Setiap generasi memiliki karakteristiknya sendiri, begitu pula dinamika dan problematika di dalamnya. Hal tersebut telah diungkapkan dalam banyak penelitian dan tulisan di pelbagai media. Bahwa setiap generasi menyimpan distingsi sebagai akibat dari perubahan pola pikir dan perkembangan zaman.
Lebih jauh lagi, terdapat tiga generasi yang saat ini dikelola perusahaan sebagai karyawan, yaitu: Baby Boomers (1945-1964), generasi X (1965-1981) dan generasi Y (1982-2000), gen Z, dan generasi Alpha. Terdapat perbedaan karakteristik dari tiga generasi tersebut, seperti perbedaan dalam sikap terhadap pekerjaan, sikap terhadap peraturan/otoritas, sikap terhadap penghargaan, kecenderungan mempelajari soft skill, kecenderungan mempelajari hard skill, dan sikap terhadap umpan balik dan supervise.
Selain itu, secara umum generasi terdahulu identik dengan nuansa kesederhanaan dan serba tradisional. Tidak ada akses teknologi super canggih yang mampu menyelesaikan banyak pekerjaaan secara cepat dan mudah. Akibatnya, generasi terdahulu tampak lebih tangguh dan kuat dalam menghadapi beragam tantangan. Tidak mudah putus asa. Sikap kerja keras. Dan selalu membangun harapan hidup yang lebih baik di masa depan.
Sebaliknya, gen Z memiliki nuansa modern dan teknologi serba canggih di banyak aspek kehidupan. Mereka lahir sudah merasakan kemudahan hidup yang ditopang kecanggihan teknologi yang terus dikembangkan dari waktu ke waktu. Akibatnya, pola pikir yang terbangun dalam diri generasi kekinian didominasi oleh hal-hal serba cepat dan instan.
Kekuatan Mindset
Seorang perdana menteri perempuan pertama Inggris, Margaret Thatcher mengatakan:
“Watch your thoughts for they become words. Watch your words for they become your actions. Watch actions for they become your habits. Watch your habits for they become your character. Watch your character for they become your destiny. In other words what you think you become”. (Perhatikan apa yang kamu pikirkan, karena itu akan berubah menjadi kata-kata. Perhatikan apa yang kamu katakan, karena itu akan berubah menjadi perbuatan. Perhatikan apa yang kamu perbuat, karena itu akan berubah menjadi kebiasaan. Perhatikan kebiasaan anda, karena itu akan berubah menjadi karakter. Perhatikan karaktermu, karena sesungguhnya begitulah takdirmu. Dengan kata lain, masa depan kita berawal dari pikiran).
Pernyataan di atas menunjukkan kekuatan pola pikir (mindset) yang terhubung dengan prediksi masa depan seseorang. Dalam artian, mindset dapat menggerakkan hidup seseorang. Mindset dapat menerangi jalan menuju masa depan. Begitupun berlaku sebaliknya. Oleh sebab itu, mengelola mindset dianggap sangat penting sebagai pegangan dalam menghadapi carut-marut hidup yang beraneka ragam.
Faktanya, kebanyakan generasi muda zaman sekarang mengidap penyakit serba instan dalam menjalani setiap proses hidup. Misal, pesan makanan tinggal pencet Shopeefood, pesan ojek tinggal masuk aplikasi Gojek, cari referensi tulisan tinggal berselancar di platform-platrofm terpercaya yang bergerak di bidang edukasi, dan masih banyak lagi pekerjaan lainnya yang mudah didapat gen Z atau generasi Alpha melalui teknologi.
