Terhitung sejak pelantikan Presiden Prabowo di tanggal 20 Oktober 2024, Indonesia memulai babak politik baru. Selama 100 hari pertama pemerintahan baru, optimisme sekaligus skeptisme bercampur aduk mengiringi langkah awal pemerintahan baru ini. Meski begitu, survei Litbang Kompas mengungkapkan bahwa kepuasan publik (approval rate) mencapai 80,9 persen. Besarnya angka ini perlu diapresiasi, tanpa sedikitpun menyampingkan evaluasi untuk menjamin pembangunan dalam lima tahun ke depan.
Populisme Prabowo
Berasal dari latar belakang militer, Prabowo muncul sebagai figur yang tegas dan nasionalistik. Kerap menyamakan dirinya dengan Hugo Chavez yang merupakan presiden berlatar belakang militer, dirinya mengaku terinspirasi untuk menjadi seorang militer “revolusioner” pro rakyat. Meski memiliki beragam citra di politik, mulai dari agamis hingga figur merakyat, semangat membela rakyatnya tidak pernah pudar. Sampai beliau dilantik, dirinya terus membawa pesan-pesan pro rakyat kecil dalam, seperti yang ia sampaikan dalam pidato pelantikan, “Cita-cita kita adalah melihat wong cilik iso gemuyu, wong cilik bisa senyum, bisa ketawa,”
Pandangan Aspinall atas populisme Presiden Prabowo rupanya masih terbilang relevan dengan masih melekatnya narasi “Us vs Them” pada kepemimpinannya sekarang. Secara teoritis, populisme merupakan bentuk sikap politik yang diterapkan oleh figur dari seluruh spektrum atau ideologi politik yang menekankan pada pelambangan diri seorang pemimpin merupakan bagian dari “rakyat”, sekalipun dirinya berasal dari lingkaran elit.
Baca juga:
Sebetulnya, populisme bukan menjadi hal yang pasti salah, melainkan menjadi dorongan untuk mengkritisi kebijakan lebih mendalam. Umumnya, seorang pemimpin populis akan menyampaikan janji-janji kampanye yang mudah dipahami oleh konstituen, tanpa betul-betul mempertimbangkan cara untuk mengimplementasikan rencana tersebut. Selain itu, kebijakan kerap tidak menyelesaikan akar masalah, melainkan hanya bersifat simbolik.
Dalam konteks Indonesia, program Makan Bergizi Gratis (MBG) menjadi salah satu gambarannya. Memang betul bahwa kebijakan ini berdampak positif pada performa murid-murid sekolah. Akan tetapi kebijakan ini menjadi kurang sesuai bila melihat tujuan awalnya untuk menghilangkan stunting di Indonesia. Dalam permasalahan ini, kunci penyelesaian stunting adalah pemastian gizi cukup bagi 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK). Belum lagi, kebijakan ini terus mengalami hambatan dengan penurunan budget yang bertahap.
Selain itu, pembentukan Korps Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Kortastipidkor) Polri melalui Peraturan Presiden Nomor 122 Tahun 2024 yang disahkan pada akhir era Jokowi meninggalkan tantangan baru dalam penindakan tindak pidana korupsi. Lembaga penegak hukum definitif seperti Polri makin diperkuat, sementara posisi KPK hanyalah lembaga ad hoc yang sewaktu-waktu dapat dibubarkan. Semakin minim peran ad hoc, artinya KPK hanya sekedar lembaga simbolik yang saling tumpang tindih dengan lembaga penanganan Tipikor lainnya. Belum lagi, Presiden Prabowo pernah menyampaikan bahwa dirinya akan memaafkan pelaku korupsi bila mengembalikan aset yang dikorupsi, meski tanpa diketahui oleh rakyat (Hendrik Khoirul Muhid, 2024). Dengan begitu, akan sulit rasanya “mengejar koruptor hingga Antartika” bila alur penindakan tipikor dan budaya atas korupsi masih belum diubah.
