Dengan alasan tak ingin merogoh kocek yang dalam, awalnya saya dan ayah mengurungkan niat untuk menyewa tour guide saat mengunjungi tempat wisata historis Taman Sari Yogyakarta. Siang itu, hampir puluhan tour guide yang tersebar di beberapa titik sudah kami lewati, dan ajakan mereka untuk memandu kami, kami tolak halus, “Mboten, Pak, Bu! Maturnuwun!”. Lalu kami berhenti sebentar setelah melewati sebuah pintu. Ayah saya anjurkan berfoto di depan gerbang besar yang pintunya terkunci, tetapi ukiran-ukiran di dindingnya seolah terbuka kepada sesuatu. Benar saja, sewaktu menunggu giliran berfoto, seorang tour guide mendekat dan memulai obrolan. Obrolan sederhana yang menjadi pemantik bagi nyala pertanyaan-pertanyaan saya tentang modernitas, memikirkan batas-batasnya kembali.
Baca juga:
Saya sempat membaca name tag di bajunya, tetapi masih saja tidak berhasil mengingat nama pemandu wisata yang membuat kami akhirnya ingin sekali dipandu. Dia memulai pendekatannya dengan menjelaskan makna ukiran di gerbang yang beberapa saat kami pandangi. Kami terpukau begitu mengetahui gerbang itu sejatinya memang terbuka kepada sesuatu, yakni tanggal berdirinya Taman Sari dalam wujud simbol-simbol. Kemampuan orang Jawa menggunakan jenis tradisi sengkalan (penanggalan) berdasarkan gambar, simbol, atau lukisan merupakan sesuatu yang mulai jarang didapati pada masa kini, di tengah orang-orang yang mengaku tenggelam dalam modernitas.
Memaknai Ulang Konsep Tradisional
Tidak jarang segala sesuatu yang berasal dari masa lalu diasimilasikan dengan tradisi, terutama dengan hal-hal yang sifatnya lokal. Anehnya, tradisi sebagus apa pun hanya akan dipuja habis-habisan lalu ditinggalkan atas nama modernitas. Barangkali masih banyak yang sepakat dengan pemaknaan modernitas sebagai “periode historis yang meninggalkan kebudayaan tradisional di belakang…”, begitu setidaknya menurut Terrence Finley dan Prof. Holderman dalam artikel mereka “A Look Through Technological Determinism: Social Constructivism, Modernity, and social media”.
Konsep modernitas juga memiliki masalah lain. Modernitas sudah terlalu lama dipahami dengan batas-batas yang ditentukan Barat. Pertanyaan tentang kapan modernisasi bermula, bagaimana industri dunia berevolusi, hingga konsepsi akan sesuatu yang bernilai ilmiah selalu merujuk ke sana. Lantas, apakah memang segalanya bermula dari Barat? Apakah kita sudah cukup yakin dengan itu? Atau jangan-jangan cara kita mengartikan modernitas juga masih gamang.
Pikiran kita senantiasa mengaitkan modernitas dengan mesin-mesin, kemudahan, dan kekinian. Tetapi saya yakin, sebagian kita tentu pernah berpikir sebaliknya. Jika tradisi adalah tentang instrumen serba sederhana, rumit, dan terbelakang, maka ketika tradisi dapat menghasilkan sebuah mahakarya dari segala ketidakmodernannya itu, boleh dikatakan tradisi lebih modern daripada yang disangka modernitas itu sendiri. Batas-batas inilah yang perlu dibincangkan lebih lanjut.
Kemajuan di Punggung Zaman
Kembali kepada tour guide spesial kami di Taman Sari. Setelah menjelaskan tentang gerbang dan makna lambang-lambang di dindingnya, saya langsung mengajukan pertanyaan paling penting, “Berapa ya, Pak, jika ingin dipandu?”. Sang tour guide ternyata tidak mematok bayaran. Dia malah sudah teramat bahagia jika para pengunjung pulang tidak hanya membawa kenangan tetapi juga pelajaran. Darinya kami mendapatkan informasi berharga.
Baca juga:
Sambil menunjukkan video animasi Taman Sari, ia menjelaskan bahwa taman itu dibangun mewah dengan luas tidak kurang dari 10 hektar dan didukung dengan teknologi canggih. Teknologi itu tidak mengandalkan mesin sama sekali, hanya tata kelola air dan udara yang luar biasa sehingga Taman Sari menjadi “istana kedua” paling rahasia dan aman bagi sultan serta keluarganya. Bayangkan saja, dahulu di komplek itu sultan memiliki masjid dan tempat samadhi (ritual konsentrasi diri tingkat tinggi) bawah air. Kedua tempat itu terhubung melalui semacam lorong, sementara sekitarnya pada abad ke-17 hingga ke-18 sengaja dialiri air sehingga mewujud danau buatan. Masing-masing tempat memiliki beberapa ventilasi yang muncul di permukaan air untuk mengelabui siapa pun yang melihatnya, sebab hanya akan tampak seperti ornamen yang terapung. Hebatnya lagi, berdasarkan pengakuan guide yang juga abdi dalem Kraton Yogyakarta itu, konsep dan pekerja pembangunan komplek itu adalah murni orang-orang Jawa.
Modernitas Milik Setiap Zaman
Teknologi yang paling esensial dari Taman Sari pada abad ke-17 hingga ke-18 adalah pengaturan agar komplek itu tidak mudah rusak dan tenggelam oleh air. Oleh karena itu, setelah menyelesaikan pembangunan, air kemudian dialirkan ke sana dengan memastikan terlebih dahulu bahwa dinding bangunan sudah cukup tebal (bahkan mencapai 1,5 meter), dan ada drainase di dekat dermaga yang akan selalu mengembalikan air ke sungai sehingga ketinggiannya tidak akan pernah melebihi ventilasi masjid dan tempat samadhi. Dewasa ini konsep demikian barangkali dapat kita temukan pada Seaworld dan sejenisnya.
Namun, kita perlu ingat bahwa peralatan, akses terhadap ilmu pengetahuan, dan hal-hal pendukung lainnya berbeda pada setiap masa. Oleh karena itu, tidak adil jika menyatakan bahwa masa kini modern sementara masa lalu kuno, dengan pemahaman bahwa yang kini selalu lebih baik ketimbang yang lampau. Kita akan menemukan bahwa pencapaian pada masa lalu sudah menunjukkan modernitas, bahkan melampaui apa yang mungkin dapat dicapai orang-orang modern pada masa kini dengan banyaknya modal untuk menghasilkan hal serupa atau bahkan lebih.
Mendefinisikan masa kini dan masa lalu dengan menamainya modern dan kuno tentu sah-sah saja dengan memperhatikan konsep waktu serta dengan batasan yang jelas. Akan tetapi, masa lalu dan tradisi tetap memiliki ruangnya sendiri serta tidak dapat dinegasikan dari proses kemajuan yang terjadi hingga detik ini. Di satu sisi ada jalin kelindan, namun pada sisi yang lain juga berdiri dengan kemegahannya sendiri-sendiri. Dengan demikian, modernitas adalah milik setiap zaman jika diposisikan sebagai kemajuan.
Editor: Prihandini N