Sleep Call: Cukup Menghibur Meski Fokusnya Kabur

Hifzha Azka

4 min read

Sleep Call (2023) arahan Fajar Nugros adalah film ambisius. Segala macam topik dipampatkan hanya dalam waktu 100 menit. Tempo film ini cepat dan saya sempat terengah-engah menontonnya. Fajar sepertinya ingin menjadi anak zaman yang memiliki semangat besar untuk mendeskripsikan hal-hal buruk yang terjadi pada era di mana ia hidup. Namun, pada akhirnya, fokus film ini menjadi kabur. Jadi sebenarnya apa sih yang ingin disampaikan oleh Fajar?

Topik-topik yang diangkat Fajar dalam filmnya adalah topik yang kompleks: pinjaman online (pinjol), kekerasan dalam rumah tangga, buruh yang teralienasi dari pekerjaannya, pemerkosaan, perang kelas, kekerasan berbasis gender online (KBGO), sandwich generation hingga persoalan kesehatan mental. Akhirnya, persoalan-persoalan kompleks yang sudah saya tuliskan itu disederhanakan secara serampangan oleh Fajar. Jika Fajar memilih satu atau dua topik yang hendak disoroti secara tuntas, film ini akan menjadi film kritik sosial yang menonjok kekuasaan.

Berlatar di Jakarta, film Sleep Call memiliki narasi besar, yaitu tentang alienasi kelas pekerja di ibukota. Menjalani hidup layaknya robot, Dina (Laura Basuki), tokoh utama dalam film ini, perlu hiburan yang bisa mengembalikan jati dirinya sebagai manusia. Hal yang dilakukan Dina untuk menghibur dirinya sendiri adalah melakukan sleep call dengan laki-laki yang dikenalnya dari aplikasi kencan. Dina merasa dicintai oleh laki-laki tersebut dan semangat Dina untuk menjalani hari muncul kembali.

Dina rutin melakukan sleep call setiap pukul 10 malam. Setelah selesai membersihkan rumah, makan dan berganti pakaian, ia bersiap diri untuk menyambut lelaki asing yang mencintai dirinya itu. Gawai Dina berdering, lelaki asing menghubungi Dina, senyum Dina mengembang layaknya mawar. Beban kerja Dina sekejap luruh dari tubuhnya. Dina menolak untuk selamanya menjadi robot.

Namun, ternyata, sleep call justru membawa petaka bagi dirinya. Ia sebagai kelas pekerja seolah-olah dilarang bahagia. Jika dunia maya dan dunia nyata tidak aman baginya, lalu ke mana lagi ia harus pergi? Mengapa tidak ada tempat yang indah bagi kelas pekerja seperti Dina?

 

Alienasi Kelas Pekerja

Sebelum menonton Sleep Call, saya juga pernah menonton film yang menyoroti isu kelas pekerja. Film itu adalah In the Mood For Love (2002) karya Wong Kar-Wai. Kedua film ini sejatinya memiliki banyak kesamaan: latar kota yang ramai, hunian kelas pekerja yang sempit, alienasi kelas pekerja dan upaya kelas pekerja dalam melawan alienasi tersebut.

Wong Kar-Wai meyakini adanya alienasi yang menimpa kelas pekerja. In the Mood For Love justru memberikan kesempatan bagi kelas pekerja untuk merasa bahagia. Secara tidak ambisius, Wong Kar-Wai tidak membahas seluruh permasalahan kelas pekerja dan memilih salah satunya saja: keterasingan akan cinta.

Keterasingan kelas pekerja terhadap pekerjaannya memang menjadi permasalahan yang selalu menarik untuk dibahas. Marcello Musto dalam artikelnya yang berjudul Konsep Alienasi (Keterasingan) dan Sejarahnya, merunutkan kapan sebenarnya pembahasan tentang konsep alienasi ini mulai dibahas secara sistematis. Ia menemukan bahwa Hegel adalah orang pertama yang merumuskan konsep alienasi secara sistematis dalam bukunya yang berjudul Phenomenology of Spirit yang terbit pada tahun 1807.

