Penulis Buku Beyond Reality: The Code of Our Universe

Tragedi Sepanjang Linimasa, Simpati Sependek Atensi Manusia Modern

Alan Pasaribu

2 min read

Saya tidak pernah percaya bahwa agenda atau kampanye Free Palestine yang beberapa minggu ini digaungkan oleh masyarakat dunia, khususnya masyarakat indonesia, adalah sesuatu yang datangnya tulus dari hati.

Saya tidak bermaksud meremehkan tragedi di Palestina. Saya hanya merasa perlu mempertanyakan kampanye Free Palestine sebagai sebuah agenda yang memanggil simpati masyarakat dunia untuk membincangkannya setiap detiknya hingga menjadi trending topic.

Sekali lagi, saya tidak percaya bahwa kampanye atau simpati tersebut berasal dari niat yang tulus atau benar-benar murni. Namun, ini bukan karena saya pro Israel atau Barat—bahkan, tulisan ini tidak akan membahas tentang mana yang benar dan mana yang salah dalam konflik itu. Yang ingin saya bahas adalah terciptanya trending topic dan kaitannya dengan cara kerja simpati pada diri manusia dengan mengambil contoh kampanye Free Palestine.

Kuota Hasrat

Digitalisasi semakin kuat dan nyata dalam masyarakat pascapandemi. Semua orang berbondong-bondong pergi ke media sosial untuk mencari berita terbaru dan paling sensasional. Kecenderungan ini membuat dunia “berputar” semakin cepat dan kita menjadi terdistraksi tanpa ampun.

Kita semua bisa setuju untuk satu hal, yakni segalanya silih berganti begitu cepat di media sosial. Informasi-informasi yang beredar masuk ke otak kita, tinggal sebentar, lalu segera tergantikan oleh serbuan informasi yang lebih baru.

Kita bisa petakan dalam kolom dan statistik bagaimana dunia setelah digitalisasi yang radikal membuat setiap bulan dalam kalender selalu punya sesuatu yang ikonik. Misal, dalam beberapa waktu terakhir, kita disuguhkan kasus meninggalnya ratusan Aremania di Kanjuruhan, lalu kita lahap juga kasus Ferdi Sambo, lalu perhatian kita beralih ke kasus Palestina saat ini. Bersamaan dengan bergantinya fokus kita, informasi-informasi sebelumnya seperti Kanjuruhan dan Ferdi Sambo tidak lagi kita bicarakan.

Kasus-kasus terdahulu itu bukannya tidak besar dan tidak menarik sehingga kita tak lagi membicarakannya. Penyebab mengapa kita berhenti membicarakan kasus besar adalah kecenderungan manusia era digital yang tidak tahan dengan sesuatu yang berulang-ulang. Peristiwa-peristiwa lekas menjadi buah bibir dan lekas pula lenyap karena manusia modern tidak kuat untuk menahan fokusnya ke satu berita dalam waktu lama. Manusia modern ingin segala yang cepat dan paling baru.

Pada dunia yang serbacepat itu, informasi tidak lagi kita hayati dan resapi. Bagi kita, setiap peristiwa hanyalah pemenuh kuota trending yang harus terjadi setiap bulannya.

Peristiwa demi peristiwa yang kita “nikmati” setiap bulannya tidak lain dan tidak bukan hanya untuk memenuhi kuota hasrat kita akan berita dan informasi, bukan karena kita bersimpati dengan informasi tersebut. Itulah sebabnya mengapa kasus Kanjuruhan yang menggugah simpati tidak kita bicarakan lagi. Dukungan terhadap Palestina yang trending saat ini bisa saya jamin akan lenyap dalam dua bulan atau kurang, dan orang-orang yang sebelumnya simpatik dan merasa terhubung dengan kasusnya akan melanjutkan hidup seperti sedia kala dan lupa dengan Palestina.

Tragedi di Linimasa

Dapatkah kita menyebut diri benar-benar menginginkan Free Palestine jika sebelum terjadinya genosida pada Oktober 2023 ini kita tidak memikirkan Palestina sama sekali? Agaknya, mustahil bagi kebanyakan manusia modern yang katanya penuh simpati itu untuk tetap memikirkan Palestina sebelum genosida ini viral.

Pendudukan di Palestina sebagai satu tragedi tidak akan pernah dimengerti simpatisan dadakan ini karena mereka tidak pernah menjadi korban. Simpatisan dadakan tidak memikirkan Palestina seumur hidup, apalagi menjadikan Palestina bagian dari dirinya sendiri. Dengan kata lain, simpatisan dadakan ini hanya akan memikirkan Palestina selama linimasa masih membicarakannya.

Manusia era digital sangat-sangat mudah terdistraksi, lalu lupa dan segera berhenti bersimpati. Keterlupaan itu membuat kita sulit mencapai satu tujuan. Hasrat kita untuk selalu updated membuat kita tidak tulus akan satu hal. Kita tidak pernah melakukan renungan massal dalam rentang waktu panjang yang sebenarnya sangat kita butuhkan. Kita mudah mencapai klimaks hanya dengan melihat informasi selewat tiap kali membuka media sosial. Setelahnya, kita kembali gatal mencari-cari pemenuh hasrat baru.

Dengan segera, Free Palestine akan dilupakan. Kita akan mengingatnya lagi ketika ada perang baru yang lebih heboh di masa depan yang juga memenuhi kaidah trending topic linimasa. Palestina sebagai sebuah tragedi adalah benar dan nyata, tetapi Palestina juga tidak lebih dari sekadar berita bulanan yang trending seperti berita Sambo atau Kanjuruhan.

 

Editor: Emma Amelia

Alan Pasaribu
Alan Pasaribu Penulis Buku Beyond Reality: The Code of Our Universe

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email