Perempuan Baik-Baik

Siksta Alia

7 min read

Kata Bapak, tidak akan ada laki-laki baik-baik yang bersedia menikahi perempuan seperti aku.

Kata Mbah, aku sudah masuk ke lubang pembuangan yang hanya berisi perempuan-perempuan sisa. Hanya laki-laki yang sama busuknya yang mau bersentuhan dengan perempuan seperti aku.

“Perempuan yang tidak bisa menjaga kesucian tubuhnya adalah perempuan sisa. Perempuan tidak baik-baik.” Ia bicara dengan mata terbelalak.

Aku hampir terkekeh melihat wajah Mbah yang lucu ketika marah. Namun, aku tahan rasa geli ini ketika melirik wajah Ibu yang cemas bukan main.

Mataku dan Ibu bertemu. Aku tersenyum dan menggelengkan kepala supaya Ibu tak perlu mengucapkan kata-kata apa pun untuk membantuku.

Aku tahu, setiap kata-kata pembelaan dari Ibu pasti akan membuatnya makin jadi bulan-bulanan Mbah.

“Sudah saatnya semua beristirahat,” ucap ibuku kepada mertuanya itu.

Tangan Ibu menggosok-gosok daster yang ia jahit sendiri. Ia terlihat gusar tapi seperti biasa perasaanya selalu ia tenggelamkan di balik ketaatannya kepada Bapak dan keluarganya.

“Mbah, aku capek. Nanti luka-luka di badan dan mukaku nggak sembuh-sembuh kalau nggak istirahat cukup. Nanti kalau ada bekasnya makin nggak ada laki-laki yang mau sama aku,” ucapku sambil tersenyum.

Mbah melirikku sambil mendengus. Ia berjalan ke luar sambil menggerutu. Ketika Mbah sudah menghilang dari balik pintu rumah utama, aku memeluk Ibu dari belakang. Aku genggam tangan Ibu yang masih mengepal kuat.

“Bisa-bisanya dia bilang begitu sama kamu setelah kejadian semalam.”

Dalam marahnya, Ibu masih bicara dengan nada lembut. Aku memeluk tubuh kecil ibu dengan erat. Kubayangkan besarnya kekuatan yang ia miliki di dalam tubuh mungilnya.

***

Kubaringkan tubuhku dengan hati-hati di atas kasur. Lebam di wajah dan lenganku terasa sangat nyeri. Luka baret di punggung belakangku terasa seperti dikucuri jeruk nipis setiap beradu dengan kain bajuku.

Mungkin penderitaan ini tidak akan terasa sebegini beratnya kalau aku pergi ke rumah sakit. Namun, Bapak melarang aku berobat karena takut ada yang menyadari kekerasan yang terjadi padaku.

Keputusan Bapak memang membingungkan. Yang ia lindungi bukan putrinya yang habis digebuki, malah pria yang menggebuki anaknya.

Tidak ada kecurigaan sedikit pun malam itu ketika aku pergi bersama pria itu, karena Bapak sendiri yang memperkenalkan dia kepadaku.

Ayahnya adalah pemuka agama yang disegani di kota ini. Lelaki itu juga bukan pria sembarangan, ia seorang doktor juga calon kuat walikota di sebuah kota di Jawa Tengah. Pamornya sudah sampai ke seluruh negeri, dan menjadi incaran wanita-wanita lajang.

“Dia itu lelaki baik-baik. Jangan aneh-aneh dan jaga kelakuan kamu,” ucap Bapak.

Lelaki itu mengajakku pergi makan malam dan aku tak punya pilihan untuk menolak.

Saat makan malam ia lincah bercerita tentang dirinya. Semua hal tentang pencapaiannya. Aku sampai bisa tahu prestasinya ketika sekolah. Ia tak banyak bertanya tentangku, mungkin karena terlalu asyik bercerita tentang dirinya. Aku juga tak punya keinginan untuk membuka diriku untuknya. Malam itu, ditutup dengan ia membawaku pergi ke sebuah klub malam.

Aku sebenarnya malas melanjutkan pertemuan ini, tapi dia memintaku dengan sedikit memaksa.

Makin malam, musik makin kencang, dan kesadaranku makin hilang. Lelaki itu terlihat tidak minum, meski berkali menyodoriku berbagai minuman. Walau menyebalkan mungkin benar kata Bapak. Mungkin dia memang pria baik-baik. Maka aku mempercayakan diriku yang sudah setengah sadar itu dalam tangannya.

Ia memapahku yang sudah sempoyongan masuk ke dalam mobilnya yang seharga rumah. Namun, ternyata di dalam mobil, ia tak lagi serupa lelaki baik-baik.

