I write words for a living. Sometimes they even make sense.

Takdir Warna

Rizal Nurhadiansyah

9 min read

Biru

Aku berada di tengah kerumunan yang tidak kuinginkan. Bersama diriku yang sunyi, aku berjalan menyelinap ke sela-sela kerumunan, mencoba mencari jalan keluar. Sekilas aku melihat paramedis sedang mengangkat seorang lelaki penuh darah dengan tandu berwarna jingga. Meski hanya sekilas, aku yakin lelaki penuh darah di atas tandu itu melihatku. Dia menoleh kepadaku, yang sedang berusaha menyingkirkan bahu orang-orang. Meski hanya sekilas, aku yakin dia ingin mengatakan sesuatu kepadaku. Aku yakin. Sorot matanya mirip dengan milik adik perempuanku saat dia sekarat dulu.

Tubuhku terdorong keluar kerumunan. Aku langsung menghadap sebuah gang kecil yang panjang. Aku melirik jam tangan, seharusnya aku sudah menatap langit-langit kamar. Baru kali ini, karena kecelakaan yang menimpa laki-laki tadi, malamku jadi berantakan.

Aku selalu keluar rumah di malam hari. Bukan untuk bekerja atau menemui teman. Aku akan pergi ke kedai kopi langganan, memesan espresso, dan berdiam sampai kedai ditutup. Setelah itu, aku akan duduk di bangku yang tersedia di taman kota dan melamun. Terkadang, aku mengobrol… dengan diriku sendiri, membicarakan betapa anehnya orang lain. Barulah setelah itu aku pulang dan merebahkan diri di kasur.

Aku tidak punya teman selain kota yang kutinggali sejak kecil. Aku tidak ingin mendramatisasi keadaan. Namun beginilah yang kualami. Teman terakhirku adalah adik perempuanku yang meninggal dibunuh ayahku sendiri sepuluh tahun lalu. Sebelumnya, ibuku mati karena menggantung dirinya di kamar. Ayahku, dia tertidur di kursinya dengan mulut berbusa setelah meminum teh kesukaannya dan tidak pernah bangun lagi sampai sekarang. Aku meninggalkan rumah itu dan tidak lagi punya teman.

Aku berbelok ke gang kecil yang tak pernah kujejaki sebelumnya. Mengejutkan. Aku justru menemukan tanda-tanda kehidupan di tempat yang seharusnya sunyi. Musik, aku mendengar musik di ujung gang. Jenis musik yang tak pernah kutemui kecuali pada beberapa skena film yang berlatar di klub malam. Entah apa yang kakiku pikirkan, dia memaksaku menghampiri sumber suara itu. Di usiaku yang sudah dua puluh lima, seharusnya kakiku paham bahwa aku tidak pernah bisa pergi ke tempat dengan banyak suara.

Kakiku berhenti ketika seorang laki-laki jangkung di bawah papan bertuliskan “Bukan Klub Malam” menempelkan telapak tangan kanannya di dadaku.

“Kata sandi,” katanya, yang sungguh tak bisa kumengerti walau sudah berpikir keras.

“Oh, kau pesanan Nona Merah?”

Laki-laki jangkung itu menarik kembali tangannya dan mengulas senyum ramah di bibirnya.

“Nona Merah ada di dalam, dia sudah menunggumu cukup lama.”

Aku mengernyit. Aku tidak tahu siapa Nona Merah dan kenapa aku adalah “pesanan”-nya? Belum sempat menyela, laki-laki jangkung itu merangkulku dan membawaku masuk ke dalam. Kakiku sempat menahan langkah, tetapi laki-laki jangkung terlalu kuat untukku. Kami melewati lorong kecil sepanjang kira-kira dua puluh meter, lalu laki-laki jangkung menyibakkan tirai yang menutupi sebuah ruangan.

“Nona Merah…” Laki-laki jangkung menyapa seseorang yang tidak bisa kulihat sosoknya.

