Keberadaan plastik telah menjadi sesuatu yang niscaya digunakan di berbagai aktivitas jual beli sehari-hari. Tidak hanya itu, kedekatan kita pada plastik juga dapat terlihat dari produk yang kita konsumsi atau barang yang kita gunakan. Sebut saja mie instan dan kopi saset yang menemani keseharian masyarakat Indonesia, atau produk kecantikan, pasta gigi, hingga produk pembersih semuanya mengandung plastik—baik sebagai kemasan atau dalam produknya.
Karena kedekatan itu, penggunaan plastik di dunia terus meningkat setiap tahunnya dan telah menimbulkan masalah serius bagi lingkungan. Salah satu yang paling krusial adalah ancamannya bagi ekosistem laut. Merujuk International Union for Conservation of Nature (IUCN) tahun 2021, dari 300 juta ton plastik yang diproduksi setiap tahun, sekitar 14 juta ton berakhir di laut. Akibatnya sampah plastik menjadi sampah paling dominan di laut, sekitar 80% dari total seluruh jenis sampah di laut.
Sampah plastik tersebut, kemudian mengancam kelangsungan hidup biota laut akibat menelan atau terjerat sampah plastik. Biota laut yang menelan sampah plastik akan mati kelaparan karena perut mereka dipenuhi oleh plastik. Sedangkan biota laut yang terjerat akan menyebabkan luka robek, infeksi, berkurangnya kemampuan berenang, dan luka dalam hingga berujung kematian.
Tidak hanya bagi biota laut, plastik, terutama mikroplastik juga dapat mempengaruhi kesehatan manusia akibat mengonsumsi makanan laut yang telah terkontaminasi. Mikroplastik sendiri adalah plastik yang berdiameter kurang dari 5 mm yang berasal dari serat polietilen yang ada pada berbagai produk kecantikan, pembersih, dan sebagainya atau dari proses penguraian plastik lebih besar. Berdasarkan beberapa penelitian, mikroplastik tercatat telah dikaitkan dengan penyebab kanker hormonal, masalah reproduksi, hingga gangguan saraf manusia.
Masalah Plastik yang Hilang
Jika akumulasi sampah plastik mencapai 80% dari total jenis sampah yang ada di laut, maka pertanyaannya “di mana plastik kita menumpuk di lautan?”
Mungkin sebagian kita mengira bahwa plastik mengapung di permukaan laut karena sebagian besar plastik yang diproduksi lebih ringan daripada air. Namun berdasarkan perkiraan Eriksen hanya ditemukan kurang lebih 250 ribu ton sampah plastik di permukaan laut.
Lalu ke mana jutaan ton plastik yang kita buang setiap tahun atau puluhan juta ton plastik dalam beberapa dekade terakhir? Mengapa kita hanya menemukan setidaknya 100 kali lebih sedikit plastik di permukaan laut kita? Pertanyaan tersebut merupakan bagian dari apa yang biasa disebut ilmuwan sebagai ‘masalah plastik yang hilang’.
Penting menjawab pertanyaan-pertanyaan ini untuk mengetahui di mana sampah plastik berakhir sehingga dapat menentukan langkah untuk mengatasinya dan melihat pengaruhnya bagi ekosistem laut.
Berdasarkan temuan terbaru Lebreton yang menganalisis data produksi plastik global, emisi ke lautan berdasarkan jenis dan usia plastik, tingkat perpindahan, dan degradasi sampah plastik dari 1950-2015 menunjukkan bahwa plastik dapat bertahan lebih lama dan tenggelam di sedimen laut dalam, tersapu, dan terkubur di garis pantai yang kemudian dapat muncul kembali.
Sampah plastik ditemukan paling banyak di garis pantai (tanah kering yang berbatasan dengan laut) yang berjumlah 122 juta ton, yang terbagi atas 82 juta ton makroplastik dan 40 juta ton mikroplastik. Temuan ini menjelaskan alasan mengapa hanya ditemukan sedikit sampah plastik di permukaan laut. Di daerah pesisir (perairan dengan kedalaman kurang 200 m) jumlah sampah plastik lebih sedikit, yakni sebesar 230 ribu ton yang terdiri atas 150 ribu ton makroplastik dan 80 ribu ton mikroplastik. Sedangkan di area lepas pantai (perairan dengan kedalaman lebih 200 m) sampah plastik diperkirakan berjumlah 1,5 juta ton yang terdiri atas 1 juta ton makro plastik dan setengah juta ton mikroplastik.
