Masjid – sebagaimana seharusnya rumah ibadah – menjadi titik berkumpulnya umat Islam dari berbagai suku, ras, golongan, lintas generasi. Rumah ibadah memang sudah seharusnya menjadi melting point, bersifat inklusif dan terbuka untuk semua.
Baca juga:
Sebagai melting point, masjid sangat potensial untuk menjadi sarana pembelajaran tentang toleransi. Bukan hanya pembelajaran bagi anak usia dini, tapi juga bagi semua orang, sepanjang hayat. Karena banyaknya umur tak selalu menjamin kedewasaan seseorang, orang dewasa dan orang tua sekalipun, perlu untuk terus untuk mendewasakan diri lewat toleransi-toleransi kecil yang ada saat berkegiatan di rumah ibadah.
Barangkali pembelajaran yang ada secara tak sadar kita lewatkan begitu saja, atau kadang luput dari perhatian jemaah. Hal tersebut lantaran memang sekilas remeh, acap luput dari perhatian, dan it happens without planning, terjadinya tanpa terencana. Dianggap memang sudah sewajarnya terjadi.
Hal-hal kecil organik yang sering luput dari perhatian kita adalah bagaimana salat jemaah digelar di masjid. Dalam ajaran Islam, salat berjemaah di masjid sangat diutamakan, bahkan disampaikan bahwa derajat orang yang salat jamaah di masjid akan dinaikkan 27 lebih tinggi daripada mereka yang tidak. Ganjaran itu kiranya sudah sangat sepadan dengan pahit getir proses yang dilalui untuk salat berjemaah di masjid.
Lain daripada salat di rumah, saat salat jemaah di masjid sering kita dapati bacaan imam tak sesuai dengan bacaan yang kita pakai. Durasinya bisa lebih lama bisa lebih cepat, makhrojul hurufnya kadang tidak merdu. Jadi kadang bacaan kita sering tak sinkron dengan bacaan imam. Hal-hal seperti ini jelas bisa mengurangi kekhusyukan beribadah.
Itu baru dari imam, belum lagi dari sesama jemaah. Kadang gangguan dari sesama jama’ah lebih mengusik kekhusyukan beribadah. Karena memang namanya melting point, tempat berkumpulnya banyak orang, setiap jemaah tentu tak terlepas dari latar belakang yang membentuk dirinya.
Kadang ketika salat, ada jemaah lain yang bau rokok, ada yang bau minyak wanginya menyengat, ada yang sering memakan tempat saat duduk tahiyat. Apalagi jemaah anak-anak yang sering teriak-teriak memanjangkan aamiin selepas alfatihah dibaca imam. Sementara anak yang lebih belia berlari ke sana ke mari.
Aduh. Kadang ngomel-ngomel dari hati sendiri dalam salat jadi tak terhindarkan.
Tapi mau gimana, wong namanya juga melting point. Justru dengan seperti inilah masjid menjadi tempat untuk belajar makna toleransi. Setiap orang yang datang ke masjid memiliki niat untuk beribadah dan memakmurkan masjid, sudah menjadi hal yang seharusnya bagi setiap jemaah untuk saling menghargai dan tidak mendiskriminasi.
Kalaupun benar-benar tak tahan dengan kebiasaan orang tertentu yang dianggap tak sesuai kebiasaan yang ada, penting kiranya untuk memikirkan cara kita menegur dengan tidak menurunkan ghirah-nya untuk meramaikan masjid. Apabila ada yang punya pembenaran “Lho mereka juga harus toleran dengan budaya kita, jadi kalo kita tegur tak perlu tersinggung,” begitu pun boleh. Asal, kalimat hal tersebut bukan untuk melegitimasi tindakan intoleran kita dalam menegur mereka sehingga mengarah pada perpecahan umat. Lebih-lebih, kalau itu ditujukan pada anak-anak yang belum bisa mencerna teguran kita.
Yaudahlah adalah penerimaan terbaik kita atas tingkah anak-anak, toh kita juga pernah kecil. Nantinya mereka akan melewati proses pendewasan sehingga berada di titik yang kita tempati saat ini. Pokoknya jangan sampai mereka sakit hati. Menjaga ghirah muslim dan muslimah cilik untuk terus meramaikan masjid itu tak semudah memindahkan jemaah anak-anak ke barisan paling belakang.
Untuk kasus kegaduhan jemaah usia anak-anak memang banyak masjid yang dengan sengaja memindahkan anak-anak di shaf paling belakang, atau malah menempatkan mereka terpisah dengan jemaah di masjid. Hal tersebut terjadi salah satunya di masjid Al-hasanah, Pringgolayan, Bantul yang berulang selama beberapa Ramadan sebelum pandemi.
Andai saya jadi anak kecil yang shaf-nya dipisahkan di tempat lain, yang tertanam di benak saya jelas sikap diskriminasi yang merupakan proyeksi dari sikap ekstrem intoleran terhadap anak-anak. Anak kecil butuh contoh nyata dari lingkungan tentang empati dan toleransi. Selain itu, penting untuk membuat anak kecil merasa bahwa masjid adalah rumah mereka.
Baca juga: Anak-Anak Mengajarkan Empati di Ruang Publik
Jangan sampai anak kecil melihat masjid kok dimonopoli oleh golongan tertentu – golongan orang dewasa. Meminjam kata Pram, kita harus adil sejak dalam shaf sholat. Ini sebagai perwujudan dan pengembalian substansi pendidikan toleransi yang ada di masjid. Karena yang membedakan derajat kita ketika sholat di masjid dan di rumah adalah ujian kekhusyukannya.
Kalau ujian kekhusyukan yang menjadi bagian tak terpisahkan dari pendidikan toleransi kita hilangkan dari masjid lewat kebijakan konservatif-intoleran semacam itu, bisa-bisa berkah Ramadan untuk kita juga dicabut. Ritual beragama hanya tinggal jengkang-jengking dan rapalan kosong belaka, tak ubahnya seperti kerja DPR.
Selamat menyambut bulan Ramadan!