Kita mungkin mengenal Rocky Gerung, tapi tak banyak tahu karyanya.
Sosok yang sewindu terakhir menjadi media darling ini sering mendapat sematan “No Rocky, No Party“. Sebab itu, menetasnya buku Obat Dungu Resep Akal Sehat ini memungkinkan pembaca bisa nimbrung mengeja jejak arkeologi pengetahuan pria kelahiran Manado tahun 1959 tersebut. Anggap saja peziarahan akal sehat, sebelum ia malang melintang berpesta di depan sorot lampu kamera media nasional.
Mulanya, saya mengenal Rocky hanya sebagai nama, khususnya di pengantar buku cerpen, salah satunya Smokol (2008) terbitan Kompas. Tiba-tiba, wajahnya membanjiri jagat publik dengan akrobat diksinya yang membius sekaligus membikin berang sejumlah pihak. Soal ini, Yayasan Lokataru bahkan mendokumentasikan secara khusus laporan serangan terhadap Rocky sepanjang 2018-2023. Totalnya berjumlah sebanyak 76 kasus yang tersebar di 18 provinsi.
Namun, jauh sebelum itu, Rocky punya petualangan intelektualnya sendiri. Buku berisi 85 esai sejak kurun 1985-2018 ini ikut memberi bocoran pada kita. Sajiannya berisi telaah interdisipliner yang mengitari isu-isu kemanusiaan, keadilan, kesetaraan, politik, pendidikan, hingga lingkungan dan feminisme.
Baca juga:
Buzzer Oposisi
Sebagai filsuf pesohor, artikulasi dominan Rocky adalah ajakan agar masyarakat berpikir kritis dan berani mengusik kebijakan negara yang melenceng. Silakan sebut Rocky itu buzzer, tapi dalam bangunan pengertian “pendengung daya kritis”. Ia punya kadar cerewet tak terbendung menyangkut “kritisisme” dan kealotan sikap untuk dinego.
Esainya berjudul Memimpin Frustrasi Rakyat seperti menerjemahkan sikap konsistensinya sejak awal. Ia mendenguskan rasa frustrasi rakyat dan risiko instabilitas politik. Kasus PHK menjadi salah satu contohnya, yang disebut Rocky sebagai upaya “menabung risiko” karena menyangkut defisit harga diri para penganggur. Defisit harga diri ini bisa menyulut geram dan huru-hara. Di mata Rocky, huru-hara adalah fasilitas sosial bagi ekspresi politik harga diri, ajang di mana seseorang yang terluka martabatnya mampu meletuskan chaos (hal. 69-71).
Akarnya adalah ketiadaan oposisi di Tanah Air. Lanjut ia bertanya: “Siapa yang akan memimpin frustrasi rakyat? Rakyat akan mencari pemimpinnya sendiri.” Dan, saya rasa, dari kalangan elite, mahasiswa, masyarakat sipil sampai petani di kaki gunung sana sepakat bahwa Rocky adalah salah satunya. Terlepas dari kecenderungannya memilih diksi ofensif dan ad hominem sambil menari di atas emosi lawan debat—taktik yang sering kali jitu.
Meminjamkan Teropong
Lewat sehimpun esai di buku ini, Rocky bukan hanya membacakan realitas untuk publik. Ia justru meminjamkan alat bacanya. Mirip teropong: melaluinya, kita bisa pakai mengintip kemaksiatan rezim dan, seperti biasa, kedunguan yang terlembagakan. Tiga di antaranya bernama korupsi, feodalisme, dan oligarki—sebagaimana tersemat pada Darurat Hukum! (hal. 191) dan Pasar Gelap Kekuasaan (hal. 195).
Beberapa teropong metodologis itu menyemaikan perbekalan konseptual seperti “politik harapan”, “politik rasa takut”, sampai frasa “penggetar psikologis” yang diatribusikannya pada aparat represif negara. Rocky melemparkan semacam alat, bahan, instrumen, atau bahkan rumus-pandang agar pembaca sanggup memasak realitas sendiri dengan metabolisme akal masing-masing. Denyut dan napas utamanya adalah daya kritis dan desakan keadilan. Provokasi hanyalah siasat naratif.
