia melahirkan karya-karya terbaiknya. Sang seniman banyak melukis dengan warna biru selama periode tersebut. Entah bagaimana Anita merasa bahwa video mesumnya juga bernilai seni setelah menonton dokumenter tersebut. Kalaupun tidak bernilai seni, Anita yakin video-videonya tetap akan bernilai ekonomi. Itu sudah cukup bagi Anita.

Sebelum subuh Anita sudah berjaga di ruang tamu untuk menangkap sinyal wifi tetangga sebelah yang biasanya kencang di jam-jam itu. Dua puluh video pun lancar terunggah.

Hari ini beras terakhir akan habis. Wuri masih di luar pulau, berjuang untuk olimpiadenya. Fandi belum tampak lagi batang hidungnya. Hidup tampaknya berjalan sempurna, pikir Anita.

***

Anita dan Farhan terus bercinta penuh peluh. Sambil menggenjot, Anita memang sengaja menempatkan tangan Farhan di puncak dadanya. Tangan itu masih hanya menempel lemas kemarin, namun malam ini Anita merasakan ada gerakan tambahan. Makin cepat dia menggenjot, makin kuat tangan Farhan meremas dadanya.

Apakah ini keajaiban seks?

Sa… yang… Sa… yang…” Farhan terdengar berusaha berucap. Ini adalah sebuah kemajuan! “Aku keluar!

Keduanya pun melepaskan teriakan puas bersama-sama.

“Kamu… bisa ngomong lagi?” Anita tergagap menatap wajah suaminya yang tak lagi miring ke mana-mana.

“Iya! Aku bisa ngomong!!”

Keduanya bersorak seperti anak kecil yang baru mendapat lolipop.

“Mama! Papa!”

Suara Wuri!

Anita tergagap. Dia bergegas mengenakan baju dan membantu Farhan berbusana. Dia kira Wuri pasti akan kaget saking senangnya melihat papanya sembuh dari stroke. Ternyata…

“Ini Mama dan Papa, kan?” sodor Wuri memperlihatkan sesuatu di gawainya. “Aku kenal gorden dan suasana kamarnya.”

Anita menatap mata Wuri yang kecewa.

“Wuri, dari mana video itu—”

“Viral di Twitter, Ma. Sekarang sudah tersebar ke mana-mana.”

Anita tak berpikir sampai situ. Pembajakan konten digital. Mana tahu dirinya soal itu?

“Tapi, Wuri… Papa sembuh, Nak!” Farhan menyusul keluar dari kamar dan memecah kegagapan istrinya.

Wuri tersentak tak percaya. “Papa sembuh!” gadis itu menghambur ke pelukan Farhan dengan haru. “Tapi ini nggak menghilangkan rasa malu Wuri! Teman-teman karantina Wuri di sana pada ngomongin kalian! Gara-gara kalian, Wuri nggak konsen, dan akhirnya cuma dapat perak!”

Anita ikut terisak melihat putrinya berusaha keras menahan tangis.

“Sekarang Wuri tanya, sudah berapa rupiah yang kalian hasilkan?”

“Baru… baru 10 juta. Tapi, Mama sudah upload 20 video. Baru 10 yang dibeli Gemas.com. Sisanya masih dalam kurasi dan editing. Jadi… jadi nanti kita bisa dapat 40 juta buat bayar pinjol, Ri!” Anita menjelaskan dengan nada senang yang dipaksakan.

“Ma, kalau Wuri dapat emas kita juga bisa melunasi pinjol. Hadiah medali emas itu 50 juta. Kalau perak, 25 juta; perunggu, 10 juta. Kenapa Mama sebodoh itu, sih?”

“Wuri!”

Plak!

“Jangan keterlaluan, ya! Mama kepepet! Tapi Mama kan nggak melacurkan diri. Mama berhubungan seks dengan papamu sendiri. Halal! Wajib, malah!”

“Wajib ditonton anak-anak di bawah umur juga? Iya?!” sergah Wuri sambil mengelus-elus pipinya.

“Itu bukan salah Mama! Pengunggahnya harus dituntut pakai UU ITE!”

“Tapi Mama sendiri yang menjual videonya ke dia!” Wuri berteriak geram. “Mama juga termasuk pelaku penyebar videonya.”

Farhan hanya bisa tertunduk lesu.

“Wuri mau ngekos aja,” gadis itu gegas berbalik badan menuju pintu. “Sampai Mama menghapus semua video itu—atau memperbaiki keadaan, terserah bagaimana caranya. Wuri nggak mau punya orangtua bintang bokep!”

Begitulah mereka kehilangan anak gadis 15 tahun itu. Anita kalut, malu, kecewa, tetapi juga bersyukur, dan bahagia. Dua kutub perasaan yang kuat menariknya hingga tercerai berai. Dia pun memutuskan tidur setelah menikmati sebungkus mie instan berdua dengan Farhan. Uang 10 juta masih belum sempat mereka tarik lantaran saking sibuknya memproduksi video.