Tangannya mulai menggerayangi tubuhku. Ketika aku mengusir tangannya, ia akan kembali dengan tenaga yang lebih kuat dan tak bisa kutampik.

Tiba-tiba, ia hentikan mobilnya di tempat yang sepi. Ia mulai memaksa mencium bibirku. Ketika aku menolak, ia tampar aku sampai pipiku terasa perih dan panas. Semakin kuat aku melawan, semakin kasar dia menghajarku, sampai bajuku robek.

Aku berusaha menggerakkan tubuhku dengan sisa tenaga seperti orang gila, tapi tetap saja aku kalah kuat.

“Oke. Stop. Aku menyerah. Kita sewa kamar saja,” seruku dengan tangan gemetar yang aku sembunyikan di bawah tas.

Ia menyeringai, lalu bersiap menginjak gas. Ketika ia lengah, aku pukul penisnya. Ketika ia mengerang kesakitan, aku tekan klakson keras-keras.

Tiba-tiba kami dikepung warga. Ia langsung membuka pintu penumpang, mendorongku keluar sampai jatuh. Pria yang terlihat baik-baik itu nelesat hilang dalam sekejap.

Aku dibantu beberapa orang, lalu pulang dengan taksi.

Bapak, Mbah dan Ibu menjerit bersamaan ketika aku keluar taksi dengan blouse setengah robek, muka lebam dan kesadaran yang masih belum pulih.

***

Sejak malam aku pulang dengan baju robek, muka lebam dan setengah mabuk itu, Mbah sibuk dengan pertanyaan, pria mana yang mau menikahiku? Ia pusing tujuh keliling katanya. Ia sudah pasrah kalau aku jadi perawan tua. Aku mengangguk-angguk turut prihatin dengan kepedihan hati Mbah. Sampai suatu pagi, ia muncul dengan wajah seperti anak kecil habis mendapatkan mainan idaman.

“Kamu beruntung. Ada yang mau melamar kamu!” ucap Mbah sambil menepuk tangannya dan tersenyum lebar.

Aku masih terbaring di tempat tidur. Mengambil guling lalu memeluknya sambil melihat Mbah.

“Siapa, Mbah?”

“Laki-laki baik-baik. Nanti sore dia akan datang,” ucap Mbah.

Ketika Mbah pergi, Ibu bilang sebaiknya aku tidak perlu menemui lelaki itu jika aku tidak siap. Sepertinya ia masih kesal dengan sikap Mbah. Namun, aku penasaran seperti apakah rupa seorang laki-laki baik-baik ini yang mau menerima perempuan sisa sepertiku.

Jadi sesuai dengan perintah Mbah, begitu sore menjelang, kupakai baju yang tertutup, kurias wajahku tipis-tipis dan bersiap menyambut laki-laki baik-baik itu.

***

“Itu orangnya sudah datang. Ayo ikut, Mbah. Jaga sikap. Jalan pelan-pelan ya. Jangan liat wajahnya langsung, nunduk seperti kamu sedang malu-malu. Laki-laki baik-baik suka dengan perempuan pemalu.”

Mbah menggandengku. Seperti perintah Mbah, aku menunduk dalam sampai hanya bisa melihat kakiku. Lalu langkahku terhenti ketika aku lihat sepatu lelaki di bawah sana. Aku mengangkat pandangan ketika Mbah memperkenalkanku dengan lelaki itu.

“Liat dia,” bisik Mbah.

Kuangkat kepalaku. Namun, seketika pandangan malu-maluku hilang berganti dengan amarah yang membakar hatiku. Aku langsung tunjuk bajingan di depanku.

“Bangsat kamu!” ucapku sambil menabraknya dan kemudian menendanginya dengan kakiku.

Ia terjatuh dan pura-pura tak berdaya sepertinya lebih karena merasa kaget dan malu. Kutendangi lelaki itu lalu kuludahi dia. Aku jijik sekali dengan manusia itu. Tak bisa kubayangkan nasibku tanpa secerca keberuntungan yang mampir malam itu.

Aku berhenti ketika satu tangan yang sangat kuat menahan tubuhku. “Cukup! Kamu bikin malu Bapak.”

Aku terpaksa berhenti tapi amarahku masih terpendam dalam dan siap meledak kapan saja.

***

“Pasti kamu yang menggoda duluan. Namanya kucing kalau lihat ikan nggak ditutup tudung saji, ya langsung diterkam,” ucap Mbah.

Mbah mengembuskan napas panjang sambil memandangku dan menggelengkan kepala.