Power sharing
Prabowo Subianto telah menjanjikan beberapa perubahan saat menjadi kandidat dan bertindak cepat nan cergas setelah ia menduduki kursi kepresidenan. Sesaat setelah pidato pelantikannya, ia mengumumkan sebuah koalisi besar bernama Kabinet Merah Putih yang terdiri dari 48 kementerian, lima kepala badan, dan 56 wakil menteri—menjadi kabinet terbesar sejak reformasi 1998—yang diatur dalam Perpres No 140 Tahun 2024 mengenai perubahan nomenklatur kementerian/lembaga. Hal ini mengundang pertanyaan mengenai efektivitas kinerja koalisi yang sangat gemuk ini. Melalui logika rational bureaucracy, pembentukan birokrasi yang tumpang tindih serta dipilih secara politis akan berdampak pada kinerja yang tidak produktif. Selain itu, permasalahan konflik kepentingan dalam internal kabinet dan koalisi pun juga aspek yang diperhatikan banyak ahli (CSIS, 2025).
Metode distribusi kekuasaan Kabinet Merah Putih menjadi bentuk kartelisasi terburuk dalam politik Indonesia setelah reformasi, menyisakan PDIP yang belum mengumumkan stances-nya. Dan Slater menyebut fenomena seperti sebagai Promiscuous Power Sharing (pembagian yang tidak bijak) yang berujung pada pemerintahan non-demokratis. Dengan begitu, sekalipun PDIP menyatakan diri untuk tidak bergabung dalam kabinet, porsi oposisi di Indonesia tetap terbilang jauh dari ideal. Dengan hanya 19,8% oposisi, akuntabilitas secara vertikal ataupun horizontal akan sangat sulit untuk dilaksanakan mengingat seluruh instrumen negara, termasuk hukum, dikuasai oleh pemerintah. Pada akhirnya, besar kemungkinan masyarakat kehilangan ruang bersuara formal bila pemerintah tidak berjalan dengan baik.
Hal ini diperparah dengan fakta pemerintahan tingkat daerah pun dikuasai oleh Koalisi Indonesia Maju (KIM) yang berafiliasi langsung dengan Kabinet Merah Putih (KMP). Banyak partai yang menukarkan kursi-kursi kepala daerah di “kandang” mereka sebagai pertukaran kursi Kabinet Merah Putih (Burhanuddin Muhtadi, 2024). Pola ini berbeda dari pemilu sebelumnya yang mana koalisi di tiap daerah umumnya tidak berjalan paralel dengan koalisi di pemerintahan nasional. Dengan begitu, sangat mungkin kebijakan yang dibentuk oleh kabinet akan bersifat top-down searah dikontrol penuh oleh presiden tanpa ada ruang untuk menolak atau mengkritik bagi para jabatan di bawahnya.
Melihat dari pola pembagian kekuasaannya, Indonesia di bawah Prabowo terlihat jelas dibangun dengan sistem “Satu Komando” (Semi Totaliter) tanpa ada distorsi. Hal ini mirip dengan cara pemimpin-pemimpin negara tertinggal pasca perang dunia ke-2 yang lebih mendahulukan ekonomi dibandingkan demokrasi, seperti China, Korea Selatan, dan Singapura.
Sebetulnya, perdebatan mana yang lebih didahulukan, ekonomi atau demokrasi, hingga saat ini belum mencapai konsensus. Akan tetapi, karya tulis Lipset masih menjadi landasan utama para sarjana modern yang melihat bahwa demokrasi lahir seiring perkembangan ekonomi (modernisasi). Meski demikian, perlu menjadi catatan bahwa hal itu musti disesuaikan dengan sistem yang diterapkan dengan lembaga budaya, sosial, dan politik yang tertanam di masyarakat. Selain itu, hak individual dan kolektif harus tetap diperhatikan dan tidak sama sekali dilanggar.
Dalam konteks Indonesia, ekonomi kerap dijadikan prasyarat yang hadir sebelum demokrasi. Keuntungan selalu menjadi justifikasi atas pelanggaran dan penghilangan hak masyarakat. Penggusuran masyarakat untuk membangun industri tambang mineral di beberapa tahun ke belakang menjadi salah satu contohnya. Pola serupa mungkin terjadi melihat pidato presiden mengenai Kebun Kelapa Sawit beberapa waktu lalu (BBC News, 2025). Baginya, pembukaan wilayah hutan untuk kelapa sawit sah-sah saja karena peran hutan tidak akan hilang. Sayangnya, kerentanan konflik agraria tidak dihitung sebagai konsiderasi, begitupun dampak lingkungan atas berkurangnya daya serap karbon dan produktivitas lahan pasca penanaman sawit.