“Dengar, aku…”

“Ah, Nona Merah. Ini pria yang kaupesan,” sergah laki-laki jangkung.

Seorang perempuan bergaun merah mencolok, dan tampaknya jauh lebih tua dariku, muncul dari belakang kami. Dia memandangiku dengan tatapan yang tidak pernah kulihat muncul dari mata seorang perempuan. Dia tiba-tiba menyentuh dadaku dengan telunjuknya, dari atas ke bawah. Aku refleks menjauh. Dia tersenyum.

“Kau pasti anak baru, ya?” tanyanya.

“Kau boleh pergi sekarang,” ujar Nona Merah kepada laki-laki jangkung.

Laki-laki jangkung menghilang di balik tirai. Kini, hanya ada aku dan Nona Merah yang membuat aku semakin bingung.

“Nona Merah? Dengar, sepertinya ada kesalahpahaman. Aku bukan pesananmu.” Aku berusaha mengatur napasku yang memburu. Tentu saja, aku tidak pernah berbicara kepada orang asing sepanjang ini.

Dia menyudutkan kedua alisnya. Sepasang matanya mengendur, tidak lagi tajam. Dia terlihat seperti perempuan yang kecewa, seperti yang kulihat di film. Dia mengembuskan napasnya, lalu menjatuhkan dirinya ke sofa yang ada di ruangan itu. Dia menunduk sejenak, lalu menatapku.

“Apa sebaiknya aku pergi dari sini? Sepertinya kau kecewa?”

Dia menyilangkan kakinya, menggigit bibirnya sendiri, dan aku tidak tahu kenapa seorang perempuan membuat ekspresi semacam itu.

“Karena kau meminta saranku, aku sarankan kau tetap di sini menemaniku,” katanya.

Aku menyadari, dia memiliki suara yang lembut tapi tegas. Caranya melontarkan kalimat berbeda dari semua perempuan yang pernah ada dalam hidupku. Ibuku selalu berhati-hati dalam berbicara, dan saat waktunya bicara tiba, suaranya kecil. Bahkan ketika bertengkar dengan ayah, suara ibu tidak pernah terdengar sekali pun. Berbeda dengan adik perempuanku, dia selalu berbicara setiap kali ada kesempatan, meski tidak pernah benar-benar ada yang mendengarkan. Aku baru tahu ada perempuan yang suaranya seperti (wajib) didengarkan.

“Tapi…”

“Kau harus menghargai saranku. Kenapa? Karena kau butuh. Jangan bertanya kalau kau tahu harus berbuat apa.”

Lagi-lagi, aku tidak punya pilihan selain mendengarkannya. Untuk beberapa alasan yang sulit kusebutkan, dia membuatku mendengarkan.

“Maaf, tapi aku harus pergi.” Aku memaksakan diri.

Air wajahnya berubah menjadi suram. “Baiklah,” katanya, pelan.

Aku membalikkan badan. Kaki kiriku sudah melewati batas tirai, tapi aku tertahan. Nona Merah memelukku dari belakang. Situasi yang asing bagiku. Aku tidak tahu harus apa saat perempuan memelukku. Kupikir, aku akan merasakan apa yang karakter utama dalam film rasakan saat berpelukan. Sejurus kemudian aku menyadari bahwa aku tidak pernah tahu apa yang sebenarnya mereka rasakan. Ini sama sekali asing bagiku.

Pelukannya makin erat meski aku berusaha melepaskannya. Pelukannya terasa berkebalikan dengan pelukan ibuku. Ibuku punya pelukan yang hangat dan menenangkan. Nona Merah, perempuan ini punya pelukan yang dingin dan… menyesakkan. Apakah wajar manusia punya pelukan sedingin ini?

“Jangan pergi, kumohon.” Hanya itu yang keluar dari mulutnya.

