Growing up, aku lupa kapan terakhir kali merasa “dihargai” oleh orang lain yang mendengar cerita kita. Maksudnya dihargai dalam tanda kutip itu bukan hanya sekadar didengarkan, tapi mengerti bahwa mereka benar-benar mendengar dan meresapi sampai di tahap ada tatapan ingin menolong yang terpancar dalam pendarnya bola matanya. Sebab salah seorang temanku, anak yang sentimen dengan orang lain dan sebelas dua belas dengan diriku atas perkara menilai orang lain, dia pernah sekali mengatakan kalimat-kalimat panjang untukku. Seperti: “mungkin karena kamu sulung, atau seharusnya menjadi laki-laki, atau tidak dekat dengan keluargamu — kamu memandang rendah posisimu sendiri dan tidak merasa berhak untuk bercerita pada orang lain. Jadi kamu justru menyepelekannya.”
Aku menjawab pendek dan acuh tak acuh, “Menyepelekan orang lainnya, maksudmu?”
“Bukan. Perasaanmu.”
Oh, itu bukan perkara baru. Itu yang kurasakan ketika aku selesai menamatkan Normal People. Toh, di situ orang-orangnya juga bermasalah, yang tidak normal sama sekali. Tunggu, atau justru yang semuanya punya masalah atas perasaan mereka masing-masing itulah, anomali itu, yang membuat mereka normal?
Tiara, salah seorang kawanku, selalu bersimpati ketika aku menceritakan kemalanganku — yang aku ceritakan dengan candaan di sana sini dan ditanggapinya dengan tangisan sehingga aku hentikan ceritaku dan menyuruhnya untuk menceritakan hidupnya saja — merupakan sosok yang mau mendengarkan. Andaikan Connell atau Marianne, dua tokoh utama yang normal di dalam Normal People — punya teman atau setidaknya siapa pun di dekat mereka seperti Tiara, mungkin novel ini tidak akan terlalu panjang. Entahlah, kupikir Connell dan Marianne hanya tidak punya Tiara.
Ketika pertama kali membaca novel ini (hadiah sekaligus olokan dari Mbak Ramayda Akmal karena kisahku tentang situationship yang mirip dengan novel ini), aku sangat merasa beberapa karakternya hanya jahat tanpa alasan. Misalnya Connell yang menyepelekan perasaan Marianne ketika mereka masih bersekolah. Menjadikan perempuan itu “simpanan” yang tidak ingin ia akui di mana pun sebab ia tahu bahwa Marianne tidak akan pernah tidak menurut. Seolah-olah itu bukan suatu masalah. Setelah keduanya lebih dewasa, mungkin ia merasa bersalah sedikit, tapi ia tetap menjustifikasi perilakunya demi posisi untuk bersosialisasi.
Padahal ada alasan mengapa Marianne selalu menurut pada Connell, setidaknya ia akan melakukan apa saja agar Connell merasa memerlukannya meski hanya pada malam-malam di ranjang. Ayah yang tidak ada, ibu yang tidak peduli padanya, kakak yang abusif — itu membuatnya mencari-cari sosok ideal untuk menjadi pasangannya. Dan di mana pun ia berada, entah kenapa, Connell selalu tidak pernah beranjak dari sampingnya.
Baca juga:
Itu juga mungkin merupakan faktor-faktor mengapa Marianne selalu berusaha untuk mencari, mendapatkan, dan menyepelekan rasa sakit karena ia familiar dengan cinta yang seperti itu. Di satu sisi, Connell tidak tumbuh dengan latar belakang yang sama sehingga ia rasa, dalam beberapa sisi, Marianne sebenarnya gadis yang rusak. Ketika membaca statement ini, anehnya aku tidak merasa marah pada Connell. Meski itu kalimat yang sangat keji, tapi itu memang benar. Marianne bukan gadis yang mengerti tentang cinta sehingga ia akan selalu berdarah-darah untuk mencarinya.
Setelah menamatkan novel kutukan ini, aku juga menyadari bahwa rasa marahku kepada Connell pada awalnya, yang kusadari kulandaskan dalam alasan-alasan personal (dan juga mungkin kedekatan sepihak kepada Marianne sebagai sesama perempuan atau orang dengan kurang lebih trauma yang sama), akhirnya sedikit melebur. Ada alasan juga mengapa laki-laki itu tidak pernah mencoba untuk sadar bahwa ia selalu menyimpan Marianne sampai kapan pun. Tahun telah berganti, musim mampir dan pergi, juga keputusan-keputusan yang mereka berdua putuskan sendiri-sendiri seperti masalah pacar masing-masing. Masalah kelas, isu sosial, latar belakang, ketiadaan sosok ayah — aku bisa banyak menyebutkan mengapa Connell sanggup berkata begitu.
Karena dia juga normal seperti manusia-manusia muda seperti kita. Ia juga orang yang ingin bunuh diri, tapi tidak akan melakukannya. Ia juga orang yang tidak mengerti bagaimana mengekspresikan cinta karena ia tidak punya keluarga yang lengkap untuk dijadikan kiblatnya. Ia tidak tahu bagaimana memosisikan dirinya di kehidupan sosialnya karena ia merasa masa depannya tidak akan pernah menjadi lebih baik. Setidaknya, dengan ia bertemu Marianne, ia juga mengakui bahwa Marianne memberinya “alasan” atau setidaknya tujuan untuk hidup-hidup yang selanjutnya.
Baca juga:
Marianne dan Connell jelas saling menyukai, sedari awal, tapi keduanya terlalu rusak untuk saling mengakuinya. Bukan masalah waktu yang tidak pas atau bagaimana keduanya selalu berusaha mengalihkan perasaan masing-masing. Itu semua karena masalah mental nan personal dan dari situ semuanya menjadi tidak berada pada posisi yang semestinya.
Aku menutup novel ini dengan amarah. Ya, aku marah karena semua yang ada di dalamnya sangat nyata. Aku tidak bisa mencela Conell lagi, aku tidak bisa memaki Marianne lagi. Aku terlalu bersimpati pada keduanya sampai aku menangisi novel yang susah sekali aku baca. Aku tidak merasakan bahwa apa pun yang bermasalah pada karakter-karakter itu menjadikanku berhak berkomentar. Mereka gambaran anak muda yang tidak mengerti bagaimana menjalani kehidupan sehingga rasanya seperti diseret. Aku justru merasa sangat lega ketika akhir dalam novel ini tidak menyiksaku lebih jauh.
Editor: Prihandini N