Melangkah masuk Monumen Bibis rasanya seperti masuk ruang yang ditinggali para hantu. Terletak di pojokan Desa Bangunjiwo, monumen ini adalah sudut yang terlupakan. Meski monumen ini dibangun sekitar 1980-an, tapi tak semua warga Yogyakarta tahu dan pernah mengunjunginya.
Awalnya monumen ini dibangun untuk meneguhkan pengkultusan Soeharto soal Serangan Umum 1 Maret 1949. Dibangun dengan banyak ruang dan artefak, monumen ini lebih cocok disebut museum kecil. Pada dinding museum kecil ini dipajang wajah-wajah Soeharto dengan bingkai-bingkai yang besar. Wajah itu memenuhi tiap sudut ruangan dalam bingkai foto.
Setelah 1998, monumen ini terbengkalai bersamaan dengan tersingkapnya narasi-narasi lain soal peristiwa 1 Maret. Historiografi bergerak dari sentralitas Soeharto menuju Hamengkubuwono IX. Memang sejarah Yogyakarta selalu tak tuntas dipecahkan, apalagi kepingan-kepingan narasinya.
Terlepas dari lapisan beban historis itu, Monumen Bibis dipilih sebagai salah satu ruang pameran Biennale Jogja ke-17 tahun ini. Sebagai bagian dari Desa Bangunjiwo, Monumen Bibis yang terbengkalai itu diaktivasi lagi. Bahkan, aktivasi yang dilakukan Biennale Jogja merespon monumen propaganda bikinan Orde Baru.
Apa yang dilakukan Biennale Jogja pada Monumen Bibis adalah okupasi naratif. Mereka dengan sadar mengintervensi beban sejarah dalam ruang itu. Kemudian, menawarkan berbagai karya lintas medium yang merespon benang kusut narasi sejarah. Dari karya film dokumenter Ibro Hasanovic soal kapal terbengkalai Josip Broz Tito, Selimut Sejarah dari Unhistoried, hingga Anno Domini dari Jompet Kuswidananto. Karya-karya di Monumen Bibis seakan ingin membasuh luka sejarah dalam tubuh historis kita.
Ketika memasuki museum kecil itu, saya agak terkejut dengan tawaran dari para seniman. Meski saya harus jujur mengakui, bulu kuduk di leher saya bergidik ketika sampai pada ruang paling belakang museum ini. Karya Anno Domini dari Jompet Kuswidananto membuat saya kembali sebanyak dua kali di hari yang berbeda, hanya untuk menyimak lagi karya ini. Meski karya Anno Domini adalah karya tahun 2011, saya sangat terlambat mengenalnya.
Kita yang Selalu Dihantui Arwah Sejarah
“Bahkan, mereka yang terhempas oleh gerak sejarah perlu mengambil rupa sebagai arwah agar suaranya didengar.”
Aforis kecil itu terlintas ketika saya masuk ruang Anno Domini. Kita mengenal Anno Domini sebagai bahasa Latin untuk tahun Tuhan. Penanda waktu yang mendasar dalam imaji temporal peradaban Eropa, penanda yang menjadi patok dari laju peradaban dari apa yang sering direduksi sebagai “Barat”. Alih-alih menandakan kristianitas, Anno Domini yang dipakai Jompet seakan mengacaukan garis batas makna antara “tahun Tuhan” dan “tahun hantu”. Sebab karya ini berangkat dari ide soal sejarah para hantu-hantu di Jawa dalam lapisan tragedi dari tahun 1830 hingga 1965.
Instalasi Anno Domini dirangkai dengan lima rangka “arwah sejarah”. Mereka seperti rangka kostum tanpa tubuh, berdiri tegap membawa bass marching band dan bellyra. Rombongan ini mengingatkan kita dengan para personel marching band, lengkap dengan harnes dan topi komando. Meski beberapa rangka “arwah sejarah” itu memakai sorban, seperti Pangeran Diponegoro.
Pada salah satu rangka “arwah sejarah”, ditayangkan video dokumenter soal sejarah industrialisasi di Jawa. Tayangan itu menampilkan cerobong hingga roda gerigi dari mesin penggiling. Suara narator dari video itu menceritakan perubahan Jawa semenjak penaklukan tahun 1830.
Tetapi ada suara kejutan yang berbunyi beberapa menit sekali, ia bersumber dari sistem kinetik rangka instalasi. Efeknya, bass mendentum dan bellyra marching band berdenting. Telinga kita seperti dihantui bebunyian yang mengejutkan. Ia datang entah dari mana. Para “arwah sejarah” seakan sedang berbaris, menghentak kakinya, dan bergerombol keliling desa.