Ada dorongan yang asing dalam diriku yang membuatku tidak pergi dari sana. Kini aku merasa Nona Merah mirip denganku. Matanya, entah bagaimana cara menjelaskannya, mirip dengan milikku. Matanya memantulkan kesunyian yang bisa kudengar. Dia perempuan yang kesepian.

Dia memelukku lebih erat. Aku membiarkannya.

***

Nona Merah

Suamiku baru saja pergi. Sudah lima tahun sejak dia pergi untuk perjalanan bisnis ke luar kota. Kali ini, aku tak tahu ke mana dia akan pergi. Tanpa koper, tanpa setelan jas, dan dia tidak memintaku menyemir sepatunya hingga mengilap seperti setiap dia akan pergi. Jujur, aku senang dia pergi tanpa alasan begini. Sudah saatnya dia pergi. Aku akan jadi burung yang bebas.

“Kau benar-benar tidak akan memberitahuku tempat tujuanmu?”

“Untuk pertama kalinya, aku akan merahasiakan tempat tujuanku.”

Sepuluh tahun sudah kami menikah, baru kali ini dia merahasiakan sesuatu. Dia adalah lelaki yang jujur, meski bukan lelaki yang baik. Sejak kami menikah, aku resmi menjadi burung dalam sangkarnya. Aku tidak pernah sekalipun keluar dari rumah meski sekadar membuang tumpukan sampah. Dia bilang tidak keluar rumah adalah wujud cintaku kepadanya. Sayang sekali, di minggu kedua menikah, aku sudah tidak mencintainya.

“Aku akan segera kembali,” katanya, lalu mengecup keningku.

Aku hanya mengulum senyum sambil menyulut bom di dalam kepalaku. Dia pergi. Bom di kepalaku meledak. Aku berteriak dalam benak.

Dia selalu mengunci pintu dan tidak pernah membiarkanku membukanya. Aku sudah mencoba segala cara untuk membuka pintu rumah dan kabur ke tempat yang jauh.

Suara mesin mobil samar-samar terdengar. Aku melongok ke luar lewat jendela berterali besi. Mobil tua berwarna kelabu melaju ke jalanan. Dia sudah pergi. Aku bergegas ke gudang. Selama lima tahun terakhir, setelah berkali-kali gagal kabur dari rumah, aku membuat sebuah rencana besar. Bagaimanapun, aku harus keluar dari neraka ini.

Aku menarik sebuah kotak kayu berisi perkakas keluar dari gudang. Aku mengambil gulungan tambang yang cukup panjang dan kabel yang tebal. Aku membuat simpul gantung dari tambang itu. Kira-kira tiga kali aku pernah membuat simpul gantung untuk mengait leherku, tetapi dia menggagalkannya — dan semua usaha bunuh diriku yang lainnya.

Aku mengambil tiga buah besi panjang dari bekas dipan yang kubuat seperti tombak. Aku memasangnya di depan pintu tersambung dengan tambang dan kabel. Jika pintu kamar ditarik dari luar, tombak akan menghunus siapapun yang ada di depannya. Tambang yang kubuat simpul gantung hanya cadangan kalau rencana tombak gagal. Jika tambang itu diinjak, kakinya akan terjerat dan tergantung. Setelah itu, ini yang sedang kusiapkan: api. Aku akan membuat ledakan!

Aku sudah menyiapkan tabung gas yang kuganti katupnya. Aku juga, berdasarkan hasil pencarianku di internet, membuat pemantik api dari kompor bekas yang diganti kenopnya sehingga lebih mudah tersulut api. Kukaitkan semua itu dengan satu tambang. Aku harap dia mati saat kembali. Sebab jika dia beruntung, aku yang akan mati.

Ponselku berdering. Panggilan dari Nila, teman daringku.

“Merah, aku sudah kirim pesananmu ke alamat yang kusebutkan waktu itu. Dia masih muda dan gagah, kau akan suka.”

Nila tertawa di ujung telepon.

