Kepopuleran musik reggae tidak dipungkiri turut menyebarkan secara luas ideologi rasta. Namun, karena minimnya ketersediaan literatur tentang rasta di masyarakat, termasuk di Indonesia, akhirnya banyak kerancuan tentang pemahaman antara reggae dan rasta. Padahal musik reggae belum tentu membawa spirit rasta dan juga sebaliknya, rasta tidak selalu harus dalam bentuk musik reggae.
Ketidakpahaman itu juga mendangkalkan gerakan rasta, seolah itu hanya sebuah gaya hidup atau subkultur anak muda yang tanggung dan musiman. Rasta hanya ditandai dengan warna merah-kuning-hijau, simbol daun ganja, dan rambut gimbal. Padahal rastafari (rasta) adalah sebuah gerakan kesadaran ras kulit hitam dalam melawan penindasan neokolonialisme yang akarnya sudah tumbuh sejak era perbudakan di abad ke-17.
Kehadiran buku Rasta dan Perlawanan terbitan Insist Press tahun 2009 ini sangat penting dalam perannya menjelaskan kerancuan-kerancuan tersebut. Dengan bahasa yang sederhana dan populer, Horace Campbell menuliskan kemunculan dan perkembangan gerakan rasta dari berbagai literatur sejarah.
Latar belakang Campbell yang seorang profesor Kajian Afrika-Amerika dan Ilmu Politik membuatnya secara jeli melengkapi karyanya dengan jurnal-jurnal ilmiah yang membuat buku ini terlalu komplit jika dianggap hanya sebagai buku pengantar tentang rastafari.
Memahami gerakan rastafari tidak akan pernah bisa dipisahkan dari kultur perbudakan di Kepulauan Karibia dan sekitarnya yang dimulai pada abad ke-17. Perdagangan manusia Afrika di kepulauan Atlantik sangat masif untuk memenuhi kebutuhan penggarapan perkebunan tebu bangsa Eropa, yaitu Spanyol dan dilanjutkan oleh Inggris.
Dalam pembukaan buku ini, Campbell secara teliti merunut penderitaan ras kulit hitam Afrika mulai dari perekrutannya di daratan Afrika, pengangkutannya yang tidak manusiawi, hingga perlakuan kejam dari mandor dan pemilik perkebunan tebu di Benua Amerika, khususnya Jamaika dan Kepulauan Karibia. Banyak sekali budak yang mati di perjalanan, pada saat bekerja, ataupun ditumpas oleh tentara bersenjata pada saat mereka memberontak.
Selain kekerasan fisik, budak-budak Afrika juga mengalami kekerasan psikis dengan cacian pada ras mereka yang dianggap lemah, pemalas, dan tidak beradab. Cacian itu sangat dalam menghujam mental keturunan para budak Afrika walaupun perbudakan secara resmi sudah dihapuskan sejak tahun 1865. Stigma inferior itu terus direproduksi oleh ras kulit putih melalui budaya populer seperti film.
Kesadaran tentang bangsa Afrika yang dianggap berbudaya rendah itu membuat kulit hitam di Amerika tidak percaya diri. Mereka meniru gaya hidup, etika dan standar estetika orang kulit putih Eropa. Di sisi lain, bangsa Afrika belum benar-benar lepas dari penindasan kulit putih. Bangsa Afrika banyak didiskriminasi, distigma negatif, dan dijadikan sebagai pekerja berupah rendah pada era neokolonialisme.
Dari situasi inilah beberapa tokoh intelektual kulit hitam mencoba merekonstruksi sejarah ras Afrika yang mereka miliki. Salah satu yang paling menonjol dan pengaruhnya besar adalah Marcus Garvey. Dengan penelusuran literatur akademiknya, Garvey menemukan fakta bahwa Afrika adalah bangsa yang mempunyai peradaban tinggi, kaya seni berbudaya, dan bangsa yang kuat. Selanjutnya dengan aktivitas politiknya, Marcus Garvey ingin memperjuangkan hak-hak kulit hitam. Dua hal penting yang ingin dicapai Garvey adalah menanamkan kebanggaan sebagai ras keturunan Afrika dan perjuangan melawan semua kekuatan yang menindas kulit hitam.
Kemenangan Etiopia (Kerajaan Abisinia) atas agresor Italia merupakan momentum penting yang berhasil disebar luaskan oleh Garvey melalui surat kabar, pamflet dan orasi-orasinya. Pemimpin Etiopia, Raja Haile Selassie dijadikan simbol Mesiah, juru selamat yang kembali turun ke bumi dan menyelamatkan ras kulit hitam dari Babilonia, sebutan ras kulit hitam pada semua kulit putih yang menindas mereka. Kemenangan ini menandai bangkitnya kesadaran kaum Negro akan kekuatan rasnya.
Dengan beberapa tokoh intelektual di Karibia seperti Uskup Harry Turner, Edward Blyden, Sylvester Williams dan Dr. Robert Love (tokoh-tokoh penting dalam menyuarakan ketertindasan kulit hitam) bersama Garvey mereka menyebarkan semangat Pan-Afrikanisme pasca Kongres Pertama Pan-Afrika pada tahun 1900.
