lebih baik putih tulang, ketimbang putih mata.

Lorjhu’ dan Pengetahuan yang Menubuh

Raymizard Alifian

4 min read

Dua truk yang membelakangi panggung tempat acara pembukaan Biennale 17 menegaskan bahwa apa yang ingin Biennale usung tentang pengetahuan yang menubuh bukanlah igauan belaka. Alih-alih menggelar panggung di gedung ber-AC dengan karpet merah atau laiknya panggung di tengah kota, Biennale menubuh dalam relung-ruang kampung. Tempat duduk tamu undangan seperti duta besar asing dan kurator benar-benar tidak terpisah dengan warga desa. 

Pembukaan Biennale 17 yang bertajuk Titen: Pengetahuan Menubuh, Pijakan Berubah merupakan respons terhadap apa yang telah diperbincangkan dalam Simposium Khatulistiwa 2022 lalu. Pada pembukaannya, Biennale mengundang seniman-seniman musik dari berbagai daerah, tak terkecuali Lorjhu’ dari Madura. Meski etimologi titen berasal dari kata “niteni” yang diadopsi dari bahasa Jawa, di Madura terdapat pola serupa untuk memaknai kepekaan membaca fenomena alam dan sosial. 

Aktor kesenian musik desa setempat melakukan pertunjukan dan kemudian berlanjut dengan pertunjukan lagu-lagu dari timur Indonesia. Ini menggambarkan kolaborasi dan ketersambungan antara ragam kebudayaan yang berbeda. Musik-musik itu menggiring masuk pertunjukan antarlokalitas dan sejarah. Dari sekian pertunjukan, Lorjhu’ menarik perhatian saya. Selain berangkat dari kelokalan yang sama, proses kebertubuhan yang terkandung dalam lirik-lirik musiknya tersalurkan dalam pengalaman kebertubuhan saya. Singkatnya, apa yang Lorjhu’ rasakan terasa sama dengan apa yang saya rasakan, dan mungkin apa yang penonton lain rasakan.

Baca juga:

Sejak senar gitar pertama dipetik, saya langsung meminta seorang kawan untuk menopang tubuh saya di atas punggungnya. Menerobos lautan manusia untuk berdiri di dekat panggung hingga jadi objek perhatian. Dengan spontan, saya berjoget di atas punggung itu. Dengan memakai kopyah dan sarung batik Madura, saya asyik menari-nari seperti meniru tari kopyah dari Lumajang. Menghadirkan tari kopyah ke dalam ruang Panggungharjo memang anomali, pasalnya tari kopyah merupakan tarian untuk merayakan atau bentuk rasa syukur bagi masyarakat Madura merespons gemah ripah hasil tani. Di Madura, kemarau bukan suatu musim yang nirfungsi, melainkan kepingan emas yang dinantikan dengan dihasilkannya tembakau berkualitas. Sedangkan dalam ruang Panggungharjo, rasa syukur umumnya dilakukan ketika musim penghujan, ketika hamparan sawah menghasilkan padi yang memenuhi lumbung-lumbung desa.

Fenomena Rasa, Dislokasi, dan Ketertubuhan Koletif

Lorjhu’ membawakan lagu-lagunya dengan memasukkan kesenian ngejung. Ngejung dalam budaya Madura adalah wahana untuk menggambarkan fenomena rasa yang sedang dirasakan. Hal yang sering dianggap remeh, seperti ditinggal kucing yang kembali memeluk tanah, orang Madura mencurahkan kesedihan dengan bersajak, suara yang lantang, dan menempatkan gestur laiknya berbahagia. Lorjhu’ menangkap fenomena yang dirasakan dalam lingkup spasial di sekitarnya dan menyanyikannya dengan meleburkan apa yang lalu (ngejung) dan apa yang kini (rock). Dislokasi yang asing cukup dapat menggaet pendengarnya untuk hadir dalam kebertubuhan kolektif. Hal ini terbukti dengan penonton yang merespons gestur dan menirukan lirik yang dinyanyikan dengan tidak mempedulikan suasana hati berbahagia atau gundah gulana. 

Pementasan kali ini didahului Lorjhu dengan empat lagu dalam album terbarunya berjudul Parenduan. “Mantra Syafaat” menjadi lagu pertama yang dinyanyikan. Berangkat dari unsur Islam yang mengisi ruang-ruang kebudayaan Madura, Lorjhu’ merekam kalimat tawasul dan mengarsipkannya dalam lagu pertama di album terbarunya. Tidak berangkat dari ruang kosong, Lorjhu’ ingin menggambarkan bahwa kesinambungan antara manusia dan Tuhan dalam ruang Madura. Dalam penampilannya, penonton memposisikan dirinya sedikit lebih tenang serta khidmat mencerna tawasul pada Allah dan rasul-Nya. 

Titen, yang terkandung dalam lirik lagu mulai dari “Parenduan” hingga “Can Macanan”, membuktikan Lorjhu’ mampu dan peka terhadap fenomena alam dan sosialnya. Lagu yang berjudul “Parenduan” menggambarkan suasana desa dari sang vokalis, Badrus Zeman. “Parenduan” diambil dari nama Desa Prenduan, penambahan huruf ‘a’ pada huruf kedua guna menjadi pembeda serta perluasan interpretasi yang dilakukan Lorjhu’ dan pendengarnya.