Baca juga:
- Menggadaikan Orisinalitas dan Kreativitas kepada AI
- Melihat AI Mengatur Manusia
- Jangan-Jangan Kitalah AI-nya
Sesungguhnya, tidak ada yang salah dengan hasil cepat atau instan. Maju dan berkembangnya teknologi memang didesain untuk membuat segala pekerjaan menjadi lebih efektif dan efisien. Contoh kecil seperti hadirnya internet dalam mengakses beragam informasi lintas aspek. Mulai dari segi pemberitaan media, jurnal ilmiah, hingga data statistik sebagai bahan landasan penelitian. Termasuk web dan portal online lainnya yang mendukung banyak pekerjaan.
Masalahnya, kemudahan tersebut memanipulasi arah pemikiran anak muda kekinian. Kemudahan dan kecepatan akses informasi melalaui beragam fitur teknologi dianggap sebagai perkara yang final. Padahal, kemudahan penyelesaian pekerjaan tersebut seharusnya masih dianggap pijakan awal untuk menghasilkan gagasan alternatif yang original berdasarkan hasil pikiran.
Dalam hal ini, penulis mengambil contoh kasus maraknya penggunaan Artifical Intelegence (AI) dalam penyelesaian tugas kuliah mahasiswa. Baik tugas makalah, artikel, atau tugas akhir. Salah satu kasus yang merebak terjadi adalah hadirnya Artifical Intelegence (AI) yang menjadi sebab malasnya berpikir mahasiswa. Semua tugas kepenulisan teratasi dengan adanya AI.
Menyikapi Kecanggihan AI
Semakin ke sini kecenderungan dan ketergantungan mahasiswa dalam menggunakan AI semakin besar. Melalui AI, setiap pertanyaan dapat dijawab secara cepat. Belum lagi kemudahan dan solusi lainnya yang ditawarkan. Pada titik ini, AI seolah-seolah menjadi Tuhan yang mampu menjawab segala kebutuhan mahasiswa. Padahal, sejatinya AI hanyalah penunjang, bukan perkara yang final.
Adapun beberapa contoh Tools AI yang paling banyak dipakai mahasiswa diantaranya, Open AI Playground, Chat GPT-3/GPT-4, QuillBot, Fotor AI, Adobe Express & Firefly, Grammarly, Otter.ai, QuizGecko, Stepwise Math, Google Bard, dan Slidesgo. Semua itu memiliki spesifikasi tersendiri yang siap membantu dan menyelesaikan tugas mahasiswa.
Memang, kehadiran AI menjadi pintu gerbang terbukanya pengetahuan secara detail. Namun, bukan berarti kemudahan tersebut menyebabkan ketergantungan yang berlebihan. Mahasiswa harus tetap membaca buku. Mahasiswa harus tetap berpikir kritis. Dan mahasiswa harus tetap merasa tidak puas terhadap jawaban AI. Dijadikan pijakan boleh, tapi bukan sebagai jawaban akhir. Jangan sampai nalar kritis mahasiswa ditumpulkan oleh kecanggihan teknologi yang dapat menjawab beragam pertanyaan dan menyelesaikan banyak pekerjaan.
Mirisnya, kebanyakan mahasiswa kekinian malah terlena dengan kemajuan teknologi yang dianggap mampu menyelesaikan banyak masalah dan beragam pekerjaan dengan mudah. Padahal, kemudahan tersebut bukan akhir dari segalanya. Dalam artian, ada tuntutan selanjutnya yang harus dipahami secara utuh atas kemudahan yang berhasil didapat sebelumnya. Hal ini yang jarang atau bahkan tidak dipahami oleh generasi muda kekinian.
Mungkin mereka lupa bahwa setiap perubahan besar memerlukan kerja keras, kesabaran tingkat tinggi, upaya belajar berkelanjutan, bahkan kepasrahan total terhadap Tuhan sebagai penguasa alam semesta. Sebagaimana perkataan Imam Syafi’ie tentang orang yang menuntut ilmu: Barang siapa yang tidak mau merasakan pahitnya mencari ilmu, maka ia harus menanggung pahitnya hidup.
