Dosen Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Islam Bandung. Penulis novel Jatuh ke Angkasa (Pastel Books, 2018) dan Anyelir untuk Alyssa (Pastel Books, 2017).

Sebentang Jalan Antara Düsseldorf dan Zürich

Nabilla Anasty Fahzaria

4 min read

Ada satu momen yang tidak akan saya lupakan selama perjalanan saya berkeliling enam negara di Eropa. Rasanya saya perlu mencatat momen itu. Momen itu adalah persinggahan saya di Düsseldorf, Jerman, sebelum keesokan harinya saya melanjutkan perjalanan yang cukup panjang ke Zürich, Swiss. Sebentang jalan itu berjarak antara 570 hingga 600 kilometer, setengah dari panjang Pulau Jawa.

Jerman adalah salah satu negara yang ingin saya kunjungi. Saya cukup tertarik dengan histori Perang Dunia I dan II. Saya pernah menonton film serial World War II di Netflix dan menyelesaikannya dalam dua hari saja. Gara-gara menonton film serial dokumenter itu, dalam pandangan saya, Jerman adalah negara yang kharismatik. Terlepas dari histori menyeramkan soal kekejaman Hitler, saya merasa beruntung karena dalam sesi perjalanan ini saya singgah di Düsseldorf, ibu kota negara bagian Nordrhein-Westfalen, Jerman.

Malam musim gugur dengan hujan lebat menyambut saya dengan kurang ajar. Suhu sudah menunjukkan sebelas derajat Celcius. Jalanan di depan hotel dekat stasiun bawah tanah bernama Oberbilker Markt sudah sepi dengan lampu-lampu kota yang bersinar sendu. Seperti apa yang dikatakan tour guide saya, Düsseldorf maupun Kӧln telah menjadi kota singgah para wisatawan sebelum mereka melanjutkan perjalanan ke Swiss, biasanya untuk bermain ski.

Kota yang tenang dan menyisakan pendar kerlap-kerlip tersebut seakan-akan meninabobokan saya.

*

Esok paginya pukul tujuh, cahaya di langit masih tampak ragu-ragu. Jika diibaratkan dengan Indonesia, mungkin langit Düsseldorf ketika itu seperti masih menunjukkan pukul lima pagi. Meski begitu, penduduk sekitar terlihat sudah bergegas mengejar bus atau berbondong-bondong menuju stasiun metro dengan langkah kaki yang cepat. Lampu kota masih semarak menyala dan burung-burung seakan terbang menyongsong pagi. Saya dan rombongan pun pergi dari hotel untuk melanjutkan perjalanan kembali.

Jerman bagian barat, khususnya yang saya singgahi, merupakan daerah yang bisa terbilang modern, desain arsitektur bangunan rumah, perkantoran, maupun apartemen tidak sekuno dari apa yang dibayangkan. Mereka berhasil membangun kota dengan sangat baik. Di sepanjang jalan, saya lihat cukup banyak penduduk yang beraktivitas pagi itu.

Tapi satu hal yang pasti, saya tertarik melihat bagaimana orang-orang bule berpakaian saat musim gugur yang dingin, seringkali hujan, dan suhu yang tidak menentu. Dalam pandangan saya, mereka tampak lebih modis dengan memadukan pakaian serta mantel yang panjangnya hingga lutut itu. Dan juga tentunya mereka senang mengenakan sepatu boots. Saya agak tertawa dalam hati saat mengingat mayoritas penduduk Indonesia lebih senang memakai sandal saat musim hujan alih-alih menggunakan boots.

Ada pepatah Jerman bilang, “Manchmal muss man einfach mit den Wellen gehen” yang artinya “terkadang kau hanya perlu mengikuti ombak”. Jadi, saya nikmati saja setiap suguhan pemandangan. Dari Kota Düsseldorf, Peter, si Sopir sat-set-sat-set yang berasal Hungaria, membawa saya dan rombongan menuju Zürich melewati jalan tol jalur cepat yang kanan dan kirinya hanya menampilkan pemandangan pohon-pohon yang mulai kekuningan.

Baca juga:

Pemandangan semakin indah saat kami melewati hutan terkenal bernama Black Forest. Hutan rapat ini berada di negara bagian Baden-Württemberg di barat daya Jerman dan dikelilingi oleh Lembah Rhein. Pada musim gugur ini, pohon-pohon di hutan semakin terlihat menawan dan memancarkan kesan misterius. Hutan ini sangat terkenal berkat legenda The Black Forest Girl, gadis bergaun putih yang mengenakan topi dengan tumpukan pompom merah. Karakter inilah yang akan seringkali Anda temukan saat hendak membeli oleh-oleh khas sini. Anda akan menemukan gadis dari Hutan Hitam itu di gantungan kunci, tempelan kulkas, gelas, jam, dan lainnya.

Selain terkenal dengan legenda The Black Forest Girl-nya, Black Forest ini juga terkenal berkat produksi kayunya yang sangat melimpah. Kayu hutan ini menjadi sumber material utama pembuatan jam kukuk (cuckoo clock) yang tersohor di dunia. Saat ini, jam kukuk menjadi suvenir khas termahal dan terunik dari negara Jerman, Swiss, dan Austria.

