Penggemar cinema of contemplation yang bercita-cita mengunjungi perpustakaan di seluruh dunia.

Lady Bird dan Dunia Masa Mudanya

Sekar Jatiningrum

3 min read

Christine McPherson adalah nama yang diberikan padanya saat lahir, tetapi ia lebih suka dipanggil “Lady Bird.” Dari mana nama itu berasal? “It’s given to me, by me,” ujarnya spontan, penuh tekanan. Pernyataannya seolah mencerminkan tekad untuk menentukan identitasnya sendiri.

Momen itu terjadi di dalam mobil, saat Lady Bird dan ibunya mendengarkan siaran radio. Lagu yang diputar membuat keduanya terenyuh hingga mengusap air mata. Namun, harmoni tersebut hanya sesaat. Hubungan mereka sering diwarnai pertengkaran kecil, seperti ketika Lady Bird ingin mengganti frekuensi radio, tetapi sang ibu menolak. Ketegangan memuncak, hingga Lady Bird menjatuhkan dirinya ke aspal—dengan mobil yang masih berjalan. Sebuah tindakan yang impulsif, tetapi begitu khas Lady Bird.

Begitulah hubungan antara seorang ibu dan anak perempuannya: kompleks dan penuh emosi. Sang ibu, dengan sikap tegas dan tuntutannya yang terasa menekan, sering kali membuat Lady Bird merasa terkekang. Sementara itu, di balik aturan-aturan dan komentar tajamnya, ada usaha untuk memahami putrinya yang tengah bergulat dengan lonjakan hormon dan pencarian jati diri. Namun, upaya itu tak selalu sampai. Bagi Lady Bird, sikap sang ibu lebih menyerupai invasi terhadap privasinya. Akibatnya, kesalahpahaman pun kerap terjadi, berujung pada teriakan, bentakan, dan keheningan yang canggung.

Sesekali, sang Ibu berusaha menjembatani jarak di antara mereka dengan mencoba memahami dunia putrinya. Namun, saat melihat tingkah Lady Bird yang keras kepala, naluri sang Ibu justru mendorongnya untuk memberikan nasihat tegas dengan nada yang tak jarang terasa menghakimi. Upaya ini sering kali tak sampai; Lady Bird merasa tidak dimengerti, sementara sang ibu kesulitan menempatkan dirinya di posisi anaknya. Mereka seperti cermin satu sama lain—dua pribadi yang sama-sama keras kepala, sulit melebur, tetapi tak bisa sepenuhnya terpisah.

Film garapan Greta Gerwig ini berhasil menangkap dinamika kompleks antara seorang ibu dan anak perempuan dengan kejujuran yang menyentuh hati. Ceritanya mewakili banyak dari kita, baik sebagai orang tua maupun anak. Kebingungan yang dialami sang ibu (diperankan dengan sangat apik oleh Laurie Metcalf) dalam menghadapi putrinya sendiri adalah potret universal bagi para orang tua yang berusaha memahami anak-anak mereka di tengah masa remaja yang penuh gejolak.

Baca juga:

Demikian pula, pemberontakan-pemberontakan kecil Lady Bird mencerminkan perjalanan banyak remaja dalam mencari jati diri. Mereka ingin bebas, lepas dari aturan yang terasa mengekang, tanpa benar-benar memahami alasan di baliknya. Di mata Lady Bird, kebebasan adalah hak mutlak, tanpa kompromi. Namun, seperti yang ditampilkan dalam film ini, kebebasan itu tidak pernah sepenuhnya lepas dari bayang-bayang cinta, harapan, dan kekecewaan seorang Ibu.

Greta Gerwig merajut kisah ini dengan narasi yang mengalir, menghadirkan emosi yang begitu dekat dan nyata. Ini bukan sekadar cerita tentang hubungan ibu dan anak; ini adalah refleksi dari perjalanan kita semua—tentang cinta, benturan, dan pengertian.

