I write words for a living. Sometimes they even make sense.

Sebelum Jingga Jadi Terang

Rizal Nurhadiansyah

7 min read

Bagi Jingga, di kehidupan yang penuh kepalsuan ini, manusia tidak perlu menjadi asli. Lagi pula, seperti apa itu manusia yang asli? Orang seperti Jingga percaya bahwa dunia yang manusia tinggali hanya ilusi.

Jingga mengambil pemantik dari saku jaketnya, lalu menyulut ujung rokok yang entah sejak kapan dia pegang itu. Asap mengepul mengikuti arah angin. Asap rokok itu terlihat sangat jelas, malam lebih gelap dari sebelum Jingga melamun.

Jingga menatap jam tangan, lalu mengembuskan asap dari mulutnya. Belum waktunya, katanya, membatin. Jingga benci kenyataan bahwa dia adalah orang yang selalu tepat waktu. Bahkan, itu tidak bisa disebut tepat waktu, dia beberapa jam lebih awal dari waktu pertemuan dengan klien.

Menurut Jingga, dia dan manusia lain dikontrol oleh entitas yang lebih besar dan maju, entah siapa, tapi begitu yang dia rasakan. Manusia digerakkan oleh tangan-tangan yang tak terlihat. Mungkin itu tangan Tuhan, mungkin juga manusia lain di dunia yang sesungguhnya, menggerakkan dunia yang kita tinggali melalui sistem komputer. Jingga sepakat dengan seorang motivator yang mengobrol dengannya tempo hari, bahwa dunia ini adalah sebuah kompetisi—kita hidup di dunia permainan. Manusia hanyalah pion-pion yang diadu.

Malam semakin larut dan rokok Jingga sudah memendek. Dia segera melemparkannya ke tong sampah di dekatnya. Seorang laki-laki tua menghampirinya, meminjam pemantik. Dengan senang hati Jingga meminjamkannya. Laki-laki tua itu berterimakasih setelah asap dari mulutnya mengepul.

“Orang seperti kita itu sebenarnya cuma cari mati,” ujar laki-laki tua itu.

“Maaf?”

Laki-laki tua itu mengangkat rokoknya. Jingga langsung mengangguk, mengerti maksudnya.

“Pada dasarnya, memang tidak ada orang yang cari hidup.” Jingga melanjutkan, “Kita sudah memilikinya sejak bayi.”

Mereka terkekeh.

“Tapi, tidak semua orang berhasil menjaga hidupnya. Ada banyak bajingan yang gemar merebut hidup orang lain.” Laki-laki tua itu tersenyum pada Jingga, lalu beranjak dari tempat itu.

Jingga terdiam setelah mendengar apa kata laki-laki tua tadi. Dia bertanya pada kepalanya sendiri apakah dia masih memiliki hidup, atau tanpa disadari ternyata sudah direnggut orang lain.

“Aku lahir tanpa orangtua, tumbuh di panti asuhan, besar di jalanan … ”

“Apakah sejak awal aku tidak punya hidup?”

“Tunggu, apa sebenarnya hidup itu?”

Benaknya terus meracau meski Jingga sedang menyeberangi jalan raya yang ramai. Tiba-tiba sebuah telepon masuk dan membuyarkan pikirannya.

“Kau sudah sampai?” tanya seorang perempuan di ujung telepon, Nila, kakak Jingga.

“Aku sudah di depan lobi hotel.”

“Jangan buat pelanggan menunggu lebih lama! Dia ingin mati sebelum pagi, kalau tidak, kita harus mengembalikan uangnya!” Nila meninggikan suaranya.

“Kau tenang saja, masih ada lebih dari lima jam!”

Jingga menutup telepon itu, lalu masuk ke dalam sebuah motel bernama “Nyala” di depannya.

Seorang resepsionis laki-laki menyapa Jingga sambil tersenyum. Jingga balik menyapa. 

“Apa dia sudah datang? Aku tidak bisa menghubunginya,” tanya Jingga pada resepsionis itu. 

