Paris sudah suntuk dan suhu udara musim gugur menusuk tulang saat saya bersama rombongan tiba di sebuah restoran kecil, hangat, dan fancy bernama Le Tir Bouchon Montorgueil. Letaknya di 22 Rue Tiquetonne, bisa ditempuh sekitar lima menit dari Museum Louvre naik Mercy yang bisa disewa dadakan.
Le Tir Bouchon Montorgueil dikenal karena kanopi merah menyalanya yang bertuliskan 22 Bistro – Le Tir Bouchon, serta wine yang enak. Kala itu, bangunan resto terlihat bersinar sendirian di antara bangunan-bangunan tua lain yang sudah lebih dulu gelap. Secara visual, restoran ini memang Paris banget!
Makan malam yang sangat layak itu terwujud berkat Mbak Yanti, seorang WNI kenalan tour leader saya yang sudah tinggal di Paris selama lebih dari 20 tahun. Rambutnya berwarna cokelat pendek sebahu, badannya tinggi ramping, dan ia berpenampilan layaknya wanita Paris di musim gugur: blazer motif tartan ungu muda dengan celana jins biru muda yang pudar. Tak lupa, sebatang rokok yang selalu ia isap dari selipan jemarinya. Bahasa Prancisnya yang benar-benar fasih membuat saya iri setengah mati.
Di depan teras mungil itu saya sudah bisa menangkap gelas ramping yang tertata rapi di tiap meja. Gelas itu kemudian memantulkan pendar cahaya kuning yang hangat. Di salah satu mejanya, saya mendapati sepasang kekasih yang sedang menyantap makan malam mereka: steak, wine, dan sebuah vas bunga berisi beberapa tangkai krisan berwarna peach. Bagi saya, mereka adalah representasi sempurna dari pasangan Paris yang romantis layaknya Emily dan Gabriel dalam serial Emily in Paris.
Mbak Yanti menyuruh kami untuk masuk. Memang, bagian dalam resto terasa jauh lebih hangat. Ada beberapa meja kecil yang masih kosong. Namun, meja grup sudah dipenuhi segerombol wanita paruh baya berbahasa Prancis yang lagi asyik nge-wine sambil berbincang ria. Mungkin mereka menggosipkan menantu mereka yang kabur-kaburan atau cucu mereka yang lagi kepingin anjing. Saya tahu, mereka diam-diam menatap kehadiran rombongan saya.
Kedatangan kami langsung disambut seorang pria enam puluh tahunan berpakaian chef berwarna putih yang sudah Mbak Yanti kenal dengan baik. Dia bernama José. Wajahnya sangat semringah dengan pipinya yang kemerahan. Selain menjabat sebagai kepala chef, dia adalah pemilik langsung restoran Le Tir Bouchon Montorgueil. Saya jamin, wajah dan perawakan José akan mengingatkan Anda pada karakter chef dalam film animasi Ratatouille.
Pria itu didampingi oleh seorang asisten yang tidak saya kenal namanya hingga akhir sesi makan malam. Anggaplah namanya Adrian karena nama itu cocok dengannya. Pria muda tampan berusia sekitar dua puluh delapan tahunan itu hanya mengenakan kaus putih bersih dan celana jins pudar. Bersama José, keduanya bergotong-royong menyatukan beberapa meja dan kursi hingga menjadi sebuah formasi memanjang. Sebagai orang Indonesia yang bertandang ke negeri orang, kami berniat menata meja kami sendiri. Tapi José melarang dan menyuruh kami untuk berdiam diri di pinggir sampai set meja telah siap.
Dengan sigap Adrian menghampiri Mbak Yanti dan menyodorkan buku menu yang tentu saja berbahasa Prancis. Mbak Yanti langsung memesan porsi sharing untuk kami semua dengan bahasa Prancis yang lihai. Sebisa mungkin ia menghindari makanan nonhalal atau makanan lain yang tidak sesuai dengan lidah orang Indonesia.
Sembari menunggu makan malam datang, kami berbincang-bincang mengenang perjalan kami ke Eropa yang dramatis. Mbak Yanti menatap kami dengan antusias. Tapi karena sosok tegas dan juteknya membuat penasaran, hanya dengan satu pancingan pertanyaan, ia menceritakan kisah hidupnya.