“Mau bagaimanpun saya tidak terima kalau lelaki itu sampai memaksa menyentuh anak saya.” Ibu berteriak tidak sabar di depan wajah Mbah.

Aku sampai terbengong-bengong melihat reaksi ibuku. Baru kali ini ia berani mendongakkan wajahnya di depan mertuanya.

“Dia mau tanggung jawab,” balas Mbah yakin.

“Maksudnya? Dia akan menyerahkan dirinya ke polisi?” tanya ibu ragu karena rasanya kemungkinan itu terlalu jauh.

“Dia mau menikahi anakmu.” Mbah tersenyum di akhir kalimatnya seperti orang yang mengabarkan kemenangan.

Aku dan Ibu makin melongo. Mendapatkan reaksi seperti itu, Mbah kembali cemberut.

“Menikah? Saya nggak akan merestui anak saya dinikahi lelaki laknat seperti itu.” Ibu menjerit kencang sampai matanya terpejam erat. Kali ini Mbah yang melongo melihat reaksi Ibu.

“Lalu anakmu yang sudah kotor mau jadi apa? Apa ada lelaki lain lagi yang mau sama dia?”

“Saya tahu anak saya. Dia perempuan baik. Saya tidak akan merestui dia menikah dengan lelaki yang tidak baik.”

“Kamu ini nggak tahu diri. Liat anakmu! Sudah bagus masih ada yang mau menikahinya,” ujar Mbah sambil berdecak dan menggeleng-geleng.

Ibu melotot ke arah Mbah. Kulihat tangannya menggantung dan terkepal keras.

“Cukup. Aku akan menikah dengan lelaki itu,” balasku dengan suara gemetar.

Mata Ibu terbuka makin besar. Kali ini bukan saja terisi amarah tapi juga keterkejutan. Sementara senyum Mbah lebar merekah.

“Akhirnya kamu waras juga,” ucap Mbah sambil memelukku kencang. Aku tak punya nyali untuk memandang wajah Ibu.

Setelah Mbah keluar dari kamarku, Ibu memegang tanganku kuat-kuat.

“Kamu butuh apa? Ibu akan lakukan asal kamu nggak menuruti semua rencana Mbah,” ujar Ibu.

Matanya sudah memohon supaya aku mengembalikan akal sehatku. Kupeluk Ibu. Napasnya masih tersengal-sengal mungkin karena terlalu banyak emosi terpendam di dalam dadanya.

“Aku butuh Ibu percaya padaku,” ucapku sambil melihat senyumku yang terpantul di cermin tembok.

***

Calon suamiku, si laki-laki baik-baik itu, minta pernikahan dilakukan lebih cepat dari rencana Mbah. Ia ingin sudah menikah ketika kampanye berlangsung. Mungkin punya istri bisa menaikkan popularitasnya.

Tentu saja Mbah dan Bapak menyambutnya dengan tangan terbuka. Aku? Dengan patuh mengikuti semua keputusan walau tidak ada yang menanyakan pendapatku. Lagi-lagi, bagi mereka, sudah bagus masih ada pria yang mau denganku.

“Besok kamu dan calon suamimu akan melihat rumah baru kalian,” ucap Mbah.

“Kamu dandan yang cantik tapi jangan berlebihan. Dampingi calon suamimu. Kalau dia menang, usaha keluarga kita juga kena untung,” tambah Bapak sambil tertawa.

Bapak dan Mbah menatapku sampai berkaca-kaca. Dalam hati aku tertawa terbahak-bahak.

***

Aku ingat Mbah selalu mendambakan aku bersanding dengan lelaki baik-baik. Aku juga masih ingat bahagianya Bapak dan Mbah ketika ada lelaki baik-baik yang bersedia menikahiku. Namun, ketika melihat calon suamiku ini yang dikatakan baik-baik aku jadi ragu dengan definisi lelaki baik-baik versi mereka.

Apakah kata baik masih sama dengan apa yang aku pahami sejak kecil. Karena calon suamiku ini jauh sekali dari pemahamanku tentang kata baik.

Tadi malam, lelaki itu datang ke rumahku. Tentu saja, Mbah girang bukan main. Ia memaksaku berganti baju walau aku sudah siap tidur. Wajahku juga tidak diperbolehkan kosong. Aku rias wajahku dengan terpaksa.

Aku diantar Mbah ke ruang tamu. Calon suamiku sedang duduk sambil melihat ponselnya. Ketika melihatku dan Mbah, ia berdiri dan menyapa. Ia juga menyalami dan mencium tangan Mbah sampai nenekku itu terbuai dibuatnya.

“Kamu cantik sekali,” ucapnya sambil tersenyum. Matanya terbuka lebar, seakan-akan sedang mengagumi bidadari.