Sepekan terakhir terasa sangat melelahkan meski menyenangkan. Rasa kecewa yang mengakhiri pekan itu memberinya pukulan lain yang memaksa Anita untuk tetap berpikir. Dia tak mungkin membiarkan Wuri ngekos terus-menerus. Dia telah kecanduan kasih sayang dan prestasi Wuri. Namun, menggeret Wuri pulang sama saja menyulut perang dengan anaknya sendiri. Lantas bagaimana?

Ah, seandainya saja dia bisa membuat klarifikasi seperti seleb-seleb di media sosial. Tapi… siapa dia?

Tunggu.

Tentu saja dia bukan siapa-siapa sampai dia memutuskan untuk menjadi seseorang! Dia sudah punya modal untuk membuat sensasi. Yang Anita perlukan adalah memotong urat malunya untuk mengaku bersalah sambil menjual kisah sedihnya.

***

Untuk menjadi seseorang, Anita butuh jalan pintas bernama viral. Maka, dia pun membuat utas di Twitter dengan mengutip cuitan yang menyebarkan video mesum dagangannya. Dalam utas itu Anita menceritakan semua dengan blak-blakan, meski tetap menyembunyikan semua nama tokoh yang terlibat. Sejak itulah akun anonimnya di Twitter kebanjiran banyak pesan. Ada yang ingin membukukan kisahnya, ada yang ingin mengundangnya ke siniar. Sayangnya, undangan itu bukan berasal dari siniar yang biasa Anita tonton kala senggang dulu. Anita sangat ingin bercerita langsung di siniar yang diasuh langsung oleh seleb tampan mantan atlet basket ternama. Sementara, baru ada undangan dari siniar milik mantan pesulap kekar.

Anita ingin menunggu lebih lama, barangkali si pemain basket dan tim siniarnya akan mengundangnya. Namun, undangan itu tak kunjung datang. Anita ingin mengajukan diri, namun apakah akan terlalu kentara bahwa dia memiliki tendensi untuk panjat sosial?

Di sisi lain, ketiadaan Wuri membuat hidup Anita hampa. Tak ada penyiksaan yang lebih menyakitkan daripada berteman dengan penyesalan. Memata-matai Wuri di dekat sekolah agar bisa melihat apakah sosoknya masih segar bugar pun tak akan pernah cukup bagi Anita.

Akhirnya, dengan segenap keberanian, Anita memenuhi undangan si mantan pesulap kekar itu. Meski banyak mendapatkan pertanyaan intimidatif, dia pun menjawab semuanya dengan komplit dan penuh penyesalan.

“Roro,” kata Anita bermaksud menyapa Wuri dalam nama samaran yang ia karang, “Mama menyesal, Nak. Mama tidak bisa menghapus video-video itu. Tapi Mama menyesal sudah bertindak bodoh. Mama minta maaf, ya, Nak. Mama menunggu kamu di rumah, Nak. Pulang ya, Nak…” begitu kata-kata penutup yang Anita ucapkan pada rekaman siniar si pesulap kekar.

Kini Anita harus siap menghadapi hujatan orang-orang terdekat yang nirkontribusi dalam hidupnya. Anita yakin, orang-orang itu akan tetap mengenalinya meski dia mengenakan cadar. Mungkin yang terparah adalah diusir warga di lingkungan rumahnya, karena selama ini mereka terkenal sangat agamis meski menolak peka terhadap kesulitan tetangganya sendiri. Atau… ah, bagaimana nanti saja. Anita yakin Wuri punya saran terbaik untuknya.

Lantas, apakah begini pula rasanya hancur berkeping-keping? Saat Fandi akhirnya sembuh, Farhan berdagang gorengan karena tak bisa kembali jadi karyawan, dan Anita menolak keluar rumah karena takut bertemu tetangga, sementara Wuri belum juga pulang. Padahal sebentar lagi kenaikan kelas. Anita harus menandatangani rapor Wuri.

Lalu datanglah kabar bahwa Wuri sudah tak lagi sekolah dan memilih bekerja di luar kota. Teman-temannya tak ada yang tahu. Namun, kata mereka, Wuri pergi bersama lelaki bertato yang dia sebut calon suami. Kata mereka, Wuri dan lelaki bertato itu memang sudah lumayan lama tinggal sekamar.

Darah Anita menggelegak. Dia yakin, dia masih punya tenaga untuk mengejar bajingan pembawa kabur darah dagingnya. Ke manapun mereka pergi.

***

Editor: Ghufroni An’ars

Gilang Satria Perdana
Gilang Satria Perdana Di tengah badai yang menyerang kewarasan, menulis selalu menjadi titik terang untuk membuka jalan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email