Umpatan Patut Dirapal dan Puisi Lainnya

Rania Alyaghina

1 min read

Kembar Berparak

sang kembar di mimbar
yang satu menatap dengan mata menyeleweng;
satunya menundukkan pandangan seperti sedang diospek

kalau mau main
ajak kawan yang lain
jangan cuma mendua
di rahim bunda

siapa bilang kita bersaudara?
bukan, bukan, dia bukan
kawan dari zaman kandungan!
aku cuma temannya yang gadungan
numpang di rahim ibunda selama sembilan bulan
anakmu ini, bisanya cuma meramu
menyiapkan bekal untuk menimang bualan tetangga kelak.

Umpatan Patut Dirapal

anjing, babi, bangsat …
adalah nama-nama hewan;

aku pertama mempelajarinya
di bangku sekolah.

aku menamatkan studi,
aku mencari pundi
menggali dengan risi;

babi, anjing, bangsat …
kutemukan lagi nama-nama hewan
diutarakan atasan
ilmu bangku sekolah taklah sia-sia

jalang! jalang! jalaaang!
dikumandangkan kata itu
menggema, menyelip masuk
ke dinding-dinding kamar
kutanya ibu, “memang jalang itu apa?”
bapak menyahut, “binatang nokturnal yang
cari mangsa di malam hari.”
aku bilang, “aku tak pernah melihat
binatang semacam itu. omong-omong, kakinya ada berapa?”
“ada tiga,” ibu, yang tidak pernah bersua,
kali ini mengambil alih,
“satu di sebelah kiri, satu di kanan,
satunya lagi layu di antara kedua pahanya.”

Botol Bekas Bikin Tak Waras

botol itu melambaikan senyum,
kuterka apa kehendaknya.
kutanya, apa niatnya?

“saya benda mati, saya tidak punya niat.”
mulutku menyatu dengan ragu,
bibirku tersemat dengan carut-marut
botol itu tak mau tahu; ia mau
aku mendayu jemari
menelusuri lekuknya
akalku oleng dibuatnya,
ragaku luruh oleh peluh,
namun kita tak kunjung menyatu

akal bulus membius warasku
“tak apa,” ia membuka mulut. “pastikan
belingnya tak menusuk bibirmu.”

aku mendekatkan diri,
menghalau suara petasan banting tetangga sebelah
menepis ragu yang bersemak
hingga telinga penging,
bikin kepala pening.

kujamah lembut, kurayu kalut,
kulingkarkan jari di rupa yang beku
melupakan waktu,
lalu
bersenandung, mendayu pasrah
pecahan beling kian merenggut mulut

“jangan bekuk bibirku melulu,”
secepat itu seringaiku menyanggah,
“buka mulutmu!”
tanpa pikir panjang, kutenggak lehernya yang jenjang.

Salam

“ucapkan salam sebelum masuk,
ucapkan salam sebelum keluar”
ketika berlutut,
seusai menunduk,
lepas merajuk,
sudah kulaksanakan perintah itu
sudah kupatuhi pinta itu
meski berperang dengan kantuk
hingga dahi terantuk waktu
hanya saja, usai mengucap salam,
ketika kuayunkan kepalaku ke kiri,
kepalaku sudah tanggal lebih dulu.

Empu

perempuan punya cara duduk
yang diatur, dan mesti tunduk
dilarang bersila, dilarang leha-leha
dilarang selonjoran, dilarang mengangkat tangan
laki-laki berdikari, mereka boleh
jadi pembangkang, mereka bebas
duduk mengangkang

perempuan menyulam harapan,
mengulum keterpaksaan
dilarang membela diri, dilarang bersusah hati
laki-laki menenteng kesukaran
melampiaskannya pada perempuan
wajib berulah, tidak wajib menyeka bekas ludah

vonis mereka dijatuhkan ungkapan:
“gak semua lelaki itu bejat!”
“saya contoh laki-laki yang baik!”
“penelitian A bilang satu dari tiga lelaki tersesat. kau ketiganya.”

kepala mereka mendidih hingga keringatnya asat
tudingan tak mampu mereka tahan
tangan mereka sibuk membentuk kepalan
meninju jerat yang melingkungi pikiran

Rania Alyaghina

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email