“Aku tidak peduli, yang penting laki-laki itu bukan suamiku.”

Aku menanggalkan pakaianku yang tidak berwarna, satu persatu. Tubuhku yang penuh dengan warna merah akhirnya akan mengenakan pakaian baru. Aku meraih sebuah gaun berwarna merah terang dari lemariku. Gaun yang memang kurencanakan sebagai gaun kebebasanku. Aku melihat diriku di depan cermin. Aku memulas bibirku dengan gincu merah. Aku tertawa. Entah kenapa, aku ingin terbahak-bahak malam ini.

***

Jingga

Hari liburku sudah usai. Malam ini aku mulai bekerja lagi. Sudah dua tahun aku bekerja di bidang ini. Pekerjaan yang sebelumnya sangat kubenci. Namun, kini aku merasa nyaman. Sebagian orang mungkin mengira aku adalah gigolo yang dibayar untuk memuaskan nafsu pelanggan — yang kebanyakan perempuan tua dan kaya. Padahal pekerjaanku adalah pekerjaan yang sama dengan para aktor di film-film, memerankan karakter tertentu.

Aku pernah berperan sebagai anak selama semalam untuk menemani seorang perempuan yang ditinggal anaknya. Aku juga pernah menjadi ayah bagi anak seorang perempuan yang lahir tanpa ayah. Klien terakhirku adalah seorang anggota dewan homoseksual, dia ingin menyewaku untuk menjadi pacarnya selama sepekan. Klienku malam ini kabarnya adalah perempuan kaya yang terpenjara di rumahnya sendiri selama sepuluh tahun. Dia ingin aku menjadi diriku sendiri. Aku setuju menangani klien ini karena selama ini aku tidak pernah menjadi diri sendiri.

“Bagaimana liburanmu?” tanya Nila sambil menyulut ujung batang rokok.

Aku menyenderkan tubuhku ke sofa di depan Nila. “Lumayan.”

“Siapa sebenarnya perempuan yang memesanku? Dia temanmu?”

Nila mengepulkan asap dari mulutnya. Dia berjalan ke arahku, lalu ikut duduk di sofa. Dia tidak melihatku saat berbicara.

“Ya, secara praktis dia temanku. Kami berteman di forum daring. Perempuan itu… adalah yang tergila yang pernah kutahu.”

Nila selalu melihat asap yang mengudara setiap kali dia merokok. Dia percaya dosanya ikut bersama asap itu.

“Bersiaplah. Aku akan menelepon dia sebentar lagi.”

“Apa yang harus kupersiapkan? Bukankah aku harus menjadi diriku sendiri?”

“Mengapa bertanya? Bukankah kau seharusnya sudah tahu dirimu seperti apa?”

Aku terdiam. Entah kenapa, tiba-tiba aku lupa, orang seperti apa sebenarnya aku ini. Pertanyaan Nila membuatku mengingat masa-masa sebelum aku bekerja untuknya. Pernahkah aku menjadi diri sendiri sebelumnya?

Setelah kuingat-ingat, aku merasa semakin asing. Aku tumbuh bersama Nila sebagai kakakku di panti asuhan. Aku tidak ingat pernah lahir dari seorang perempuan yang biasa disebut ibu. Tidak ada yang pernah menjadi orangtuaku selain para pengasuh yang membagi hidup mereka untuk banyak anak di panti asuhan. Kalau ada satu orang yang layak kusebut keluarga, orang itu adalah Nila. Bahkan hal pertama yang bisa mengenalkanku kepada diriku tidak pernah benar-benar ada.

“Kau benar, aku harus bersiap.”

“Kalau kau tidak tahu cara menjadi diri sendiri, berpura-puralah. Toh, orang lain tidak akan tahu kau sebenarnya seperti apa.”

Nila ada benarnya. Tapi…

“Bukankah itu membuatku tidak profesional?”