Berdasarkan tiga area yang diteliti, usia plastik ditemukan berbeda-beda. Di area garis pantai, mayoritas sampah makroplastik berusia lima belas tahun tetapi terdapat sebagian sampah makroplastik yang lebih tua, artinya sampah plastik yang ditemukan dapat bertahan hingga beberapa dekade ke depan tanpa rusak. Di area pesisir sebagian besar makroplastik yang ditemukan (79 pesen) berusia kurang dari lima tahun.
Usia sampah plastik yang lebih tua ditemukan di area lepas pantai yang berasal dari 1950-an dan 1960-an. Sementara 75% berasal dari tahun 1990-an. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa sampah plastik lebih lama terakumulasi di area lepas pantai daripada daerah pesisir dan makroplastik yang berasal dari 1990-an membutuhkan beberapa dekade lagi untuk dapat terurai menjadi mikroplastik sekaligus menegaskan daya tahan plastik.
Dampak Sampah Plastik bagi Biota dan Ekosistem Laut
Sejauh ini banyak insiden yang terdokumentasi yang memperlihatkan dampak sampah plastik bagi ekosistem dan biota laut. Hasil temuan Rochman di tahun 2016, menyajikan 42 kasus yang dipublikasi dari tahun 1980-an hingga 2013 tentang dampak ekologis sampah plastik bagi laut, mulai dari karena terjerat, menelan, dan interaksi (tumbukan, penghalangan, dll.) yang menyebabkan biota laut mengalami cedera, gangguan pencernaan, gangguan pertumbuhan, hingga kematian. Biota laut yang terdampak juga beragam, mulai dari anjing laut, manatee (lembu laut), burung laut, ikan, mamalia laut, invertebrata, hingga terumbu karang.
Terjerat, tertelan, dan interaksi merupakan tiga faktor utama terkait bagaimana sampah plastik dapat mempengaruhi biota laut. Kasus terjerat merujuk temuan Kühn telah dialami oleh 525 spesies laut yang terjadi pada semua penyu laut, 59% paus, 36% anjing laut, 40% burung laut yang diperiksa serta termasuk 89 spesies ikan dan 92 spesies invertebrata. Jenis sampah plastik yang umumnya menjadi penyebab terjerat adalah tali plastik, jaring, dan alat tangkap yang ditinggalkan. Tetapi kasus terjerat sampah plastik bentuk kemasan juga telah dilaporkan.
Sedangkan kasus biota laut yang tertelan plastik baik sengaja, tidak sengaja, atau secara tidak langsung karena memangsa biota laut yang terkontaminasi plastik dalam temuan Kühn dialami oleh 331 spesies laut yang terjadi pada semua penyu laut, 59% paus, lebih 33% anjing laut, 59% burung laut yang diperiksa termasuk 92 spesies ikan dan 6 spesies invertebrata.
Untuk ukuran plastik yang dicerna mengikuti ukuran tubuh biota laut, misalnya ukuran mikroplastik dapat dicerna oleh jenis kerang-kerangan, untuk kasus yang lebih ekstrem terjadi pada kasus paus sperma yang menelan tali sepanjang 9 m, selang 4,5 m, dua pot bunga, dan terpal plastik dengan jumlah besar yang dipublikasi oleh Stephanis pada 2013 lalu.
Sementara faktor ketiga yaitu interaksi yang meliputi tumbukan penghalang, abrasi dan lainnya telah berdampak misalnya pada kasus alat tangkap yang dibuang telah dilaporkan menyebabkan abrasi dan kerusakan ekosistem terumbu karang saat bertabrakan. Selain itu sampah plastik juga dapat menghalangi penetrasi cahaya dan pertukaran oksigen di laut sehingga dapat mempengaruhi kehidupan biota laut, misal terumbu karang.