Hegel memunculkan istilah Entäusserung (self-externalization) dan Entfremdung (estrangment) yang berarti bahwa roh (spirit) milik seseorang secara objektif bukan miliknya lagi. Kemudian pemikiran Hegel soal keterasingan ditarik oleh Karl Marx kepada konteks kelas pekerja. Dalam karya Marx yang berjudul The Economic-Philosophical Manuscripts of 1844, Marx menjelaskan ada 4 keadaan di mana buruh teralienasi dalam masyarakat borjuis: hasil kerjanya bukan miliknya sendiri, terasing dari pekerjaannya, terasing dari dirinya sendiri (ia tidak memiliki tubuhnya sendiri) dan yang terakhir adalah upah buruh yang selalu rendah dari hasil tenaga kerja yang diperas oleh kelas borjuis.

Dina adalah bukti nyata dari konsep Marx mengenai alienasi. Setiap hari ia bekerja secara mekanis. Ia bangun jam 7 pagi, berdesak-desakkan di transportasi umum dan sesampainya di kantor ia harus melakukan semacam latihan yang dilakukannya secara berulang-ulang sebelum melakukan pekerjaannya: latihan menampilkan wajah senyum dan marah. Tentu saja Dina merasa terpaksa melakukannya.

 

Nasib Dina si Pekerja Perempuan yang Selalu Buntung

Dina adalah seorang pekerja di sebuah perusahaan jasa peminjaman online (pinjol). Ia dipaksa oleh bosnya untuk menawarkan pinjaman kepada masyarakat dan juga menagih utang yang belum dibayarkan oleh para peminjam. Cara menagih utang yang dilakukan oleh pegawai pinjol ditampilkan sangat keji. Mereka kerap kali mengancam menyebar data pribadi milik peminjam jika si peminjam tak kunjung membayar utang. Kata makian, ancaman dan gertakan pun diterima oleh si peminjam.

Dina merasa tidak tega menagih utang dengan cara seperti itu. Psikis Dina sempat terganggu. Namun, Dina tidak memiliki pilihan lagi. Jika Dina tidak melakukannya, ia tidak akan bisa mendapatkan uang untuk membiayai pengobatan ibunya yang dirawat di rumah sakit jiwa dan membayar utang-utangnya kepada perusahaan pinjol lainnya.

Sementara itu, hasil kerja Dina bukan miliknya sendiri. Gali lubang tutup lubang. Gajinya habis untuk orang lain. Belum lagi pekerjaan Dina adalah pekerjaan yang rentan. Pada salah satu adegan, Dina dikuntit oleh salah satu peminjam yang utangnya sering ditagih oleh Dina. Si peminjam mengancam Dina dengan sebilah pisau.

Akhirnya Dina berhasil melarikan diri dari si peminjam. Setelah sampai di rumah kontrakannya yang terletak di gang sempit, ia langsung mengurung diri dan menangis sekencang-kencangnya. Keadaan mental Dina terguncang.

Penderitaan Dina tak hanya berkutat soal keuangan. Sebagai wanita, ia diperlakukan secara tidak pantas di lingkungan tempat ia bekerja. Si bos (Tommy) dan asistennya (Bayu) melakukan kekerasan seksual terhadap Dina. Tommy (Bront Palarae) si bos menjanjikan akan meringankan utang-utang Dina asalkan Dina mau bercinta dengan Tommy. Relasi kuasa memainkan peran penting di sini. Dina yang hanya pekerja biasa sulit untuk melawan si bos.

Bayu (Kristo Immanuel) juga sempat memerkosa Dina. Dalam keadaan mabuk, ia membawa Dina ke hotel dan melakukan hubungan badan. Bayu juga sempat merekam saat dirinya dan Dina sedang berhubungan badan. Nestapa demi nestapa dialami oleh Dina.