Kehidupan remaja Lady Bird tidak bisa lepas dari berbagai dinamika khas masa muda: kisah cinta yang manis sekaligus menyakitkan, persahabatan yang diuji, rasa sakit karena dikhianati, hingga permusuhan kecil yang menyulut gejolak emosi. Semua itu berpadu dengan mimpi-mimpi besar dan pergulatan batin yang kadang sulit dipahami, bahkan oleh dirinya sendiri.

Sebagai siswi senior di sebuah SMA Katolik di Sacramento, Lady Bird (Saoirse Ronan) menjalani kesehariannya bersama sahabatnya, Julianne “Julie” Steffans (Beanie Feldstein). Persahabatan mereka diwarnai keluhan dan persoalan yang serupa, meski keduanya memiliki cara yang berbeda dalam menghadapinya.

Seperti di setiap sekolah, ada garis tak kasatmata yang memisahkan “anak populer” dari “anak non-populer.” Lady Bird termasuk dalam kelompok kedua, tetapi ia tak ingin sekadar berada di pinggiran. Dalam usahanya membaur dengan “anak populer,” Lady Bird menemukan bahwa pertemanan itu tak lebih dari interaksi dangkal. Ramai di permukaan, tetapi kosong di dalam. Kepalsuan itu akhirnya membuatnya muak. Ia memilih kembali ke persahabatan lamanya yang sederhana, tetapi jauh lebih tulus.

Julie, di sisi lain, menghadapi pergumulannya sendiri. Ia pandai dalam pelajaran matematika, tetapi terjebak dalam ketidakpuasan terhadap dirinya. Julie terus berusaha menghitung—bukan hanya angka di atas kertas, tetapi juga berat badannya, berharap mencapai standar kecantikan ideal yang dipaksakan masyarakat Amerika.

Diskriminasi terhadap bentuk tubuh dan warna kulit masih menjadi masalah yang terus berulang. Di satu sisi, seorang perempuan dianggap “cantik” jika memiliki tubuh berlekuk dengan dada dan pinggul yang proporsional serta warna kulit gelap eksotis khas Asia. Namun, di Asia sendiri, standar kecantikan justru berkiblat pada kulit putih kaukasia yang dianggap lebih menarik. Ketika standar-standar ini tak terpenuhi, perempuan sering kali dicap sebagai “Less Woman”—sebuah label yang tidak hanya merendahkan, tetapi juga mempersempit ruang identitas mereka.

Baca juga:

Meski tema cerita dalam Lady Bird terbilang sederhana, Greta Gerwig sebagai sutradara sekaligus penulis naskah mampu menjadikannya istimewa. Greta menghidupkan kisah kehidupan sehari-hari menjadi sesuatu yang menggugah, menyentuh, dan membekas di hati penonton. Kekuatan narasi ini membuat film Lady Bird mendapat sambutan hangat dari kritikus dan penonton. Bahkan, Rotten Tomatoes mencatat debut Greta ini sebagai film dengan ulasan terbaik sepanjang masa, meraih 99 persen tanggapan positif—sebuah pencapaian yang mengesankan.

Sebagai film independen bergenre komedi yang dirilis pada 2017, Lady Bird tidak berusaha menyampaikan kritik sosial dengan cara yang agresif atau menggebu-gebu. Sebaliknya, film ini lebih memilih pendekatan yang halus dan sentimental, menyoroti hubungan kompleks antara seorang ibu dan anak perempuannya. Lady Bird, si remaja bandel yang sulit diatur, sebenarnya memiliki sisi lembut dan unik yang kerap terselubung di balik pemberontakannya.

Terinspirasi dari kisah remaja Greta sendiri, Lady Bird menunjukkan bagaimana cerita sederhana tentang keluarga, cinta, dan pencarian jati diri dapat menjadi medium refleksi sosial. Film ini bukan hanya kritik terhadap masyarakat, tetapi juga sebuah pengingat akan pentingnya menerima perbedaan dan merangkul apa yang menjadikan kita unik. (*)

 

Editor: Kukuh Basuki

 

Sekar Jatiningrum
Sekar Jatiningrum Penggemar cinema of contemplation yang bercita-cita mengunjungi perpustakaan di seluruh dunia.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email