Resepsionis itu hanya mengacungkan jempolnya dan mengisyaratkan Jingga untuk segera masuk. 

Jingga pun langsung menaiki tangga yang terletak di samping meja administrasi. Motel ini cukup kecil dibandingkan motel-motel lainnya di kota, hanya terdiri dari 3 lantai, dan 12 kamar, tetapi tampak indah dengan ornamen klasik dan “fasilitas” yang mewah. Konon, pendirian tempat ini memang khusus untuk “orang-orang penting”; pejabat korup yang berselingkuh; petinggi gangster; dan orang penting lainnya. Motel ini aman dari jangkauan polisi ataupun jaksa, tentu saja. Petinggi kepolisian dan kejaksaan turut mendapatkan jatah dari Motel Nyala. Mereka menyebutnya “komisi”.

Jingga sudah berdiri di depan kamar bernomor 12 di lantai 3. Sebelum mengetuk pintu, Jingga mengembuskan napas ke telapak tangannya, lalu mengendusnya. Seperti biasa, sebelum bertemu klien, Jingga memastikan dirinya siap—tidak bau asap rokok, dan mengaktifkan mode berakting.

“Permisi … ”

Jingga mengetuk pintu sebanyak tiga kali. Tidak butuh waktu lama, seorang perempuan muda, kira-kira seusia Jingga mengintip dari balik pintu. Kepalanya masuk ke sela pintu yang dibuka sedikit untuk memastikan. 

Jingga menyambutnya dengan tersenyum. “Nona M?”

Perempuan itu langsung menyilakan Jingga masuk tanpa berkata apapun. Jingga mengerutkan dahinya, tetapi kemudian menggelengkan kepala dengan segera. Perempuan itu pucat dan tampak lemas. Namun, Jingga sudah tahu kenapa.

Kamar itu cukup luas, terdiri dari ranjang besar, satu kasur tambahan berukuran kecil, sofa yang sudah pasti sangat empuk berbentuk setengah lingkaran, televisi pintar yang memiliki lebar sekitar 43 inci, sebuah kamar mandi, minibar, dapur, dan lain sebagainya. Butuh uang yang banyak untuk menyewa kamar ini, Jingga membatin.

“Nona M, sebelum mulai … ”

“Ada di koper itu,” sergah Nona M sambil menunjuk sebuah koper kecil di atas meja.

“Oh … ”

“Kau boleh memeriksanya sendiri.”

Perempuan itu seperti bisa membaca pikiran Jingga. Segera, Jingga meraih koper itu dan membukanya sambil berdiri. Segepok uang tunai jatuh ke lantai dan Jingga hanya bisa menganga. Koper itu ternyata penuh dengan uang—lebih dari yang dia harapkan.

Jingga menatap Nona M dengan bola matanya yang melebar. “Sepertinya ini berlebihan.”

Perempuan itu hanya balik menatap Jingga tanpa berbicara. Sementara Jingga mengambil uang yang jatuh tadi, perempuan itu mendekat dan duduk di sofa tepat di depan Jingga.

“Ambillah semua uang itu, aku tidak butuh,” kata Nona M pelan.

“Kakakku … Ah, maksudku, bukan bosku yang memintamu membayar sebanyak ini?”

Jingga masih terkejut.

“Kau bisa membuangnya kalau tak mau,” jawab Nona M enteng.

Jingga segera menutup koper itu rapat-rapat dan meletakkannya kembali di atas meja. “Baiklah, kalau kau memaksa,” ujarnya sambil berusaha menyembunyikan perasaan senangnya.

“Kalau begitu, apakah kita bisa mulai?” tanya Jingga.

Nona M tidak menjawab, dia hanya menatap kosong ke layar televisi yang tidak dinyalakan.

“Apa kau baik-baik saja, Nona?”

Nona M memicingkan mata. “Menurutmu? Apa aku terlihat baik-baik saja?” 

Jingga terkejut mendengar jawaban itu, sekaligus merasa bersalah.