Baca juga:
Kebijakan Luar Negeri sang Populis
Presiden Prabowo menunjukkan perhatian lebih pada isu internasional, seperti pertahanan dan keamanan negara serta mendorong hubungan antar negara yang kondusif. Isu prioritas tersebut berangkat dari latar belakang Prabowo sebagai purnawirawan militer, membuat adanya sedikit kontras dengan presiden sebelumnya yang berlatar belakang sipil.
Pada tanggal 8 November, Prabowo bertolak ke enam negara, yaitu Tiongkok, Amerika Serikat, Peru, Brasil, Inggris, dan UEA. Salah satu langkah kebijakan luar negeri pertama pemerintahan baru adalah menyampaikan keinginan Indonesia untuk menjadi anggota penuh BRICS. Pernyataan tersebut diungkapkan oleh Menteri Luar Negeri RI, Sugiono, sebagai utusan presiden saat KTT BRICS Plus di Kazan, Rusia pada 24 Oktober 2024. Padahal seperti halnya populisme, gabung atau tidaknya negara dalam institusi internasional tidak berpengaruh signifikan, jika peran keanggotaan tidak menawarkan inovasi dan kontribusi multilateral yang lebih luas.
Lawatan perdana Prabowo justru banyak menyambangi negara-negara Timur yang menunjukkan adanya sedikit pergeseran orientasi politik luar negeri RI. Di tengah rivalitas AS dan China, Prabowo seolah ingin memperlihatkan Indonesia sebagai kekuatan timur yang mampu bersaing dalam ekonomi internasional. Langkah ini dapat membuka prospek pasar dan kerja sama ekonomi yang lebih luas, tentunya tidak hanya dengan negara-negara barat.
Terkait sikap terhadap gencatan senjata di Gaza, Indonesia secara konsisten mendukung perjuangan kemerdekaan Palestina, sejalan dengan keyakinan konstitusionalnya bahwa segala bentuk penjajahan di atas dunia harus dihapuskan. Situasi saat ini memberikan peluang bagi masyarakat internasional untuk memberikan perhatian lebih besar terhadap konflik Palestina-Israel. Namun, Pernyataan Pers Tahunan Menteri Luar Negeri (PPTM) 2025 belum menawarkan proposal baru terkait pendekatan serta langkah konkret Indonesia untuk krisis di Palestina ini.
Penutup
100 hari pertama menandai titik krusial dalam masa kepresidenan di tiap negara. Setelah lebih dari tiga bulan menjabat, pemerintahan Prabowo telah bergerak maju dalam agenda kebijakan di dalam dan luar negeri dengan penuh percaya diri. Keputusan yang diambil saat ini akan menentukan arah untuk lima tahun ke depan.
Pemenuhan janji kampanye Prabowo terhadap program MBG telah tersebar pada 190 titik meliputi 26 provinsi di Indonesia mendongkrak kepuasan publik. Keberlanjutan MBG diperkirakan memakan biaya sebesar Rp298,4 triliun dengan target penerima 82,9 juta penerima hingga 2029. Apabila Prabowo benar-benar ingin mewujudkan ambisinya tersebut maka Prabowo harus memperkuat pemenuhan gizi dan ketahanan pangan Indonesia.
Beberapa negara di Asia sudah lebih dulu menyelenggarakan program ini, seperti Thailand dan India. Indonesia diharapkan mampu belajar dan beradaptasi dari negara-negara yang sukses menerapkan program makan gratis, khususnya dengan India yang juga tergabung dalam BRICS, penguatan hubungan bilateral menjadi penting dalam upaya peningkatan kualitas program MBG.
Langkah Indonesia kedepan akan menghadapi tantangan dan peluang. Salah satu tantangan terbesar adalah bagaimana menjaga keseimbangan antara populisme dan kebijakan nyata (Noki Kurniawan, 2024). Meskipun masih terdapat beberapa permasalahan, kepuasan masyarakat dapat memicu semangat dan perbaikan pada target-target lain yang dijanjikan. (*)
Editor: Kukuh Basuki