Fenomena Alam dan Sosial dalam Lirik Lagu Lorjhu’

Dalam lagu “Parenduan”, terdapat beberapa poin yang tersurat dalam liriknya, yakni kerinduan, perindu subuh, penghormatan pada orang tua, ruang-ruang spasial desa, hingga hubungan kiai dan santri. Apa yang Lorjhu’ tangkap dari fenomena alam dan sosial di Desa Prenduan dan kemudian ia bawa ke dalam ruang berbeda bernama Panggungharjo, mengajak penikmatnya untuk rehat sejenak dalam ruang Madura dan menubuh pada masyarakat Prenduan. Translokalitas antara Prenduan dan Panggungharjo tercipta pada penampilan ini. 

Berangkat dari terciptanya translokalitas, selanjutnya Lorjhu’ membawakan “Abhantal Ombak” guna menggambarkan titen atau embodied knowledge. “Abhantal Ombak” sendiri berarti berbantalkan ombak. Frasa ini didapat dari penggalan lirik lagu daerah Madura yang berjudul “Tanduk Majeng”. Dalam penggalan lirik “Tanduk Majeng”, terdapat kesatuan istilah yang menggambarkan kehidupan nelayan, istilah ini berupa pepatah abhental ombak, asapo’ angin (berbantalkan ombak, berselimut angin). Kepekaan dan kebertubuhan nelayan terhadap perahu, laut, ombak, ikan, hingga konstelasi bintang, digambarkan secara eksplisit dalam “Abhantal Ombak”. 

Nyareh bulan, kareh ra’tera’na (Mencari bulan, tinggal sinarnya)

Bintang atabuyen, jhuko’ nyongop tang katangan (Bintang bertaburan, berjajar ikan naik kepermukaan)

Tak berhenti pada makna tekstual yang eksplisit, Lorjhu’ melakukan dislokasi makna dan mengontekstualkan pengalaman kebertubuhan dirinya sebagai musisi. Meski menceritakan kehidupan nelayan, sebagai bagian dari orang laut, Lorjhu’ melakukan tafsir-tafsir romansa di dalamnya. Pada lirik mencari bulan dan hanya mendapati sinarnya, ini laiknya mengejar kekasih yang hanya tinggal kenangan.

Baca juga:

Dirasa pembawaan romansa yang implisit tak cukup membuat penonton puas, Lorjhu’ menyanyikan lagu yang asing bagi pendengar sebelumnya. Lorjhu’ membawakan lagu dari sang drummer berjudul “Fitria”. Mulanya kami mengira bahwa Fitria merupakan kekasih sang drummer. Namun ternyata, Fitria merupakan nama konter pulsa di Pamekasan yang membuat sang drummer tak bisa berhenti memikirkan penjaga konternya. Dalam sebuah interpretasi, Lorjhu’ di sini ingin menghidupkan ruh salah satu band yang mengilhaminya, The Swallows. 

The Swallows merupakan grup band yang berasal dari pulau kecil bernama Bawean. Meski berasal dari pulau kecil dan membawakan bahasa Madura, The Swallows berjaya di Malaysia dan Singapura pada tahun 60-an. Dalam lagu The Swallows yang berjudul “Nga Lompak e Go Go” dan “Marwiyah”, ada kemiripan seperti apa yang ingin disampaikan secara implisit pada lagu “Fitria”. Ketiganya sama-sama menggambarkan perjumpaan seorang subjek dengan sosok yang menarik hatinya. 

Selain album Parenduan, tentu saja Lorjhu’ membawakan lagu-lagu dalam album lalunya yang berjudul Paseser. Dibuka dengan lagu andalannya, “Nemor” berhasil memancing histeria penonton. Selain “Nemor”, lagu lain seperti “Kembang Koning” dan “Can Macanan” juga turut serta dibawakan dalam pementasan ini. 

Selain embodied knowledge, intersubjektivitas menjadi poin utama yang ingin Badrus dan Lorjhu’ bangun. Membunuh dirinya sebagai musisi dan grup band adalah langkah pertama untuk menghancurkan sekat antara band dan pendengarnya. Kematian Badrus sebagai musisi menghilangkan sekat sebagai subjek tunggal dalam lagu-lagunya. Alhasil Lorjhu’ adalah bagian dari pendengar, dan sebaliknya pendengar merupakan bagian dari Lorjhu’. Keberhasilan intersubjektivitas atau dislokasi tubuh dapat dilihat pada euforia penonton dalam pembukaan Biennale. 

Rupanya lagu berbahasa Madura cukup dapat dinikmati oleh mereka yang bukan Madura. Pada suatu pembacaan, saya memetakan bahwa variabel ketertarikan pada Lorjhu’ bukan pada poin antimainstream dan kelokalan saja, tetapi juga pada metode penyampaian dengan menggabungkan seni ngejhung yang bercengkok serta rock yang diminati kawula ramai. Mendengarkan Lorjhu’ adalah merayakan pengetahuan yang menubuh.

 

Editor: Prihandini N

Raymizard Alifian
Raymizard Alifian lebih baik putih tulang, ketimbang putih mata.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email