Selama tiga pekan Liga 1 berjalan, PSM memperoleh rentetan hasil positif. Pasukan Ramang berhasil mengumpulkan tujuh poin hasil dari dua menang dan sekali imbang. Catatan tersebut seolah mengamini harapan para suporter bahwa PSM di bawah asuhan Bernardo Tavares akan menjadi penantang gelar di musim ini setelah terseok-seok musim lalu.
Keberhasilan PSM bukan hanya terjadi di Liga 1 saja, namun juga di kancah Asia. PSM berhasil melaju ke semifinal AFC Cup dan akan berhadapan dengan wakil Malaysia, Kedah FA. Keberhasilan tersebut sebenarnya cukup mengejutkan karena PSM dengan persiapan yang minim serta materi pemain yang tidak terlalu mewah bisa melaju lebih jauh ketimbang Bali United.
Namun, semifinal AFC Cup akan tetap digelar di Bali dan bukan di Makassar. Mengapa? Karena Makassar tidak memiliki satupun stadion sekarang. Hal itu terjadi setelah Stadion Andi Mattalatta resmi dirobohkan tanpa tindak lanjut apa pun. Stadion Andi Mattalatta—meski dengan segala kekurangannya—telah menemani PSM selama puluhan tahun.
Peliknya Persoalan Stadion
Bisa dikatakan bahwa tidak ada kota besar di dunia yang tidak memiliki stadion sepakbola yang layak. Maka dari itu, saya sama sekali tidak percaya dengan slogan Makassar menuju kota dunia yang acap kali digaungkan oleh orang-orang. Kota dunia apanya sedangkan membangun satu stadion layak pun tidak bisa.
Awalnya, Stadion Andi Mattalatta dirobohkan oleh Pemprov Sulsel dengan niat direnovasi menjadi stadion yang lebih modern. Bahkan gubernur saat itu, Nurdin Abdullah, sesumbar akan menyelesaikan renovasi stadion di awal tahun 2022. Kita semua tahu yang selesai di tahun 2022 bukan stadionnya melainkan karier Nurdin Abdullah sebagai Gubernur Sulawesi Selatan.
Waktu itu, Makassar juga tengah membangun Stadion Barombong yang direncanakan akan menjadi markas baru PSM. Stadion Barombong bahkan sudah mulai dibangun tahun 2011 dan sampai sekarang belum menunjukkan tanda-tanda penyelesaian. Niatnya sambil menyelam minum air, yang terjadi justru menyelam dan tenggelam.
Ada-ada saja masalah yang turut menyertai pembangunan kedua stadion ini. Dimulai dari sengketa lahan, anggaran, tender yang gagal, hingga kasus korupsi Nurdin Abdullah,. Baik Pemprov, Pemkot, ataupun YOSS (Yayasan Olahraga Sulawesi Selatan) seperti tidak serius dan saling melempar tanggung jawab terkait pembangunan stadion. Selain itu, tercatat sudah tiga orang yang meregang nyawa akibat tenggelam di kubangan area proyek Stadion Andi Mattalatta.
Mangkraknya dua proyek stadion tersebut membuat PSM resmi menjadi tim nomaden. Tim tertua di Indonesia dengan sejarah panjangnya yang mengesankan harus hidup berpindah-pindah stadion seolah sekarang ini masih zaman berburu dan meramu.
Baca juga:
Identitas Sulsel
Dalam mengarungi Liga 1 musim ini, PSM memilih bermarkas di Stadion Gelora B.J. Habibie yang terletak di Kota Pare-Pare. Suporter PSM yang berada di Makassar harus menempuh perjalanan sekitar 3-4 jam untuk menonton tim kesayangannya bermain. Akan tetapi, jarak tidak pernah menjadi persoalan kalau sudah kepalang cinta. Hal itu bisa dilihat dari belasan ribu suporter yang senantiasa memenuhi Stadion Gelora B.J. Habibie saat PSM bermain.
Walikota Pare-Pare, Taufan Pawe—terlepas ada tidaknya agenda politik di dalamnya—dengan tangan terbuka menyambut PSM untuk bermarkas di wilayahnya. Taufan Pawe juga serius membenahi kekurangan-kekurangan yang ada di Stadion Gelora B.J. Habibie agar dapat lolos verifikasi dari panitia pelaksana Liga 1.
Selain Taufan Pawe, Bupati Gowa, Adnan Purichta Ichsan juga menawarkan Stadion Kalegowa untuk dijadikan tempat latihan bagi PSM. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah; mengapa pemimpin daerah lain antusias menyambut PSM untuk bermarkas di wilayahnya?
Ada dua kemungkinan jawaban untuk itu; Pertama, adanya agenda politik. Pilgub Sulsel akan digelar tahun 2024 nanti dan desas-desus Taufan Pawe serta Adnan Purichta Ichsan menjadi salah satu calon gubernur sudah tercium kuat sejak awal. Maka tidak salah jika ada yang mengaitkan “kebaikan hatinya” menawarkan homebase dan tempat latihan kepada PSM berkaitan dengan manuver politik mereka menjadi calon Gubernur Sulsel.
Secara pribadi, saya tidak terlalu menggubris ada tidaknya manuver politik dalam sikap kepedulian yang mereka tunjukkan kepada PSM. Toh, tidak ada tim sepakbola di Indonesia yang benar-benar bersih dari pengaruh politik praktis. Masih terlalu jauh untuk bermimpi menciptakan tim sepakbola yang benar-benar mandiri dan independen di negara ini selama yang memimpin PSSI masih berasal dari kalangan yang jauh dari kultur sepakbola itu sendiri. Lagi pula, bukankah selama ini PSM sudah sering dijadikan bahan bakar politik calon pemimpin di Makassar dan Sulawesi Selatan? Kita semua sudah punya pengalaman dan tidak perlu kaget kalau hal itu akan terjadi lagi nantinya.
Alasan kedua tidak lain karena PSM adalah identitas kejayaan sepakbola di Sulawesi Selatan. PSM bukan hanya milik masyarakat Kota Makassar. PSM adalah milik masyarakat Sulawesi Selatan. PSM menjadi satu-satunya tim sepakbola Sulsel yang konsisten bertahan di kasta tertinggi Liga Indonesia sementara tim lainnya masih sibuk berkubang di kasta bawah. Mungkin alasan ini pula yang mendorong para pemimpin daerah lain untuk turut membantu PSM selama masih berada dalam kapasitas mereka.
Kalau Gowa bisa memberi tempat latihan, Pare-Pare bisa memberi stadion untuk bertanding, Makassar bisa memberikan apa kepada PSM?
Ewako PSM!