“Persetan dengan profesionalisme,” kata Nila sambil menatapku tajam, “memangnya kau tahu apa soal profesionalisme? Profesionalisme yang membuat manusia tidak mengenal dirinya sendiri,” tandasnya.

“Tapi…”

“Aku akan menelepon klien. Bersiaplah!” sergah Nila.

Nila menelepon klien dan menyuruhku pergi ke alamat yang dia kirim ke surelku. “Bukan Klub Malam”, nama tempat yang norak.

Taksi mengantarku ke sebuah blok yang asing bagiku. Aku tidak pernah ke tempat ini sebelumnya. Tempat ini cukup ramai. Cahaya neon muncul di hampir setiap bangunan. Orang-orang di sini pasti sering menonton film-film “neon-noir”.

Perutku tiba-tiba bergemuruh. Saat perutku bergemuruh seperti itu, artinya dia minta roti lapis tebal dan soda. Aku mampir ke sebuah tenda yang menjual makanan cepat saji seperti roti lapis dan kentang goreng. Seorang laki-laki seusiaku menyapa. “Selamat datang,” ujarnya sambil tersenyum. Dia pasti pandai berakting. Aku tahu itu. Dia seharusnya sedang menangis malam ini. Aku tak sengaja melihat sebuah pesan timbul di ponselnya. Dia baru saja dicampakkan seseorang. Tapi semoga aku salah baca.

“Roti lapis dan soda,” pesanku.

Laki-laki tadi dengan gesit memanggang dua belah roti dan membuat telur dadar. Di sampingnya, ada lelaki yang tampak dua kali lipat lebih tua darinya sedang membungkus roti lapis untuk pelanggan lain.

Tidak butuh waktu lama, aku menerima pesananku. Sebelum sempat beranjak dari situ, aku melihat raut wajah si penjual roti lapis mengerut. Kurasa tebakanku benar. Aku tidak pernah tahan melihat orang dicampakkan. Aku meraih saputangan dari jaketku, sapu tangan pemberian Nila sebagai kado ulang tahun kesekianku. Nila membual tentang saputangan keberuntungan. Sampai saat ini, saputangan itu hanya bisa membantuku mengelap keringat dan ingus. Sesekali kupakai untuk mengelap dubur saat tak ada tisu atau air.

“Kau membutuhkan ini.”

Laki-laki itu termenung sejenak. Perlahan, aku melihat matanya berbinar. Aku tahu sebentar lagi hujan akan turun deras dari sana.

Dia menerima saputanganku dan membungkuk berterima kasih. Aku tersenyum, membayar makananku, dan pergi.

Aku tahu Nila mungkin akan mengomeliku karena memberikan saputangan itu kepada orang asing. Tapi aku tidak akan menyesali itu. Lagi pula, aku bisa mencari alasan seperti “saputangan itu tidak pernah sekalipun menolongku”.

Aku menyeberang jalan sambil mengunyah roti lapis. Kemudian, dalam waktu yang sangat singkat, aku seperti melayang. Sebuah mobil berwarna kelabu menabrakku. Aku melihat mobil itu terus melaju dan orang-orang mengejar keparat itu. Roti lapisku tercecer di atas aspal, juga diriku. Orang-orang berlari ke arahku. Mereka memindahkanku dari jalan.

Aku merasakan nyeri di sekujur tubuhku. Pendengaran dan penglihatanku mulai kabur. Anehnya, aku tersenyum. Aku yakin aku sedang tersenyum. Aku samar-samar mendengar orang menanyakan identitasku. Kalau aku tidak sekarat, ingin sekali kujawab kebingungan mereka: aku juga tidak tahu siapa aku.

***

Apa warnamu?

“Aku Merah,” ucapnya, setelah kami saling diam selama hampir dua jam.

“A-aku Biru.”

“Kenapa kau selalu tergagap saat bicara denganku?”