Akhirnya, AI hanya dijadikan sarana pembuka dan pemantik ide yang selanjutnya akan dielaborasi berdasarkan kegiatan analisis mendalam dan kajian teori para ahli. Dengan itu, peran AI tidak membatasi nalar kritis mahasiswa. AI hanya sekadar alat menyibak beragam teori dan informasi.
Merawat Nalar Kritis
Pertanyannya, apakah untuk menjadi kritis tidak boleh memanfaatkan AI? Tentu jawabannya adalah tidak. AI tetap bisa difungsikan sebagai pijakan awal untuk menyelam lebih jauh dalam proses penyelesaian tugas. Termasuk dalam mengkritisi suatu kenyataan atau pengetahuan. Sehingga, jika sudah berhasil menggunakan AI secara bijak, maka potensi merawat nalar kritis melalui proses belajar yang tekun tetap dapat terlaksana. Baik belajar mandiri secara personal, komunal, atau melalui metodologi tertentu.
Berkenaan dengan fenomena di atas, mindset yang masih mendarah-daging dalam kepala generasi kekinian adalah tentang tugas kuliah yang sekadar dilaksanakan tanpa keseriusan. Mahasiswa semakin tak segan-segan untuk melaksanakan tugas di waktu mepet pengumpulan karena mengandalkan AI. Yang penting dapat nilai, yang penting selesai. Akibatnya, kemampuan mengelaborasi pengetahuan dan metodologi dalam menghasilkan jawaban yang kuat menjadi minim.
Baca juga:
- Saya Memohon kepada ChatGPT, Maka Saya Ada
- AI: Challenges, Solutions, and Moratorium
- Frame Problem dalam AI
Di sisi lain, saya melihat mahasiswa sekarang memandang tugas sebagai ujian atau cobaan yang mengerikan, bukan dijadikan ajang latihan untuk menguji kapasitas diri. Dari keadaan ini, maka respon pertama yang muncul dari diberikannya tugas adalah pikiran negatif. Mahasiswa seakan-akan menolak segala bentuk tugas karena tidak ingin mengasah keilmuan dan ketajaman berpikir. Tentu, ini juga merupakan dampak dari pola pikir instan yang ingin segala pekerjaan cepat selesai secara mudah. Padahal, hasil maksimal dari sebuah harapan harus dilalui melalui usaha yang keras.
Penjelasan di atas selaras dengan salah satu penjelasan di qowaid fiqh yang mengatakan bahwa “Man ta’ajjala syaian qabla awaanihi ‘uqiba bihirmaanihi,” (Barangsiapa yang tergesa-gesa untuk mendapatkan sesuatu sebelum tiba saatnya, maka sebagai hukumannya dia akan terhalang untuk mendapatkannya). Setidaknya, kalimat tersebut bisa menjadi tamparan bagi generasi kekinian, khususnya mahasiswa yang masih cenderung menginginkan banyak hal secara cepat dan instan. Contoh sederhananya adalah pemanfaatan AI secara berlebihan.
Proses cepat dan instan membuat proses belajar di perguruan tinggi gagal menghasilkan calon ilmuan masa depan. Padahal, PH Werdell pernah berharap bahwa proses belajar di perguruan tinggi akan turut memungkinkan agar mahasiswa sanggup membuat imajinasi dan prediksi tentang kemungkinan-kemungkinan masa depan. Tetapi yang lebih penting ialah membuat keputusan tentang kemungkinan-kemungkinan masa repan tersebut. Bahkan perhatian pada aspek heuristik, yaitu agar mata pelajaran yang diberikan pada mahasiswa tidak hanya akan menambah pengetahuannya, tetapi akan turut pula membentuk sikap-sikap dan nilai-nilai yang berhubungan dengan pengembangan kreativitas, sikap kritis, obyektif, dan bertanggung-jawab. Harapan ini tidak akan bisa terwujud melalui pola pikir instan. (*)
Editor: Kukuh Basuki