Momen berjumpa gerombolan “arwah sejarah” itu bertambah intens, karena ruang lembab dan berdebu dalam Monumen Bibis. Lemari, kursi, meja, dan benda-benda kuno di Monumen Bibis ikut menambah intensitas karya Jompet. Menarik bahwa para kurator membiarkan lanskap berantakan dan apa adanya di monumen terbengkalai itu. Olahan instalasi kinetik dan auditif dari Jompet Kuswidananto seperti bertemu rumah yang tepat.
Dari Urban Legend sampai Peristiwa Sejarah
Orang yang sempat tinggal di Yogyakarta tentu pernah mendengar urban legend tentang suara marching band sebelum adzan subuh. Konon, jika jam dua sampai empat subuh seseorang mendengar derap marching band, maka ia akan betah tinggal di Yogyakarta. Urban legend ini yang kemudian diolah oleh Jompet Kuswidananto. Ia membayangkan suara-suara derap langkah dari masa lalu yang menghantui masa kini.
Tetapi melampaui sekadar urban legend, derap langkah “arwah sejarah” itu ditarik pada berbagai peristiwa sejarah—dari soal Perang Jawa 1830 hingga peristiwa 1965. Dengan sorban Diponegoro dan video dokumenter soal penaklukan Jawa, instalasi ini berpijak pada realitas sejarah.
Bebunyian yang mengejutkan dari alat marching band kemudian menghadirkan spekulasi bagi kita yang hadir. Bahwa, ada suara “arwah sejarah” dan jeritan mulut yang kalah dalam lintasan sejarah yang panjang. Sebuah pertanyaan kemudian memantik saya, bagaimana mendengar bunyi sejarah? Apa mungkin mendengar suara orang kalah dalam peperangan di masa lalu? Bagaimana derap langkah kaki yang gemetar saat menyambut pertempuran? Bagaimana suara tangis mereka yang tertusuk keris atau panas peluru?
Masalahnya, suara dan suasana dari sejarah itu tak mungkin muncul dalam arsip berbasis dokumen. Kita cukup sulit memahami sejarah dalam imaji yang spekulatif—seperti imaji bebunyian tadi misalnya. Oleh karena itu, saya selalu tertarik dengan seniman instalasi—entah Jompet Kuswidananto, Mella Jaarsma, FX Harsono, hingga Suvi Wahyudianto—yang mengolah peristiwa masa lalu sebagai pijakan dari karyanya.
Percakapan soal sejarah sering kali satu arah dan dikendalikan otoritas akademik, baik dalam selubung intelektual bernama sejarawan atau ahli sejarah. Sementara, masa lalu selalu tampil dalam wajah yang beragam, warna-warni, dan penuh benang kusut informasi. Apalagi soal suasana dan perasaan. Dimensi itu seakan tak tersentuh oleh narasi sejarah.
Arsip dan historiografi yang menjembatani kita pada masa lalu kadang tak mampu mengurai benang kusut sejarah. Sebab musabab yang paling jelas adalah pandangan yang melihat sejarah sebagai fenomena kognitif. Aspek faktualitas berbasis dokumen membuat jarak antara peristiwa masa lalu dan pengalaman kebertubuhan kita di masa kini. Dalam hal sejarah peperangan, misalnya, ia lebih banyak dipandang sebagai kontestasi politik yang dijelaskan melulu dalam kerangka si menang dan si kalah, strategi gerilya, atau jalannya pertempuran.
Sementara, bagaimana mendengar kembali gumam dari suara-suara prajurit yang takut ketika berangkat menuju medan peperangan itu? Entah si menang atau si kalah, peperangan selalu menguji ambang batas kemanusiaan dari zaman ke zaman. Dalam hati kecil setiap prajurit yang berperang, kematian adalah sebuah keniscayaan—entah melalui peluru panas atau keris. Kematian mengintai pada setiap detik pertempuran.
Ketika sejarawan dalam pendekatan yang lebih kontemporer baru merancang historiografi empatik dan afektif, karya seni—dalam hal ini instalasi yang lintas media—telah lebih dulu mengisi lubang naratif yang dianggap sepele itu. Terutama dengan strategi yang spekulatif sekaligus afektif, imaji tentang sejarah kemudian terbayang melalui bunyi, benda-benda, hingga artefak remeh yang sehari-hari.
Baca juga:
-
Menatap Sepetak Kehidupan Penari dalam Instalasi Ela Mutiara
- Ai Yo Kamae: Sketsa Kelam dari Tanah Papua
Karya Jompet Kuswidananto menjadi salah satu contoh menarik, bahwa tubuh bisa merasakan sejarah. Jeritan, dentum, derap, dan pekik dari masa lalu bisa hadir kembali. Sehingga, pengalaman menyejarah adalah kehadiran untuk merasakan ruang, mendengar bunyi, atau menyentuh benda. Pengalaman menyejarah kemudian tak sekadar menghafal tanggal dan nama pahlawan, atau sekadar menatap buku sejarah sampai terkantuk-kantuk kebosanan di ruang kelas.
***
Editor: Ghufroni An’ars