Setelah berjam-jam menempuh perjalanan, Peter membawa bus keluar dari jalur tol. Kami melewati jalanan biasa melewati Kota Freiburg, kota tenang yang menjadi tempat ideal untuk menetap. Setelahnya, saya dan rombongan mampir di sebuah danau bernama Titisee, tak jauh dari Freiburg. Danau Titisee merupakan danau di area selatan Black Forest, masih berada di dalam wilayah Baden-Württemberg. Danau ini biasanya dipadati oleh wisatawan saat musim panas. Orang-orang akan piknik dan berenang atau menaiki perahu. Namun, ketika saya datang, tempat ini digerogoti sepi. Saya hanya melihat beberapa turis lokal yang lewat sambil membawa serta anjing golden atau husky mereka yang cantik.

Hujan turun gerimis, lebat, gerimis, lalu berhenti, lalu gerimis lagi. Cuaca seperti ini seringkali membuat turis asal Asia geram sekaligus kebingungan. Untungnya, saya sempat berfoto di pinggir danau ditemani angsa-angsa kecil yang berenang dengan riang di tepi. Rasanya seperti jauh dari rumah. Saya juga merasa tentram saat mengamati sebuah keluarga kecil dari Timur Tengah sedang berlarian saling menangkap satu sama lain.

Saya sempat mampir di sebuah café bernama Eis Café Dolomiti Inh. De Min di pinggir jalan Seestraße 6, Danau Titisee. Di sana, saya disambut oleh dua barista sekaligus bartender asal Italia. Mereka menawarkan menu es krim signature yang terkenal, tapi saya menolak halus karena memang sedang kedinginan. Saya pun memesan cappucino panas dan sepotong cheesecake yang enak. Mereka tanya ke saya, dari mana saya berasal. Saya jawab Indonesia. Mereka tak tahu. Mereka hanya mengetahui Bali dan berharap suatu hari dapat liburan ke sana. Sambil tertawa-tawa saya jelaskan jika Bali adalah sebuah pulau di Indonesia dan mereka berdua pun baru paham.

Pukul lima sore, saya harus mengucapkan selamat tinggal pada Danau Titisee. Perjalanan pun kembali dilanjutkan. Peter dengan setia mengantar kami lagi. Kali ini, bus yang kami tumpangi kembali membelah jalan tol lintas negara. Semenjak itu, perjalanan menyusuri barat daya Jerman semakin syahdu. Pemandangan hutan sesekali berganti dengan pemandangan hamparan padang rumput hijau yang basah. Seringkali saya menemukan sapi-sapi dan domba-domba dibiarkan berkeliaran di sana. Sore itu cuacanya gerimis. Apakah hewan-hewan itu kedinginan? Apakah cuacana seperti itu pulalah yang membuat mereka memiliki bulu tebal?

Di perbatasan memasuki Swiss, Peter hanya perlu melapor kepada petugas di pos pemberhentian dan membayar pajak. Swiss adalah negara megah dan mandiri di tengah himpitan gegap gempita persekutuan negara Uni Eropa. Hal itu tercermin dari mata uangnya yang berbeda sendiri dari mata uang negara Eropa lainnya. Swiss Franc memiliki nilai tukar yang bahkan lebih tinggi dari mata uang Euro. Seluruh supermarket dan toko suvenir di Swiss tidak menerima pembayaran uang Euro. Itulah mengapa, penting bagi turis untuk memiliki kartu kredit atau ATM berlogo Mastercard.

Swiss begitu sepi, hijau, dan basah. Jalanan lengang dan sejahtera. Padang rumput hijau yang rapi dan berundak-undak seakan meminta saya untuk berguling-guling di atasnya. Atau barangkali, saya bisa piknik di sana saat musim panas. Ada kehampaan yang segera terobati saat melihat rumah demi rumah menguasai tanah mereka sendiri. Setiap satu rumah dengan rumah lainnya memiliki jarak yang yang jauh. Mereka memiliki traktor pribadi dan kandang-kandang hewan ternak dibangun secara modern. Di sebuah bukit, saya lihat rumah-rumah mungil mengelilingi gereja yang kokoh dan tabah.

Malamnya, saya tiba di Zürich dan saya tidak mampu melihat pemandangan apa-apa lagi karena hujan turun begitu deras. Hotel saya berada di seberang salah satu restoran sandwich terkenal asal Amerika Serikat yang juga sering nongol di drama-drama Korea. Dingin Swiss begitu berbeda. Dinginnya tidak mengabaikan, tetapi ia memeluk begitu erat.

Ada sebentang jalan di antara Düsseldorf dan Zürich yang begitu tenang dan damai. Saya lihat banyak jenis warna hijau kekuningan yang ramah dan tentram. Dan tiba-tiba, sebelum tidur, saya memikirkan sesuatu: bagaimana jika seandainya saya menjadi The Black Forest Girl? Ah, pikiran saya melancong ke mana-mana. Saatnya tidur sebelum esok bermain-main dengan salju.

Nabilla Anasty Fahzaria
Nabilla Anasty Fahzaria Dosen Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Islam Bandung. Penulis novel Jatuh ke Angkasa (Pastel Books, 2018) dan Anyelir untuk Alyssa (Pastel Books, 2017).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email