Satu lagi, misalnya, alat bongkar cara pandang sejarah yang patriarkal pada esai Rahim Laki-Laki (hal. 219-221). Rocky menampar tanpa jeda bahwa kekuasaan melahirkan bahasa, begitupun sebaliknya. Sedang bahasa utama laki-laki adalah penundukan, politik kekuasaan. Perempuan adalah korban utama struktur tersebut, kendati rahim merekalah yang melahirkan manusia dan merawat generasi dengan ethics of care. Sebaliknya, rahim laki-laki, di mata Rocky, adalah unsur yang melanggengkan hierarki plus menebar diskriminasi.
Pengemasan tulisan Rocky memang sarat sarkasme, namun puitis. Isinya seperti menyandikan sikap determinasi tegas: ia berdiri mengangkat dagu di hadapan kekuasaan tanpa terhambat oleh sopan-santun sosial dan tedeng aling-aling budaya feodalisme yang masih awet. Spirit ini ditumpahkannya pada esai panjang Memelihara Republik, Mengaktifkan Akal Sehat—yang juga menjadi pidato kebudayaan DKJ tahun 2010.
Di kesempatan berbeda, ia pun menyusup lebih subtil ke alam batin. Baca Memaknai Kematian (hal. 243). Anda akan menemui keseriusan filsafat bersenyawa dengan sensibilitas khusyuk si penulis. Dari garang menjadi agak melankolik. Apakah ini sisi lain dari seorang pendaki? Mungkin. Boleh jadi itu pekik keheningan Rocky di kala sendirian. Suatu jeda bisu yang lebih nyaring dari segala jenis kritik provokatifnya.
Itu tampak selanggam dengan esai Sedikit Soal Hak Murid Atas Akal (hal. 271) yang lebih mirip pamflet. Ia mengupas dunia pedagogi pendidikan bahwa murid bukanlah keranjang tempat guru menimbun dongeng. Murid adalah sahabat berpikir guru, tegas Rocky.
Baca juga:
Hermeneutika Kecurigaan
Gagasan Paul Ricoeur mengenai hermeneutics of suspicion menjadi alat paling menonjol, meski referensi tidak bertebaran eksplisit. Ini bisa dibaca dengan makna ganda. Pertama, Rocky malas membubuhkan rujukan akurat beserta letak halaman—sehingga bisa saja ia khawatir ada yang menguji-silang dan menemukan kecacatan argumentasinya.
Kedua, lengangnya referensi detail juga sekaligus merupakan bukti kecil kalau Rocky bukan tipe orang yang memperlakukan filsafat sebagai kata benda fancy layaknya koleksi museum. Ia mendayagunakan filsafat sebagai kata kerja. Dengan itu, ia dapat mengupas alam kenyataan sehari-hari sambil merekadaya kekuatan oposisi sosial melawan rezim dan para oligark—upaya yang perlu kita dukung.
Selebihnya, kritik terhadap buku ini terletak pada penyuntingan karena masih ada salah ketik (typo). Walau sedikit bernuansa festschrift, kata pengantar penerbit dan pembuka dari Robertus Robert perlu mendapat angkat topi dari pembaca. Tanpa keterangan dari mereka, mungkin kita gagal mendekati sosok Rocky secara lebih lengkap. Selamat menziarahi kenakalan isi kepalanya!
Editor: Emma Amelia
Good article
Cukup komprehensif, sebagai sesama peminat filsafat
Keren banget tulisannya Mbak. Untuk Rocky Gerung rasanya 10 jempol tuh rasanya tidak cukup. Keberanian beliau bersuara, mewakili kerisauan banyak publik, seakan tanpa beban dan tak takut akan diprodeokan. Makasih untuk referensinya. Buku yang lebih dari layak untuk dibaca untuk mereka yang (mau) pikirannya terbuka.