Sosiologi Kopi Selo Soemardjan

Muhammad Syaiful arief

3 min read

Menurut tijdschrift Belanda, perkebunan kopi tahun 1828 penuh dengan kedamaian, kemewahan, dan alam yang tenang. Wong Londo dijamu dengan kopi, bir, dan makanan sambil menikmati pertunjukan orkestra lokal di gedung utama perkebunan kopi Losari yang penuh hiasan. Pertunjukan musik keroncong tradisional mengiringi kerja para barista melankolis bak para budak yang melayani rajanya.

Yogyakarta memiliki ribuan angkringan, atau dengan gaya dinamisnya sekarang, kafe. Kamu bisa menemukan kafe-kafe di sepanjang jalan kota pelajar ini. Kekhasan nama jawa yang terpampang menyoroti netra sedang berkendara, menggugah rasa penasaran untuk masuk ke dalamnya. Wong-wong berkata ngopinya Yogyakarta beda. Di sini, kegiatan ngopi disertai dengan menggibah, domino, uno, tebak angka.

Kanjeng Pangeran Haryo Selo Soemardjan yang akrab disapa dengan gelar profesor adalah pendiri dan pernah menjabat sebagai Dekan Fakultas Ilmu Kemasyarakatan yang kini lebih lumrah disebut Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia, sekaligus dosen di Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Profesor Selo merupakan Bapak Sosiologi yang dilahirkan di Yogyakarta. Beliau sangat disiplin sehingga menjadi tauladan hidup bagi cantrik-cantrik Yogyakarta.

Selo dibesarkan di lingkungan abdi dalem Kasultanan Yogyakarta Hadiningrat. Kakeknya, Raden Ajeng Tumenggung Padmonegoro, seorang pejabat tinggi di kantor Kesultanan Yogyakarta. Berkat jasa sang kakeklah Soemardjan bisa mengenyam pendidikan Barat.

Bapak Selo adalah sosok kedinamisan Yogyakarta yang kini terkenal dengan sajian manis dan seruput kopi di kafe. Pagi, siang, sore, dan malam, ngopi seakan menjadi kewajiban sehari-hari Bapak Selo. Kopinya Bapak Selo ini mengajarkan studen tekun dan rajin mengerjakan tugas-tugas kampus. Tak hanya itu, kopinya Bapak Selo ini juga mengajarkan menjalin relasi dalam kelas-kelas sosial.

Kedinamisan kopinya Selo juga studen rasakan di Masjid Jendral Sudirman. Kala itu, ada kegiatan ngopi bersama Ustaz Fahrudin Faiz dan teman-teman dari berbagai universitas di Yogyakarta. Tidak hanya muslim, non muslim pun datang ikut ngopi.

Pendekatan ngopi itu interaksi sosial yang bagus. Kedinamisan angkringan kafe pindah ke masjid merupakan pendekatan dakwah yang luar biasa. Pembentukan ikatan sosial lewat ngopi perlu kita stimuluskan kepada remaja-remaja kini yang jarang ke masjid. Dalam kitab Taisirul Kholaq mengenai adabul masajidi disebutkan bahwa siapa yang berkunjung ke masjid dan memakmurkanya akan dimuliakan oleh Allah karena masjid rumahnya Allah SWT.

Sejarah kopi di Yogyakarta ini melimpah. Ada kopi joss yang penyajiannya unik; kopi hitam dicampur dengan potongan arang yang masih membara sehingga bunyi “joss”. Ada juga kopi Suroloyo dari Kulon Progo yang diminum di tengah sejuk dan dinginnya kabut. Tak heran, kopi ini jadi seruputan wajib studen. Ada juga kopi Merapi dari Cangkringan, yakni kopi arabika milik Pak Kasno yang jadi sruputan wajib studen bila ingin muncak di Merapi.

Pada tahun 1969, Belanda membawa kopi dari Malabar dan India ke Jawa. Kemudian, kopi dibudidayakan oleh Belanda di Jawa. Sampel kopi dari Jawa diteliti di Amsterdam. Hasil penelitian menunjukkan Jawa memiliki kualitas kopi yang baik. Perkebunan kopi di Indonesia kala itu hanya menanam kopi arabika. Setelah itu, Belanda mendatangkan spesies kopi liberika. Tahun 1907 Belanda mendatangkan spesies baru, yakni kopi robusta.