“Maafkan aku, Nona … ”

“Tidak perlu. Kau tidak perlu meminta maaf. Aku bukan orang yang layak dimintai maaf.”

Jingga terdiam. Dia akan mendapatkan masalah lagi jika memperpanjang percakapan ini. Dan, dia tahu betul kakaknya akan mengomel sepanjang hari karena dia mengacaukan bisnis gelap mereka ini.

“Baik, sebelum kita mulai, saya ingin mengingatkan kembali kesepakatan kita. Aku akan menemanimu, melakukan apapun yang Nona minta sebelum … bunuh diri.”

Jingga menelan ludahnya. “Batas waktu kita … 4 jam, Nona.”

“Aku mengerti,” balas Nona M.

Setelah itu, mereka tidak melakukan apapun. Nona M melamun, sementara Jingga hanya memerhatikannya. Peran Jingga adalah menjadi teman yang baik. Menurut Jingga, teman yang baik adalah teman yang menemani, bukan yang sok tahu apalagi berusaha merasuk ke hidup orang lain tanpa diminta. Oleh karena itu, Jingga hanya diam menunggu “temannya” membuka diri. 

Dua jam berlalu, dan Nona M masih belum mengatakan apapun. Pertahanan Jingga pun mulai roboh, dia mengantuk. Kelopak matanya berkali-kali memejam, tapi Jingga segera menggelengkan kepalanya. Aku butuh kopi, pikirnya. 

Dengan perlahan, Jingga berdiri. Nona M tidak menggubrisnya. 

“Maaf, Nona, aku akan membuat kopi. Apakah kau mau kubuatkan?”

Jingga bertanya dengan berhati-hati agar Nona M tidak tersinggung. Dia berusaha bersikap sebaik mungkin. 

Nona M menoleh. “Kau saja,” katanya.

Jingga pun beranjak dari duduknya dan berjalan ke minibar. Dia mulai memasukkan bubuk kopi yang dia tidak tahu jenis apa. Jingga menakar bubuk kopi itu terlebih dahulu sebelum memasukkannya ke dalam mesin pembuat kopi berukuran kecil di minibar tersebut. Jingga sebetulnya bisa saja memanggil pelayan untuk membuatkannya kopi, tetapi dia tidak ingin mengganggu Nona M. 

Jingga kembali duduk di sofa dan meletakkan mug berisi kopi hitam di atas meja. Jingga melihat Nona M masih menatap kosong ke depan. Dia mulai bertanya-tanya, apa yang sedang dipikirkan Nona M, dan kenapa dia ingin bunuh diri. Rasa sakit macam apa yang membuat seseorang ingin mengakhiri hidupnya. 

Jingga menyesap kopi hitam panasnya sedikit. Dia menoleh ke Nona M, dan dia terkejut melihat perempuan itu sudah menatapnya. 

“Aku ingin bercerita soal diriku,” ujar Nona M. 

Jingga menegakkan posisi duduknya, siap mendengarkan. “Tentu, Nona, aku akan mendengarkan.”

“Sebelumnya, apa kau tahu aku siapa?” tanya Nona M. 

Jingga meresponsnya dengan gelengan kepala. “Bosku tidak memberikan informasi apapun tentangmu, jadi aku tidak tahu.”

“Tentu. Aku tidak ingin kau tahu siapa aku. Karena kupikir nanti pun kau akan tahu setelah bertemu denganku. Tapi, ternyata kau benar-benar tidak tahu siapa aku.”

Jingga mengernyit. Dia menerka-nerka, siapa sebenarnya perempuan di depannya. Dia benar-benar tidak tahu. Tapi, perempuan yang menyebut dirinya M ini tampak terkejut dengan ketidaktahuanku itu.

Nona M tiba-tiba menyalakan televisi dan langsung menampilkan berita.

“Penyanyi terkenal Magenta sudah menghilang sejak kematian Presdir Grup Mediaku. Belum ada informasi lanjutan tentang misteri kematian tersebut, tetapi pihak kepolisian menyatakan bahwa Magenta berpotensi menjadi tersangka pembunuhan Presdir Grup Mediaku.”