Kondisi Dina merefleksikan realita dunia kerja yang terjadi sampai hari ini. Pada tahun 2022, International Labour Organization (ILO) meluncurkan hasil laporannya yang bertajuk Semua Bisa Kena!: Laporan Hasil Survei Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja di Indonesia 2022. Hasil laporan tersebut menunjukkan bahwa 75,93% perempuan (656 dari 864 respoden) pernah mengalami salah satu bentuk kekerasan dan pelecehan di lingkungan kerja.

Laporan yang sama menunjukkan bahwa 54,81% pelaku adalah atasan/supervisor yang lebih senior. Para atasan/supervisor menempati posisi pertama sebagai pelaku pelecehan atau kekerasan di dunia kerja berdasarkan laporan tersebut.

Hal ini disebabkan oleh ketimpangan relasi gender, posisi, jabatan dan kekuasaan. Dalam kasus Dina, ia adalah seorang wanita, kelas pekerja dan tidak memiliki kekuasaan apa pun. Tommy dan Budi bebas melakukan tindakan keji tanpa harus khawatir perilakunya akan diungkap banyak orang.

Penderitaan Dina di kantor membawa Dina untuk mencari kebahagiaan di rumah kontrakannya. Salah satunya adalah mencari pasangan di aplikasi kencan yang bisa menjadi tempat berkeluh kesahnya. Fajar sepertinya tidak ingin memberikan kesempatan bagi kelas pekerja untuk merasakan kebahagiaannya dalam jangka waktu yang lama. Dina pun kembali mengalami penderitaan.

Ternyata si lelaki asing (Rama) itu adalah juga seorang penjahat. Pekerjaannya adalah melakukan sleep call dan merekam aktivitas intim dari lawan bicaranya. Nantinya, rekaman itu akan disebar dan dijual oleh Rama (Juan Bio One). Rekaman aktivitas privat Dina sampai ke tangan Tommy. Tommy mengancam untuk menyebarkan rekaman itu kepada khalayak jika Dina tidak patuh kepadanya.

 

Ada apa dengan Sleep Call?

Film adalah media komunikasi massa. Lewat film, realitas dapat dikonstruksikan dalam bentuk simbol dan pada akhirnya menghasilkan pandangan, bias dan keberpihakannya masing-masing. Melalui film juga, realita dapat dibongkar pasang, diatur dan direncanakan sedemikian rupa dan menyodorkan nilai-nilai yang baru.

Realitas kelas pekerja perempuan dalam konstruksi Sleep Call adalah realitas yang melulu merugikan perempuan sebagai kelas pekerja. Fajar menciptakan jurang pemisah antara kelas pekerja perempuan dan kelas pekerja laki-laki. Para pekerja memang sejak dahulu terpisah dari kelas borjuis. Ketimpangan relasi ini senantiasa memihak kepada kelas borjuis. Maka, jika kelas pekerja perempuan harus “bertanding” melawan sesama kelas pekerja, kelas borjuis tidak akan terganggu kekuasaannya dan semakin semena-semena terhadap kelas pekerja.

Sleep Call tidak berakhir tanpa solusi. Solusi yang ditawarkan Fajar untuk mengakhiri penderitaan Dina adalah dengan membunuh Rama, Bayu dan Tommy. Pertanyaannya adalah: Apakah dengan membunuh orang-orang yang dianggap mendominasi dapat meruntuhkan pula kapitalisme dan patriarki? Fajar lagi-lagi melakukan simplifikasi yang serampangan.

Narasi besar Sleep Call  memang mengenai alienasi kelas pekerja. Namun, memampatkan segala permasalahan kelas pekerja perempuan dalam satu individu, rasa-rasanya justru mengaburkan pandangan bahwa persoalan ini merupakan masalah struktural.

***

Editor: Ghufroni An’ars

Hifzha Azka

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email