Namun, kata-kata setinggi apa pun tidak akan bisa mengangkat posisinya yang sudah sangat rendah di mataku. Mbah meninggalkan kami yang duduk berhadap-hadapan. Lalu pria itu melihat sekeliling, kemudian pindah ke sebelahku.

“Besok kita pergi ke rumah baru. Jam 2 siang ada wawancara sama televisi. Nanti, aku akan ngenalin kamu sebagai calon istriku,” ucapnya.

***

Kami sampai di calon rumah yang memang besar tapi belum penuh terisi. Di luar, penjaga rumah sedang sibuk menemani pihak televisi menyiapkan wawancara.

Setelah menyapa beberapa orang, lelaki itu mengajakku untuk naik dan masuk ke kamar yang nantinya akan jadi kamar kami berdua.

“Ini nanti jadi kamar kita,” ucapnya.

Ia menyalakan rokok dan membuang korek ke atas meja. Aku membuka jendela supaya bau rokok keluar. Ia mendekatiku. Dekat sekali sampai aku memundurkan tubuh.

Isi perutku terasa ingin keluar sekarang juga ketika aku mencium bau parfum yang sama seperti yang aku cium malam itu. Aku menunduk untuk menetralkan rasa mual. Lelaki itu melangkah lagi, tak mau kalah denganku. Tangannya menyentuh rambutku lalu kurasakan jemarinya di pipiku.

Aku taruh tanganku di lehernya lalu menjalar lembut ke pipi sampai ia bergidik. Mata lelaki itu sudah hampir hilang termakan napsu.

Aku buka kancing kemejanya satu per satu. Ia tidak menolak. Aku buka celana panjangnya. Ia juga menurut. Matanya menyala-nyala bahagia. Seperti anak kecil yang diberikan permen di depan wajahnya.

Ia berdiri membelakangi jendela, lalu kedua tangannya aku tarik ke belakang dan kuborgol. Borgol yang sudah aku simpan dari rumah. Bagian tengah borgol kusangkutkan ke teralis. Ia sudah seperti tahanan, setengah telanjang dan tangannya ditahan borgol yang tersangkut ke teralis. Ia tidak bisa ke mana-mana.

Kulanjutkan permainan. Kubuka celana dalamnya. Aku ambil dasi dari tasku lalu kututup matanya.

“Buka dong baju kamu. Jangan ditutup mataku, mau liat badan kamu dulu,” ucapnya kegirangan.

Aku turunkan dasi dari matanya menuju leher laki-laki itu.

“Hai,” desisku menggoda.

Ia menyeringai. Senyumnya menghilang ketika lingkar dasi makin mengecil sampai hampir mencekik lehernya.

“Mau ngapain kamu?” ucapnya sambil menggerak-gerakkan kepalanya dengan sia-sia.

Napsu yang tadi memenuhi matanya hilang berganti takut. Tanganku terus bergerak, memperkecil lingkar dasi. Ia terus memberontak.

“Jangan berani-beraninya kamu,” balasnya mengancam.

“Kamu mau teriak? Teriak aja, biar semua liat kamu telanjang,” ucapku sambil terkekeh.

“Bangsat! Bangsat! Mau apa kamu?” tanyanya. Rahangnya mengeras dan wajahnya memerah. Ia terus memberontak tapi usahanya tak ada hasil.

“Aku kasih kesempatan kamu untuk minta maaf dan menyerahkan diri kamu ke polisi atas perbuatan yang kamu lakukan padaku.” Sesaat dia terlihat kaget dengan penawaranku tapi tak lama ia tergelak hebat.

“Minta maaf? Melapor ke polisi?” Ia tergelak makin kencang lagi. Artinya ia sudah menyia-nyiakan kesempatan.

Aku masukkan baju lelaki itu ke dalam tempat sampah yang terbuat dari plastik. Aku ambil korek yang tadi dilemparkan lelaki itu ke meja kerja. Kunyalakan korek dan kulempar ke tong sampah. Nyala api perlahan mulai membakar baju calon suamiku. Lama-kelamaan api kecil itu membesar.

Aku melambai dan pergi menjauh ketika asap mulai membesar karena api sudah habis memakan baju dan kini melahap tempat sampah plastik itu.

Laki-laki baik-baik itu berteriak-teriak histeris ketika api mulai menghabisi kursi yang ada di sebelah tempat sampah. Orang-orang yang ada di bawah, penjaga rumah, wartawan, jalan cepat-cepat menuju arah jeritan minta tolong.

***

Editor: Ghufroni An’ars

Siksta Alia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email