Instalasi di pojok ruang itu menuturkan sebuah kisah. Kisah tentang kehadirannya yang selama ini dibebankan oleh sejarah, luka, serta hantu yang bergentayangan sejak munculnya Orde Soeharto. Namun, kini beban itu tak lagi perlu ditanggungnya. Setidaknya, sejauh pameran Biennale berhasil meretasnya. Entah apa yang akan terjadi setelahnya.
Karya Unhistoried dengan tajuk After Museum, After History itu menegasikan dirinya yang selama 37 tahun lamanya berkubang sebagai instrumen kuasa. Berkubang menjadi hantu yang membawa narasi heroik Soeharto, sebagai penyusun serta pemimpin dari operasi Serangan Umum Satu Maret.
Alih-alih menggunakan diorama, di ruangan itu justru terpajang meja makan serta kudapan soto babat yang makin mengacaukan beban identitas terhadapnya. Ketika arsip Soebandrio diam-diam sedang menyelinap di dalamnya, ia seakan menggelitik kita untuk menertawakan sikap Soeharto yang lebih memilih makan soto babat ketimbang turun ke lapangan bersama warga melawan kolonialisme Belanda.
Di bagian tengah ruangan, aku justru dibuat heran dengan hadirnya potongan pipa, paralon, batu, serta arsip desa yang dipajang di atas meja putih. Instalasi tersebut justru mencerabutku dari konteks. Bahkan, ketika membaca teks kuratorialnya berulang-ulang, aku tak kunjung menemukan keterkaitan mereka dengan meja makan di sampingnya.
Menyusuri Jalan-Jalan Tikus di Dusun Bibis
Alhasil, pada 15 Oktober lalu, aku nekat mengunjungi kembali Museum Bibis meski harus menaklukkan panasnya aspal Jogja. Namun, ini setimpal dengan kesempatan menjadi bagian dari program Jalan-Jalan Tikus bersama kawan-kawan Unhistoried. Inilah kesempatan yang tepat untuk membaca kembali konteks yang ditawarkan oleh Unhistoried dalam karyanya. Khususnya, konteks yang coba mereka kaitkan antara meja makan dengan potongan pipa, paralon, serta batu yang berada di sisi bilah instalasinya.
Sebagai gambaran, perjalanan ini memakan jarak sepanjang 2,5 km, menyusuri artefak pipa, paralon, serta sendang yang ada di Dusun Bibis. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Arif Furqan, perjalanan ini mencoba untuk mengacaukan gagasan “tanah air” yang kerap diproduksi oleh rezim. Gagasan tanah air coba mereka congkel dari narasi besar yang berkutat pada bangsa dan negara menjadi peristiwa kecil yang justru sedang mengepung masyarakat dusun.
Seusai menunggu setengah jam, lima belas kepala itu memutuskan untuk beranjak dari Museum Bibis. Dengan langkah kecil, mereka beranjak menuju sendang-sendang yang di sepanjang Dusun Bibis. Melalui panduan langsung dari pemuda setempat, kami menapaki tanjakan berbukit yang rasanya hanya muat untuk dua sampai tiga orang berjejer. Maka, sekalinya sahutan klakson terdengar dari belakang, barisan kami dibuat kacau, lalu menyebar tak tentu arah, bahkan sampai ada yang menapaki batu agar tak ketinggalan dari barisan paling depan.
Tak jauh dari Museum Bibis, kami menjumpai potongan pipa besi yang keadaanya tak lagi tersambung. Pipa tersebut dibangun guna mengalirkan air dari tempat keramat. Menurut tuturan setempat, pipa tersebut merupakan proyek awal masuknya saluran air di Dusun Bibis.
Sebelum hadir pipa air, masyarakat di Dusun Bibis kerap berkumpul dan menjalin kontak di sendang-sendang guna menimba air untuk dikonsumsi bersama. Bahkan, saking pentingnya kehadiran sendang, para tetua kerap mengadakan ruwatan di tempat tersebut sebagai ungkapan syukur atas berkah alam yang diberikan kepada mereka.
Namun, semenjak kehadiran pipa tersebut, peristiwa ruwatan tak lagi dilakukan oleh masyarakat setempat. Mereka justru tertarik untuk memasang pipa, bahkan didapati pula selang-selang yang mengalir langsung ke rumah-rumah warga. Alhasil, beberapa sendang yang kami jumpai keadaannya tak terawat dan dipenuhi belukar. Beberapa di antaranya bahkan kering dan tak lagi digunakan lantaran warga telah dibuat bergantung terhadap pasokan air dari PDAM.
Seusai dari sendang, kami pun beranjak menyusuri jalanan berbukit yang dipenuhi reruntuhan daun jati. Bunyi kresak kresek daun jati dan tubuh kami yang kelimpungan menapaki bebatuan terasa seperti menghadirkan kembali memori gerilya yang menjadi saksi perjuangan masyarakat kecil melawan invasi Belanda.
Matahari yang menyengat ubun-ubunku habis-habisan cukup menguras energi. Terlebih, jalur yang kami lalui telah menjelma belukar yang tak lagi membentuk tapakan kaki. Alhasil, kakiku kerap tersandung batu, bahkan terseok-seok menubruk tanaman ilalang.
Mungkin karena sudah jarang dilewati manusia, jalur tersebut menjadi liar untuk kaki mereka. Kehadiran jalanan beraspal di sebelahnya membuat mereka tak lagi perlu menyusuri jalur tersebut. Kurang lebih nasibnya hampir sama dengan sendang yang baru saja kami saksikan.
Pengalaman inilah yang coba ditawarkan oleh Unhistoried: penduduk urban yang kadung mapan dengan infrastrukturnya, diganggu kenyamanannya. Orang-orang urban ini dibenturkan dengan pengalaman menyusuri bukit layaknya warga yang bergerilya mengusir invasi Belanda, menyusuri jalan-jalan setapak layaknya warga yang sedang menimba air bersama di sendang. Namun, mirisnya, kisah mereka justru tak pernah ditampung oleh sejarah, kisah mereka lekas diabaikan lantaran yang menuliskannya sedang khidmat menyantap soto babat.
Baca juga:
Menelanjangi Hantu-Hantu Orde Soeharto
Menyusuri Dusun Bibis menarikku dari mitos-mitos yang coba ditanamkan oleh sejarah. Museum yang kerap menjadi senjata utama indoktrinasi rezim justru diam-diam menjelma sarang hantu yang tak hanya membentuk memori, tapi juga turut mengepung rumah-rumah warga.
Bermula dari sarangnya, sekumpulan hantu menjelma menjadi pipa-pipa desa. Mereka menyusup dan menyebar, mengendalikan pasokan air, bahkan mengacaukan jalinan kontak yang terjadi di sendang. Alhasil, kebutuhan akan air jadi tak lagi perlu dirayakan secara kolektif lantaran pipa-pipa itu telah menegaskan kepemilikan individu. Pipa-pipa itu telah mengaburkan kepercayaan menjadi sesederhana kebutuhan praktis. Kehadirannya setara mengerikannya dengan klaim mentah dari Soeharto.
Editor: Emma Amelia