Jingga terpaku menatap layar televisi yang menampilkan gambar perempuan yang kini berada tepat di depannya. 

“Kau Magenta? Penyanyi itu?”

Jingga tertohok. Dia kembali memastikan apakah benar perempuan itu adalah penyanyi dan pesohor yang dia sering dengar namanya itu. 

“Bagaimana mungkin aku tidak mengenalimu sejak tadi?”

“Orang sudah meninggalkan televisi, wajar kau tak langsung bisa mengenaliku. Aku hanya muncul di layar kaca. Mungkin kau hanya mendengar lagu-laguku,” jelas Magenta. 

“Ya, tentu. Lagu-lagumu luar biasa! Aku sangat menyukainya. Tapi, kenapa kau–”

“Ingin sekali mati?” sergah Magenta. 

Jingga segera merapat pertanyaannya karena merasa bersalah. “Oh, maafkan aku. Aku tidak bermaksud bertanya soal itu.”

“Kau lihat apa kata reporter tadi? Aku mungkin dituduh membunuh si tua bangka itu.” Suara Magenta meninggi seketika. 

Jingga hanya mendengarkan, tidak tahu harus merespons bagaimana. 

“Aku memang membunuhnya,” tutur Magenta. 

Tubuh Jingga sedikit menegang, tapi tetap berusaha menyimak. 

“Malam itu datang bersama dendam yang pernah kukubur dalam diriku. Sepuluh tahun sejak debutku, sedikitpun aku tidak merasakan kebahagiaan. Uang? Uang memang bisa membeli banyak hal, tapi uang tidak bisa menghapus memori, tidak bisa mengusir dendam.”

Dari ujung mata Magenta, air mata mulai turun ke pipi. Jingga bergegas mengambil saputangan dari saku kemejanya dan menyodorkannya pada Magenta.

“Pakailah, Nona.”

Magenta menerima saputangan itu dan langsung mengusap air matanya. 

“Selama sepuluh tahun ini, aku kehilangan hidupku. Yang orang-orang kenal adalah Magenta si penyanyi tersohor di televisi. Magenta sebagai manusia? Dia sudah mati sepuluh tahun lalu.”

Suara Magenta mulai terdengar parau. 

“Jasad Magenta itu diawetkan menjadi budak seks laki-laki beristri yang menjanjikanku kehidupan yang lebih baik. Tapi, apa yang terjadi? Aku tersiksa.”

“Malam itu aku datang untuk membunuh semua laki-laki yang merenggut hidupku. Aku ingin hidup sebentar saja sebagai diriku seutuhnya.”

“Aku ingin sekali memotong penis mereka, senjata mereka itu, dan menggorengnya, lalu kujejalkan pada mulut mereka. Aku ingin menciptakan neraka untuk mereka, karena tampaknya Tuhan tidak begitu peduli padaku.”

Jingga tiba-tiba berdiri dan mengulurkan tangannya ke arah Magenta yang sedang gemetaran. 

“Ayo, kita bicara di balkon saja. Aku ingin menunjukkan sesuatu padamu,” ajak Jingga. 

Magenta menerima uluran tangan Jingga. Mereka pun duduk di balkon yang hanya cukup untuk duduk dua orang. Dari balkon, mereka bisa melihat pemandangan kota yang sepi. Mungkin jika bangunan motel itu dibangun lebih tinggi, mereka bisa melihat keramaian kota di sudut yang lain. 

“Kau memilih tempat yang sempurna untuk mati,” ujar Jingga sambil tersenyum. “Sepi, dingin, dan tidak diingat,” sambungnya. 

Magenta menoleh. “Kau benar. Tempat ini sempurna untukku menghilang. Karena aku membayarmu lebih, kau harus membakarku di tungku perapian itu,” kata Magenta, terkekeh. 

Jingga tersenyum. “Orang yang ingin mati seharusnya tidak bercanda,” katanya, diikuti tawa kecil. 