“Mbak sudah jadi WNA?”
Dia menggeleng.
Dua dekade lalu, wanita itu kuliah di Paris. Dia tidak menceritakan awal mula ia bertahan hidup di Paris sebagai ekspatriat atau tentang pernikahannya yang kandas. Namun dia bercerita tentang kedua anaknya yang sudah beranjak remaja. Bahkan ia menunjukkan foto-foto mereka yang ia unggah di akun Instagram pribadinya. Si sulung, laki-laki, lebih mirip bapaknya yang bule. Sementara si bungsu, perempuan, mewarisi keeksotisan ibunya dari Timur. Keduanya tampan dan cantik.
“Saya nggak mau jadi warga negara Prancis. Nanti kalau sudah tua saya diurus di panti jompo. Saya nggak mau. Nanti saya akan beli rumah di pinggir pantai saja. Berkawan dengan anjing-anjing lucu dan main sama cucu-cucu.”
Tapi sekali lagi, ini bukan tentang Mbak Yanti. Ini adalah kisah makan malam di Le Tir Bouchon Montorgueil.
Adrian mengantar beberapa teko berisi air putih (seharusnya wine, tapi saya dan rombongan nggak nge-wine) ke meja kami. Agak lucu juga sewaktu kami mengisi gelas-gelas langsing itu dengan air putih dan meminumnya seolah-olah itu adalah wine terenak sedunia.
Tak lama kemudian, Adrian dibantu satu orang pelayan perempuan mulai membawakan appetizer. Roti dan foie gras, hati angsa. Mbak Yanti mengajari kami bagaimana cara memakannya, yakni dengan mengoleskan foei gras yang lembek itu dengan ujung pisau ke salah satu permukaan roti. Rasanya? Aneh. Makanan fancy khas Paris itu rasanya kenyal, anyir, sekaligus muncul sekelebat rasa asam di ujung lidah. Saya hanya mencobanya satu kali saja karena itu cukup untuk mengocok perut makhluk tropis seperti saya.
Sekitar sepuluh menit kemudian, Adrian kembali datang sambil membawa beberapa makanan utama: steak sapi dengan saus jamur, ayam panggang utuh dengan kentang goreng, dan beberapa menu pasta. Semuanya terlalu sempurna buat saya! Perhatian saya malah teralihkan pada José yang mondar-mandir di dekat meja kami dengan tatapan khawatir. Mungkin dia takut jika hidangan miliknya tidak cocok dengan lidah kami.
Terakhir, kami dihidangkan crème brûlée dan lava cake dengan presentasi yang menggugah selera. Rasanya manis, tapi tidak berlebihan. Semuanya terasa sempurna dan cukup. Rasanya semua itu seakan memberi saya petunjuk bahwa kelak saya akan mengunjungi tempat ini lagi bersama suami atau sahabat karib. Pertanda itu semakin kuat saat saya memandangi ketangkasan Adrian ketika mengangkat piring-piring yang telah kosong dari meja kami. Ia murah senyum.
Sebelum kami pulang, José memberi hadiah kepada Mbak Yanti berupa setoples besar sambal. Katanya, sebagai ungkapan rasa terima kasih karena Mbak Yanti sering membawa turis asal Indonesia untuk datang ke tempatnya. Selain memberi setoples sambal, José juga menyerahkan beberapa lembar kertas putih kosong dan spidol kepada kami. Katanya, gambarlah sesuka hati. Nanti ia akan taruh gambar itu di dinding resto bersama gambar-gambar kenangan lainnya. Saat saya menatap sekeliling, barulah saya menyadari jika restoran itu diderokasi dengan gambar-gambar kenangan yang dibuat dengan hati yang penuh. Saya pikir gambar-gambar itu mereka beli di eBay atau semacamnya.
Tapi sungguh, yang paling saya suka dari José adalah senyumnya yang semringah. Kandelir yang memancarkan cahaya remang semakin menumbuhkan ikatan batin yang erat antara saya dengan Paris, terutama dengan restoran ini. Setelah foto bersama dan berpamitan dengan José, kami pun pergi meninggalkan Le Tir Bouchon Montorgueil dan kembali menyapa udara musim gugur Paris yang menggigit. Jalanan Paris sudah lengang sekarang.
***
Editor: Ghufroni An’ars