Aku juga tidak tahu. Semua orang membuatku tergagap saat bicara. Itu kenapa aku tidak pernah bersuara di depan mereka. Jika ada kondisi yang mengharuskanku bersuara, maka aku harus bicara secepat mungkin. Kadang, orang tidak mengerti dengan apa yang aku bicarakan. Kadang, aku juga tidak mengerti apa yang aku bicarakan.

“Kau tidak perlu menjawabnya,” katanya.

Dia mendekatkan diri ke sampingku. “Aku menyewa seorang lelaki untuk menemaniku malam ini, tapi seperti yang kau tahu, dia tidak datang.”

Dia menatapku, aku tidak balik menatapnya. Aku melihat ke bawah.

“Aku benar-benar membutuhkan seseorang malam ini… untuk merayakan kebebasanku. Dan orang itu harus laki-laki. Entah kenapa, aku ingin orang itu kau.”

“Apa artinya itu?”

“Aku pun tak tahu. Mungkin ini takdir.”

“Takdir?”

“Ya, takdir. Omong kosong yang sering kali benar.”

Aku jadi teringat semua hal yang terjadi pada keluargaku. Mungkinkah semua itu takdir?

“Kau tidak perlu berbicara apapun malam ini. Aku hanya membutuhkan telingamu.”

Aku mengangguk pelan, tidak yakin harus merespons bagaimana.

“Aku menikah sepuluh tahun lalu. Suamiku pengusaha sukses tapi gila.”

Aku tertarik dengan kata “gila” di situ. Aku sendiri tidak pernah tahu orang gila itu seperti apa.

“Aku mencintainya karena dia sangat manis dan perhatian sampai hari keempat pernikahan aku melihat warnanya yang sebenarnya.”

“Warna?”

“Dia kelabu. Warna itu tidak pernah bisa jelas kulihat, tapi yang pasti sejak itu dia menjadi laki-laki paling gila yang pernah kutemui.” Suaranya terdengar parau kali ini.

“Dia selalu mengatakan bahwa dia sangat menyayangiku. Tapi, kau tahu, dia mengurungku. Setiap kali aku berusaha keluar dari kurungan itu, dia berubah menjadi monster.”

Nona Merah tiba-tiba melucuti pakaiannya sendiri hingga tersisa pakaian dalam. Aku terkejut melihat tubuhnya yang penuh dengan memar merah dan ungu.

“Lihat,” katanya.

“Tapi hari ini aku bebas.”

Dia tersenyum, tapi entah kenapa tampak pilu.

“Ceritakan dirimu kalau kau mau.”

Aku mengusap tengkuk. Lagi-lagi aku bingung harus apa. Tidak pernah ada orang yang memintaku bercerita selain ibuku.

“Aku tidak tahu harus menceritakan apa kepadamu,” ujarku.

Dia mengangguk-angguk. “Itu tidak masalah.”

“Aku kesepian,” tiba-tiba aku bicara. Entah kenapa, Nona Merah selalu berhasil membuatku buka mulut.

“Aku kesepian setiap waktu. Hidupku sunyi sudah sejak lama.” Aku melanjutkan.

Dia menatapku cukup lama. Itu membuatku merasa semakin canggung. Dia tiba-tiba memelukku. “Kalau begitu, tetaplah sunyi. Biar aku yang menjadi suaramu.”

Kali ini, pelukan Nona Merah terasa hangat. Dia tidak lagi dingin. Dan aku, sudah sejak lama sekali, mulai menangis lagi.

***

“Sebuah mayat ditemukan hangus oleh seorang petugas kebersihan komplek. Diduga mayat tersebut merupakan korban pembunuhan terencana. Kepolisian memastikan satu tersangka yang tidak lain adalah istri korban…” Suara pembaca berita televisi menggema ke seisi kamar sewa pagi itu.

“Biru, kau mau hidup denganku di tempat yang jauh dari manusia?”

***

 

Rizal Nurhadiansyah
Rizal Nurhadiansyah I write words for a living. Sometimes they even make sense.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email