Manusia adalah makhluk sosial, dan karenanya, amat sukar untuk membayangkan ketiadaan kode-kode yang dapat membantu kita berinteraksi satu sama lain. Sebutlah kode-kode tersebut sebagai bahasa.
Sejatinya, bahasa merupakan sistem yang dibentuk oleh sejumlah komponen yang berpola secara tetap dan dapat dikaidahkan.
Interaksi atau komunikasi antarmanusia cenderung identik dengan komunikasi lisan (langsung), yang artinya terjadi saling tukar kode secara oral antara seorang penutur dengan mitra tuturnya.
Hanya saja, sebenarnya aktivitas komunikasi tersebut dapat dibagi kembali ke dalam dua jenis, yakni komunikasi langsung dan tidak langsung.
Menulis sebagai Komunikasi Tidak Langsung
Penulis dapat diposisikan sejajar dengan penutur dalam proses komunikasi. Menurut Henry Guntur Tarigan, keduanya memiliki ciri yang sama, yakni produktif dan ekspresif. Sementara itu, perbedaannya: dalam menulis diperlukan penglihatan dan gerak tangan; sedangkan dalam berbicara—yang merupakan komunikasi langsung—diperlukan pendengaran dan penuturan.
Baik menulis maupun bertutur, keduanya mesti memerhatikan komponen-komponen yang sama, seperti struktur kata/bahasa, kosakata atau diksi dan kecepatan/kelancaran umum. Menulis berkaitan dengan ortografi; dan bertutur erat kaitannya dengan fonologi.
Secara khusus, aktivitas menulis menghasilkan medium komuniasi yang lumrah disebut tulisan, karya, atau teks. Lewat medium teks ini, terjadilah “dialog imajiner” antara seorang penulis dengan pembacanya.
Kita boleh menyebutnya imajiner, karena pada saat menulis, sang penulis membayangkan keberadaan pembacanya; dan sebaliknya, para pembaca pun membayangkan kehadiran penulis ketika mereka berhadapan dengan larik demi larik teks yang dihasilkan sang penulis.
Ada begitu banyak jenis teks andai harus dirincikan. Salah satu bentuk teks itu adalah karya tulis (kreatif) yang disepakati sebagai puisi.
Pemilihan kata atau diksi memegang peranan vital dalam penulisan puisi, karena aspek itu boleh disebut segala-galanya bagi jenis karya ini. Lewat kata yang sesedikit mungkin, Ralph Waldo Emerson menyebut bahwa puisi berupaya menyampaikan pengajaran sebanyak mungkin.
Di samping itu, bagi Suminto A. Sayuti, pilihan diksi juga menjadi “gerbang” ke arah bangunan suasana puitik yang membawa pembaca kepada penikmatan dan pemahaman yang menyeluruh (total).
Campur Kode Lamuh: dari Diksi Sasak ke Akar Sejarah
Dalam aspek pemilihan diksi ini, seorang penyair yang menggunakan bahasa Indonesia dalam penarasian puisinya, tidak jarang menyematkan pula diksi-diksi kedaerahan yang menjadi basis kebudayaannya. Kita boleh menyebut ini sebagai peristiwa campur kode dalam komunikasi puitik—hadirnya serpihan kode-kode bahasa tertentu tanpa fungsi atau keotonomian dalam tatanan kode utama atau kode dasar yang digunakan—oleh seorang penutur atau penulis.
“Komunikasi puitik” yang saya maksud adalah komunikasi dalam kerangka dialog imajiner antara penyair dengan pembaca yang dimediumi puisi.
Kita ambil contoh kasus lewat Lamuh Syamsuar, seorang penyair asal Lombok Tengah yang konsisten mengolah tema-tema ke-Sasak-an, lewat puisi-puisinya dalam buku Topeng Labuapi (Rua Aksara, 2022).
Puisi-puisinya berbahasa Indonesia, tetapi tidak jarang diselipkan diksi-diksi bahasa Sasak atau (falsafah) Jawa. Diksi-diksi Sasak itu, antara lain kelepug, pengelingsir, pekasih, pekelem, gawah, gogorancah, senggah, beak ganggas, belian, panjak kiran, gerodak, biras, dan lain-lain.
Dalam kacamata Suminto A. Sayuti, setidaknya ada tiga alasan yang mendasari “campur kode puitika” sebagaimana terjadi dalam puisi-puisi Lamuh: pertama, istilah “siap pakai” yang dianggap lebih kaya guna mengekspresikan berbagai emosi; kedua, hal-hal seperti arti, rasa, asosiasi, dan konotasi yang dikandung diksi-diksi Sasak pilihan Lamuh tidak selalu dapat dirumuskan dengan tepat dalam bahasa Indonesia, yang notabene menjadi kode dominan dalam puisi-puisinya; dan ketiga, berkemungkinan pula dimaksudkan sebagai pemberi suasana daerah atau local color.
Alasan-alasan itu, tentunya bisa kita pandang bermuara pada penegasan identitas ke-Sasak-an dari diri Lamuh pula.
Hal yang menjadi catatan, seperti sudah disinggung, bahwa selain diksi-diksi Sasak, juga ditemukan sejumlah istilah atau falsafah dari khazanah Jawa dalam narasi-narasi puisi Lamuh, khususnya Jawa-Islam, semisal: sabda pandita ratu, asmaradana, gambuh, dandanggula, durma, pangkur, megatruh atau sangken paraning dumadhi.
Hal ini, mungkin berkelindan dengan wawasan kesejarahan sang penyair, bahwa seperti yang ia kutipkan dalam “Surat Penulis”-nya, ujung paling timur Jawa bukanlah Banyuwangi, ataupun Bali, melainkan Pulau Lombok—sebab ketiganya serumpun dalam aspek kebudayaan.
Hal itu bisa dibuktikan dengan komparasi aksara, bahasa, dan tradisi Islam kulturalnya. Artinya, campur kode puitik Lamuh membawa kita pada semacam penelusuran silsilah dalam konteks historis, bahwa Jawa memiliki pertalian erat dengan Sasak.
Sedikit dari banyak contoh, barangkali kita dapat merujuk pada Kakawin Nagara Kretagama yang menyebutkan bahwa dalam yoganya, Bhetara Hyang Pasupati “memasak” Pulau Bali dan Pulau Lombok yang “tidak stabil” menggunakan puncak dari Semeru.
Selain itu, dari berbagai referensi, terdapat pula riwayat penyebaran Islam ke Lombok oleh Sunan Prapen, yang tak lain adalah putra dari Sunan Giri di Jawa.
Dengan demikian, kita dapat melihat bahwa komunikasi dan puitika yang dibangun puisi-puisi Lamuh tidak berhenti pada sekadar keindahan kata-kata dari bahasa ibu atau rima-irama yang dipaksakan, melainkan juga bergerak ke ranah kesejarahan Lombok yang cukup kompleks.
Tentu, butuh ruang pembahasan yang lebih panjang untuk membicarakan ini secara lebih mendalam, karena selalu pelik untuk menangkap atau memaknai cara pandang penyair dalam mengolah kembali “manik-manik” pada kejembaran horizon wawasannya, kendati hanya serenik saja.
***
Editor: Ghufroni An’ars