Pan-Afrika ini secara politis menyatukan seluruh bangsa kulit hitam (negro) di benua Amerika dan kepulauan Karibia. Garvey juga mendirikan partai politik kulit hitam yang sangat masif dan berpengaruh, yaitu The Universal Negro Improvement Association (UNIA).
Strategi Garvey meramu Etiopianisme dan Pan-Afrikanisme berhasil menjadi sebuah kekuatan yang menggugah kesadaran kulit hitam untuk melanjutkan perlawanan-perlawanan kulit hitam yang sejatinya sudah dimulai oleh beberapa budak di era terdahulu. Seluruh ras kulit hitam juga menjadi lebih terkait dengan Afrika dan selalu memberi dukungan kepada negara-negara Afrika yang masih banyak diinvasi bangsa Eropa. Ajaran Garvey yang begitu lugas menjadikan semangat dan inspirasi bagi kelahiran komunitas rasta generasi pertama.
Komunitas rasta generasi pertama muncul di daerah Pinnacle, Jamaika pada era 1930-an. Guru-guru pertama dalam gerakan ini adalah Leonard Howell, Archibald Dunkley, dan Joseph Hibbert. Mereka secara masif mengabarkan penobatan Raja Haile Selassie yang bergabung dengan komunitas internasional raja-raja dan pangeran. Howell secara lugas mengajarkan bahwa Kaisar Etiopia adalah raja semua bangsa Afrika dan harus lebih dihormati ketimbang raja Inggris.
Rasta sendiri berasal dari kata ras dan tafari. Ras adalah nama kaum aristokrat di Etiopia, sedangkan tafari berarti yang harus ditakuti. Rastafari sendiri merujuk pada Ras Tafari Makonnen, nama Afrika dari raja Haile Selassie.
Kaum rasta mempunyai beberapa ciri khas dan gaya hidup yang diambil dari akar-akar kebudayaan Afrika. Salah satu yang paling ikonik adalah rambut gimbal atau dread yang mereka ambil dari foto gerilyawan pembebasan di Afrika. Beberapa ciri lainnya adalah topi tam, bendera merah-kuning-hijau, ital food, mariyuana, dan lambang singa. Semua ciri khas tersebut mempunyai filosofi mendalam yang sarat makna perlawanan.
Mereka juga tidak mau menggunakan bahasa Inggris secara mentah sebagai simbol ketidaktundukan mereka pada kolonial. Mereka memodifikasinya dan mengembangkan sendiri bahasa rasta yang diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari, contohnya adalah Brethren dan Sistren sebagai panggilan untuk laki-laki dan perempuan rasta.
Keberadaan kaum rasta dianggap meresahkan bagi penguasa Jamaika. Oleh sebab itu mereka sering kali ditekan dan distigma negatif. Beberapa orang rasta yang secara lantang menyuarakan supremasi kulit hitam dianggap gila dan dimasukkan rumah sakit jiwa. Komunitas rasta juga dicap sebagai pecinta kekerasan dan orang-orang kriminal.
Ganja pada dasarnya sudah menjadi bagian dari kultur kaum Rasta dan kelas pekerja Jamaika. Ganja bisa diisap, diseduh, dicampur ke makanan, dijadikan obat dan juga tali. Kesuburan tanah Jamaika membuat ganja tumbuh subur hingga dua kali panen dalam satu tahun. Namun karena penjualannya yang begitu masif dan melibatkan petani miskin kulit hitam, negara-negara kapitalis adidaya mulai mencabut legalitas ganja. Hal itu membuat kaum rasta semakin terstigma negatif dan banyak yang ditangkap karena kepemilikan, pemakaian dan penjualan ganja.
Perjuangan komunitas rasta juga menggunakan aspek-aspek budaya seperti musik, seni dan sastra. Salah satu artefak budaya yang murni lahir dari kaum rasta adalah musik reggae. Musik yang merupakan perkembangan dari ska dan rock steady ini berhasil membawa pesan-pesan dan semangat rastafari ke seluruh dunia.
Fakta menarik dari musik reggae adalah dari merekalah kini kita mengenal sound system. Suatu rangkaian amplifier yang memungkinkan suara musik dinikmati secara komunal di tempat terbuka.
Salah satu penyanyi reggae yang paling ikonik adalah Bob Marley. Marley yang merupakan keturunan campuran kulit hitam dan kulit putih lebih mengidentifikasikan dirinya sebagai orang Afrika. Kemampuan Marley dalam meramu musik yang melodius dipadukan dengan kekuatan liriknya yang sarat ajaran rastafari sekaligus isu-isu universal membuat lagu-lagunya mudah diterima semua kalangan di seluruh dunia.
Buku setebal 594 halaman ini berhasil menyajikan sejarah perkembangan gerakan rastafari mulai dari akar hingga cabang-cabang terkecilnya. Sebuah literatur yang sangat penting untuk menjaga nyala semangat rastafari dalam melawan penindasan dan diskriminasi rasial, demi terciptanya dunia yang adil, damai, dan penuh cinta. Yomaaan… Uye!
Judul Buku : Rasta dan Perlawanan
Penulis : Horace Campbell
Penerbit : Insist Press
Tahun : 2009
***
Editor: Ghufroni An’ars