“Bagaimana rasanya jika rumah kita dimasuki oleh orang asing tanpa sepengetahuan kita, sedangkan kita diusir secara paksa, kemudian rumah kita dirusak?”
Perampasan hak seperti itulah yang mungkin dirasakan oleh masyarakat Amungme, akibat dibukanya industri tambang di tanah ulayat mereka. Pemikiran itu muncul ketika saya melihat karya Nelson Natkime dengan judul Ai Yo Kamae. Karya ini dapat kita jumpai di Gudang Bibis, Bangunjiwo dalam rangkaian pameran Biennale Jogja 17.
Melalui tajuk Titen: Pengetahuan Menubuh, Pijakan Berubah, Nelson Natkime memperlihatkan berbagai visualisasi konflik yang kompleks. Konflik atas fenomena serta ingatan yang telah menubuh di kawasan tanah ulayat mereka, Tembagapura.
Ketika menyaksikan presentasi karya drawing Ai Yo Kamae, saya merasa sedang disuguhi potongan puzzle atas suatu narasi konflik antara masyarakat dan negara. Nelson berupaya untuk menghadirkan kembali suara-suara perlawanan atas ketidakadilan yang diterima oleh Amungme.
Guratan-guratan ironis nan pelik mulai dari penggusuran paksa, penebangan liar, pengalihfungsian lahan, termasuk di dalamnya represi militer. Semua itu dilakukan guna tercapainya proyek industri tambang. Hal ini kemudian menjadi ironi, mengingat bagi masyarakat Amungme, kawasan Tembagapura merupakan lokasi yang sakral. Kawasan tersebut merupakan tempat bersemayamnya roh nenek moyang mereka.
Konflik yang terus terjadi tanpa adanya penyelesaian yang adil bagi Amungme, sebagai pihak yang dirugikan, kemudian mengundang tanda tanya besar bagi kita semua. Kita perlu merenungkan kembali arti dari slogan tanah Papua, surga kecil yang jatuh ke bumi. Surga bagi siapakah yang dimaksudkan itu?
Terpinggir di Tanah Sendiri
Sedikit menilik ke belakang, hadirnya pertambangan tidak lepas dari adanya ideologi pembangunan yang dijalankan oleh rezim Orde Baru. Implementasi dari ideologi tersebut, ditandai dengan datangnya modal asing ke Indonesia. Hal tersebut menyiratkan posisi negara yang memang mempersilakan, agar modal asing dapat mengeksploitasi sumber daya alam di Indonesia, termasuk yang dimiliki tanah ulayat.
Tidak adanya pelibatan Amungme secara langsung dalam dialog proyek industri tambang, mengakibatkan orang Amungme menjadi terpinggir. Terpinggirkannya Amungme melahirkan tuntutan melalui aksi protes dan perlawanan. Aksi tersebut ditujukan kepada rezim dan pihak industri tambang yang bersangkutan.
Namun, tuntutan tersebut tidak digubris oleh rezim, bahkan membawa mereka ke dalam jurang konflik yang berkepanjangan. Melalui kekuatan militer, negara justru memberi stigma Organisasi Papua Merdeka kepada orang Amungme yang menolak proyek industri tambang.
Keberpihakan negara atas eksploitasi dan perampasan hak tanah adat, menjadi awal mula dari lingkaran kekerasan yang diterima oleh Amungme. Perlawanan Amungme kemudian menjadi legitimasi yang kuat bagi negara melalui militer, untuk melakukan berbagai tindakan kekerasan lain yang ditujukan kepada Amungme.
Guna memperlancar proyek industri tambang dan pengalihfungsian lahan, aksi represi yang dilakukan militer telah mengancam jiwa serta hilangnya kesejahteraan dan kedamaian. Tidak berdayanya Amungme untuk melawan alat berat dan militer yang mendukung proyek industri tambang, menjadikan orang-orang Amungme terpinggirkan di tanahnya sendiri.
Tembagapura yang memiliki sumber daya alam melimpah dengan harapan dapat memberikan kesejahteraan bagi masyarakat lokalnya, pada kenyataannya justru meninggalkan memori dan pengalaman derita. Amungme sebagai masyarakat sipil inferior, kemudian dapat dikatakan sebagai tumbal atas nama pembangunan ekonomi nasional.
Menyusun Kepingan Puzzle
Di pojok belakang ruangan Gudang Bibis, terdapat Ai Yo Kamae, yang secara kekaryaan berupa deretan karya drawing bernuansa hitam gelap. Nuansa yang sarat akan suasana kemuraman. Suasana suram semakin kental dengan tambahan sinar beberapa lampu kecil, berwarna oranye yang temaram. Selain itu, terdapat sebuah portrait patung Tuarek Naktime yang terbuat dari resin. Patung ini dihadirkan berkaitan dengan peranan dari Tuarek Naktime, sebagai tokoh perlawanan Amungme.
Pengalaman yang dialami Amungme atas kesadaran ruang dan waktu, akan melimpah ruahnya sumber daya alam di Papua, berusaha dihadirkan kembali oleh Nelson melalui Ai Yo Kamae. Deretan karya drawing yang dipresentasikan Nelson, merefleksikan narasi-narasi visual yang saling berkaitan atas perjalanan hidup orang Amungme. Mulai dari sebelum dibukanya proyek industri tambang, hingga setelah dibukanya proyek industri tambang di tanah ulayat mereka.
Di antara banyaknya karya yang dipresentasikan, terdapat tiga karya yang menarik perhatian saya. Ketiga karya tersebut disorot dengan lampu kecil berwarna oranye. Karya pertama merepresentasikan sosok ibu sebagai penggambaran tanah ulayat. Tanah adat merupakan “ibu” yang di dalamnya mengandung nilai-nilai transendental, yang memberikan arti tersendiri bagi orang Papua.
Karya kedua berupa visualisasi potrait wajah yang sedang dicengkram oleh banyak tangan. Cengkraman tangan seolah menarasikan pembungkaman kepada masyarakat Amungme, untuk mengekspresikan berbagai ketidakadilan yang diterimanya.
Karya ketiga merupakan karya yang paling membekas sekaligus menjadi favorit saya, yakni karya yang merepresentasikan visualisasi kompleks atas penggambaran tanah adat Amungme. Visualisasi tentang tanah adat yang telah diintervensi oleh simbol-simbol visual pendukung atas pembangunan proyek industri tambang.
Simbol visual seperti traktor, CCTV, dan sebotol racun merupakan representasi realitas yang dialami oleh Amungme. Traktor seolah menarasikan bagaimana sumber daya alam di tanah mereka dikeruk secara eksploitatif. CCTV dihadirkan sebagai simbol yang digunakan oleh militer untuk mengawasi orang-orang Amungme. Kemudian, sebotol racun dengan tulang dan tengkorak, dapat dikatakan sebagai bentuk terancamnya nyawa serta rusaknya lingkungan, akibat proyek industri tambang.
Baca juga:
Di bagian bawah karya, terdapat visualisasi beberapa orang Papua di sisi kiri dan kanan karya. Beberapa tumpukan tengkorak di bagian tengah, seolah hadir membingkai narasi kelam yang terjadi di tanah adat. Bingkai atas proyek industri tambang yang hanya melahirkan tengkorak-tengkorak.
Ai Yo Kamae adalah pengingat bagi kita bersama, untuk mempertanyakan kembali keadilan atas orang-orang Amungme dan hak-hak masyarakat adat umumnya, di tanah sendiri.
***
Editor: Ghufroni An’ars