“Aku ingin diriku jadi asap dan melangit secara perlahan. Atau, mungkin aku akan hilang dimakan angin. Apapun itu, aku ingin tiada.”

“Menurutmu—siapa namamu? Jingga?” tanya Magenta. 

“Ya, bagaimana kau tahu namaku. Apa aku memberitahumu tadi?”

“Bosmu yang memberitahuku. Mungkin dia juga tidak sadar menyebut namamu.”

“Oh, ya, kau mau tanya apa tadi? ‘Menurutku?’ ?” 

“Ah, ya.” Magenta melanjutkan, “Menurutmu, apakah aku benar-benar bisa menghilang?”

Jingga melihat ke langit, berpikir. “Kalau aku memotong tubuhmu menjadi beberapa bagian setelah kau mati, lalu membakarmu, dan kau jadi asap, tubuhmu akan menghilang sepenuhnya. Tapi, aku tidak yakin soal kenangan.”

“Kenangan?” tanya Magenta. 

“Ya, kenangan. Aku tidak yakin kenanganmu ikut lenyap. Kau juga sangat mungkin berubah menjadi hantu gentayangan, walau sebenarnya aku tidak percaya hal begitu.”

Magenta tertawa. “Aku tidak berharap itu terjadi kecuali jika dengan menjadi hantu aku bisa membalaskan dendamku sepenuhnya. Aku baru membunuh satu orang dari banyak laki-laki hidung belang itu!”

Jingga hanya tersenyum sambil menatap Magenta lekat. Magenta yang sedang tertawa, tiba-tiba berhenti. 

“Kenapa kau menatapku begitu?”

“Kau terlihat optimis sekarang,” jawab Jingga. 

“Benarkah? Apa aku harus mempertahankan hidup yang baru kurebut ini?”

“Tergantung.”

“… “

“Tergantung seberapa besar harapan hidup itu ada setelah semua yang terjadi padamu,” jelas Jingga. 

“Lagi pula,” terangnya lagi, “Aku tidak yakin kita hidup di dunia nyata, dan bahwa kita benar-benar ada.”

Magenta memalingkan wajahnya ke arah jalan. Air wajahnya berubah muram. 

“Kau tahu apa yang membuatku sangat ingin menghilang?” tanyanya. 

“Karena aku tidak yakin aku ada. Karena aku tidak yakin ada orang yang akan mengingatku sebagai Magenta si manusia. Jika aku menghilang sekarang, setidaknya aku pernah sebentar saja menjadi diriku seutuhnya.”

Tangis Magenta kembali luruh. 

“Itu tidak mungkin,” kata Jingga. “Ada orang yang akan mengingatmu, Magenta.”

Magenta menatap Jingga dengan mata yang basah. 

“Aku. Aku orangnya. Lihat, akulah orang yang berbicara pada Magenta si manusia. Aku akan mengenangmu sebagai dirimu yang ini.”

Bibir Magenta bergetar, berusaha menahan tangis yang semakin deras. 

“Kau boleh memelukku kalau kau mau, dan—butuh,” ucap Jingga. 

Magenta pun menyandarkan kepalanya di pundak dan mengalungkan kedua tangannya di tubuh Jingga. 

“Menangislah semaumu, sebelum kau menghilang.”

“Fajar akan segera tiba, dan di sisa waktu ini, biarkan aku memelukmu seperti ini.”

Magenta mempererat pelukan itu. 

Jingga mengusap rambut Magenta perlahan, sambil melihat ke ujung pandang, dan menyadari bahwa dia sudah keluar dari peran. Jantungnya berdetak lebih cepat dari sebelumnya. 

Ada rasa yang tumbuh, tapi dia tak yakin apa. 

“Kau janji akan mengingatku?” tanya Magenta. 

“Janji.”

*****

*Berdasarkan karakter cerpen “Takdir Warna” yang sudah tayang di Omong-Omong Media 

Editor: Moch Aldy MA

Rizal Nurhadiansyah
Rizal Nurhadiansyah I write words for a living. Sometimes they even make sense.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email