Yogyakarta merupakan sentra kebudayaan yang melimpah ruah. Salah satunya karena serbuan penduduk luar yang ingin belajar di Kota Budaya itu. Namun, pemandangan kurang elok berupa pengendara remaja yang ugal-ugalalan, tidak mau mengalah di ring road seakan sudah jadi barang lumrah. Ironis sekali bila di Kota Budaya ini wong enom-nya tidak tahu adab. Lemahnya pengendalian sosial dalam membangun dan membendung nilai-nilai budaya yang tidak sesuai dengan nilai etika masyarakat Yogyakarta lama adalah faktor penyebab fenomena itu.

Ngopinya Bapak Selo bisa dipakai dalam penguatan sistem sosial dari Kesultanan Yogyakarta kepada masyarakat. Perlunya ngopi antara kesultanan Yogyakarta dengan organisasi masyarakat untuk memperkuat norma-norma sosial masyarakat. Secara sosio-historis, agen perubahan sosial adalah jutaan mahasiswa di Yogyakarta. Bapak Selo bilang, mahasiswa ini sebagai komunikator antara Sultan dan masyarakat.

Ngopinya mahasiswa di Yogyakarta membawa mereka ikut mentadaburi sistem bahasa Jawa yang begitu kental. Ngopinya Bapak Selo ini membentuk interaksi sosial egaliter dengan kaum Kesultanan karena mengondisikan orang-orang yang ikut ngopi untuk sekaligus belajar bahasa Jawa. Orang Yogyakarta tidak bisa terpisah dari filsafat dan budaya Jawa yang mengakar; meliputi karakter sabar, rila, narima, waspada, elo, noto roso, andap asor, wani ngalah, dan peduli melekat erat dalam nilai-nilai masyarakat Yogyakarta yang menjadi salah satu pusat kebudayaan Jawa.

Inilah yang kemudian membentuk identitas wong Jowo yang memiliki sifat njawani. Orang Jawa menekankan pentingnya praktik sederhana, toleransi, sabar, dan tapa dalam menjalani hidup.  Pada dasarnya, falsafah sosial masyarakat Jawa menghendaki manusia untuk mencapai keselarasan melalui pemeliharaan ketertiban. Keinginan, ambisi, dan nafsu pribadi mengancam harmoni sampai-sampai muncul gagasan bahwa pengorbanan pribadi untuk harmoni sosial akan diupah dengan penghargaan tertinggi. Lebih baik mengalah pada masyarakat daripada memaksakan kehendak.

Mahasiswa Yogyakarta juga ngopi dengan kelas elit. Mereka mengikuti upacara slametan, sesi kenduren, serta kirab dan tirakatan. Ngopi dengan kelas priyayi yang sangat peduli dengan budaya dan suka wayang, sarasehan, kenduren, dan seterusnya. Dengan begitu, mereka menerapkan falsafah orang Jawa tentang menjaga keharmonisan dan keseimbangan berbagai elemen yang ada (mikrokosmos dan makrokosmos). Memayu hayuning bawana. Kehidupan alam semesta akan aman kembali; perdamaian dan ketenangan tercapai seperti yang dicita-citakan secara kolektif oleh masyarakat Jawa.

Ngopinya Bapak Selo selalu dinamis sehingga menghasilkan manfaat yang begitu banyak. Sifat njawani memengaruhi sistem sosial, termasuk di dalamnya nilai dan pola perilaku di antara kelompok mahasiswa. Dengan kata lain, lembaga sosial memengaruhi pergaulan hidup melalui norma-norma yang ada.

Bertambahnya penduduk karena banyak pendatang yang menunut ilmu di Kota Pelajar ini memberikan inovasi-inovasi baru. Adanya kontak sosial masyarakat dengan mahasiswa juga mengubah sikap masyarakat. Tak puas dengan angkringan, orang-orang berbondong-bondong pindah ke kafe untuk ngopi sembari mengerjakan tugas kuliah dengan nyaman dan tenang. Tak hanya di angkringan dan kafe, ngopi juga bisa dilakukan di masjid sebagai ajang dakwah yang membumi. Ngopi adalah wajah masyarakat Yogyakarta yang merdeka, ramah, dan toleran.

 

Editor: Emma Amelia

Muhammad Syaiful arief

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email