Indonesia saat ini sedang menghadapi tantangan besar dalam berbagai sektor, mulai dari korupsi yang merajalela, kesenjangan ekonomi yang semakin lebar, hingga lemahnya penegakan hukum. Seruan “Indonesia Gelap” muncul sebagai cerminan keresahan kolektif masyarakat terhadap arah masa depan bangsa. Frasa ini menggambarkan ketakutan akan tergerusnya hak-hak dasar rakyat, seperti akses terhadap pendidikan, kesehatan, dan keadilan sosial. Di tengah situasi ini, pemikiran Ali Syari’ati, khususnya konsep rausyanfikr (intelektual tercerahkan), menemukan relevansinya. Syari’ati menawarkan visi tentang peran intelektual sebagai agen perubahan yang aktif, bukan sekadar pengamat pasif.
Ali Syari’ati, seorang pemikir revolusioner asal Iran, dalam bukunya Ideologi Kaum Intelektual, menggambarkan rausyanfikr sebagai intelektual yang tidak hanya memiliki pengetahuan akademis, tetapi juga kesadaran sosial yang mendalam. Mereka adalah pemikir yang memahami penderitaan masyarakat dan berani menjadi katalis perubahan. Syari’ati menekankan bahwa intelektual memiliki tanggung jawab profetik, mirip dengan misi para nabi dalam sejarah. Para nabi tidak hanya membawa pesan spiritual, tetapi juga ideologi pembebasan yang menantang tatanan sosial yang tidak adil.
Baca juga:
Empat Musuh Perubahan
Syari’ati mengidentifikasi empat tipe musuh perubahan yang bekerja sama untuk mempertahankan status quo:
- Firaun: Simbol penguasa tiran yang menggunakan kekuasaan untuk kepentingan pribadi atau golongan. Di Indonesia, ini dapat dilihat pada elit politik yang menekan suara-suara kritis dan memperkuat status quo.
- Haman: Para teknokrat atau ahli yang menjual ilmu mereka untuk melegitimasi kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat. Mereka adalah para fasilitator kezaliman dengan dalih teknis.
- Qarun: Para kapitalis rakus yang mengeksploitasi sumber daya alam dan buruh tanpa memperhatikan dampak sosial dan lingkungan.
- Bal’am: Tokoh agama yang menggunakan agama sebagai alat legitimasi kekuasaan korup. Mereka tidak membimbing rakyat untuk melawan ketidakadilan, tetapi justru menjadi pendukung sistem yang menindas.
Di Indonesia, keempat tipe ini terlihat nyata dalam praktik korupsi yang melibatkan berbagai institusi, mulai dari lembaga hukum hingga lembaga keagamaan. Misalnya, kasus korupsi Pertamina baru-baru ini yang menunjukkan bagaimana elit politik (Firaun) bekerja sama dengan teknokrat (Haman) untuk menyelewengkan dana publik.
Salah satu poin penting dalam pemikiran Syari’ati adalah kritiknya terhadap intelektual yang memilih untuk netral. Ia menyebut mereka sebagai “penonton sejarah”, yang hanya menyaksikan ketidakadilan tanpa melakukan apa pun untuk mengubahnya. Dalam konteks Indonesia, di mana ketimpangan ekonomi dan pelanggaran hak asasi manusia semakin nyata, netralitas bukanlah pilihan. Intelektual harus mengambil peran aktif dalam melawan ketidakadilan.
Namun, Syari’ati juga mengingatkan bahwa perjuangan ini tidak mudah. Intelektual yang memilih untuk melawan sistem korup akan menghadapi tekanan, ancaman, bahkan kekerasan. Namun, tanpa keberanian untuk melawan, perubahan sosial tidak akan pernah terwujud.
Membangun Perlawanan yang Terorganisir
Perlawanan terhadap ketidakadilan tidak harus selalu dalam bentuk demonstrasi atau aksi fisik. Langkah pertama yang dapat diambil adalah membangun kesadaran kritis di kalangan masyarakat. Intelektual harus menjadi pelopor dalam mendidik masyarakat tentang hak-hak mereka, mengkritisi kebijakan yang tidak adil, dan menawarkan narasi alternatif yang membebaskan.
Lebih jauh lagi, perlawanan ini harus terfokus pada membangun sistem yang lebih transparan dan adil. Misalnya, dalam konteks korupsi, reformasi institusional menjadi kunci. Diperlukan lembaga-lembaga independen yang mendukung pemberantasan korupsi, partisipasi publik dalam pengambilan keputusan, serta kontrol media yang kuat untuk mengawasi kinerja pemerintah.
Baca juga:
Pemikiran Ali Syari’ati dalam Ideologi Kaum Intelektual bukan sekadar teori, tetapi juga tantangan bagi setiap pembaca untuk menjadi rausyanfikr. Di tengah kegelapan yang tampak menguasai berbagai sektor di Indonesia, panggilan ini terasa sangat relevan. Intelektual harus berani melawan ketidakadilan, memperjuangkan perubahan, dan mengingatkan negara akan tugasnya untuk melindungi dan memenuhi hak rakyat.
Habis gelap terbitlah perlawanan. Saat hak-hak dasar kita terancam, kita tidak hanya berhak melawan, tetapi juga wajib mengingatkan negara akan tugasnya. Perubahan tidak akan datang dengan sendirinya, tetapi melalui perjuangan kolektif yang terorganisir dan berkelanjutan. (*)
Editor: Kukuh Basuki