Akibat kontaminasi plastik tersebut, berdasarkan temuan yang dilaporkan oleh Condo Ferries lebih dari 1 juta burung laut dan 100.000 mamalia laut terbunuh setiap tahunnya, 700 spesies laut terancam punah termasuk ancaman kepunahan salah satu dari empat spesies hiu serta sampah plastik telah berkontribusi terhadap penurunan 74 persen spesies tuna sejak tahun 1970-an, dan pembentukan 500 zona mati (245 ribu km²) yang akan terus berlipat ganda setiap dekade.
Dampak Mikroplastik bagi Kesehatan Manusia
Sampah plastik khususnya mikroplastik yang terkontaminasi pada berbagai biota laut secara tidak sengaja telah menyebar melalui jaringan makanan dan dapat berpengaruh pada kesehatan manusia. Mikroplastik setidaknya mengandung dua jenis bahan kimia, yaitu aditif dan bahan baku polimer (seperti monomer atau oligomer).
Aditif merupakan bahan kimia yang ditambahkan selama proses produksi untuk memberikan kualitas seperti warna dan transparansi serta untuk meningkatkan ketahanan plastik dari ozon, suhu, radiasi cahaya, jamur, bakteri, dan kelembaban. Bahan kimia tersebut termasuk inert (penguat), plasticizer, antioksidan, stabilisator UV, pelumas, pewarna, dan penghambat api.
Dalam penelitian Cingotti, bahan-bahan kimia seperti Bisphenol A (BPA)/plasticizer, ftalat, dan beberapa penghambat api brominasi (BFR) yang digunakan dalam pembuatan plastik telah terbukti sebagai pengganggu endokrin (EDC) yang dapat merusak kesehatan manusia. Senyawa EDC menganggu perkembangan sistem endokrin dan mempengaruhi fungsi organ yang merespon sinyal hormonal. Hal tersebut berpotensi menimbulkan berbagai penyakit dan kondisi seperti kanker hormonal (payudara, prostat, testis), masalah reproduksi (malformasi genital, infertilitas), gangguan metabolisme (diabetes, obesitas), asma, dan kondisi perkembangan saraf (gangguan belajar, gangguan spektrum autisme).
Selain itu, BPA yang umum digunakan untuk pembuatan plastik dalam beberapa penelitian telah dikaitkan dengan obesitas, penyakit kardiovaskular, gangguan reproduksi, dan kanker payudara. Kontaminasi BPA pada makanan menurut Campanale diperkirakan bertanggung jawab atas 12,404 kasus obesitas anak dan 33,863 kasus penyakit jantung koroner baru pada tahun 2008.
Serupa dengan pengaruh BPA, ftalat yang digunakan dalam proses pembuatan plastik untuk memberikan fleksibilitas, kelenturan, dan elastisitas terbukti pada tiga penelitian yang dilakukan oleh Jobling (1995), Duty (2003), dan Hauser (2004) sebagai penganggu endokrin dan diperkirakan mempengaruhi reproduksi manusia.
Selain itu logam berat (antimon, seng, almunium, kadmium, tembaga, dan brom) yang digunakan dalam proses produksi plastik untuk meningkatkan sifat plastik (pewarna, penstabil, penghambat api, dll.) berdasarkan bukti empiris telah dikaitkan dengan kasus kanker pada manusia sebagaimana merujuk temuan Kravchenko. Dampak logam berat bagi tubuh tergantung tingkat konsentrasi, jenis kimia, serta usia, jenis kelamin, genetika, dan status nutrisi subjek yang terpapar. Konsentrasi logam berat yang tinggi dalam banyak penelitian dapat menyebabkan kerusakan sel dan jaringan sebagai pemicu berbagai efek samping dan penyakit manusia.
Sementara dalam temuan Sharma dan Campanale, kadmium dan titanium dapat menyebabkan kerusakan DNA, mendorong risiko patah tulang wanita paska menopause serta berbagai efek pada saraf pusat, termasuk menganggu fungsi motorik dan kognitif, kejang, koma, dan kematian.
***
Editor: Ghufroni An’ars