Setelah Menutup Pintu
Semesta lain, yang lunak
—mendekatimu.
Dan kau bertanya,
bagaimana kesedihan
terhapus dalam tiga ketukan.
Sunyi sebentar
—lalu pecah.
Sebuah benda, melayang
menyimpan airmatamu
kepada tiang kayu.
(2024)
–
Hal yang Kita Lakukan
dalam Satu Kali Duduk
Barangkali melipat kain, tenunnya
belum selesai mengisahkan ihwal
taktik permainan masa kecilmu.
Keculasan kecil, termaafkan
sebagai cara untuk bertahan.
—Kau berupaya
menjahit perayaan.
Atau menangkap sinyal internet
yang tidak pernah terhubung
kepada suara ibumu.
(2024)
–
Terjaga Tiga Puluh Menit
Sebelum Tiba Waktu Subuh
Tak tersimpan jasadku di menara tak berpenghuni
yang dilupakan, yang ditinggalkan, yang tercipta
dari sebusur mimpi yang mendamik tidurmu.
Maka kususun segala yang kekal dari kalimat
selamat tinggal, kepada doa kecil yang terakhir.
(2024)
–
Membaca Tulah Kemarau
Dari kata sejumlah, kita menebak
apakah musim buah akan bergeser
beberapa bulan kemudian?
Tak dapat kita dengar
nyanyi ladang di sana.
—selain hujan tiruan.
Desa berkiblat pada mendung
dan kota menolak kutukan air.
(2024)
–
Mencari Jalan Pulang
Maka kau tiada mengukur liang luka yang penuh,
ketika seorang dari kembara lain menyalakan suluh.
Dan koran, juga sebuah lini masa
tidak pernah mencatat kesedihan kita.
Aku bukan juru peta di kotamu, kemacetan
serta masa kecil yang hilang dalam ingatan
—kita pun tersesat di jalan tak beralamat.
(2024)
–
Menjadi Buku Terakhir yang Kaubaca
Sebagai buku, sayang, yang selalu hendak dibaca
membaca waktu—atau yang serupa itu, menyusun
alamat di buku tamu, menerapkan sebuah rumus
agar aku dapat memecahkan kesedihanmu.
Barangkali, sayang, kau mesti paham
langit tidak lagi menelurkan apa-apa
selain kesialan dan sinyal internet.
Gang kecil di kupingmu masih asing
sedang aku dari simpang pos ronda
ingin berucap: aku mencintaimu
dengan konsep tiga kentungan.
(2024)
*****
Editor: Moch Aldy MA