Telah Lewat dan Menjauh dan Puisi Lainnya

Dimas Anggada

1 min read

Januari

di tempat buku-buku mencerap segala kebisingan
kita terpisah pada meja yang sama

kau, terpaku pada laptop:
“aku akan selesaikan pekerjaanku,
dan setelahnya hanya perkara waktu.”

sedangkan aku, bertengger setelah
menarik puisi dari rak usang, duduk
dengan diam, dan mendalami
isyarat matanya

tercetak tato batik pada lengannya,
kubayangkan itu motif Parang, tetapi
bukan itu yang diucapnya

kemudian wajahnya menoleh,
udara pun kedap,
perasaan menembus mimpi,
dan percakapan jadi dengung belaka

di luar, terang hari masih tersisa
dan sehampar taman yang riang
jadi tempat kita akan berbicara
dengan kaki yang melayang

dan
ucapan hadir,
menolak jadi sekadar kata-kata
menolak jadi rangkaian tak bermakna

hingga akhirnya:
“aku jatuh padamu sepenuhnya,
dan cinta ini cuma menyisakan ranting-ranting rangka.”

Pigura

aku perlu pigura untuk meletakkan cintaku
dan akan kutulis namamu dan juga cerita yang dulu
juga tanggal, hari, dan tempat hati ini pernah bertemu
segalanya, dalam catatanku, saat kau belum beku

dan akan kuletakkan wajahmu di dalam ruang ini
di dalam jantung yang mungkin akan gugur sebentar lagi

Surat buat —

setelah mengenalmu, cerita
jadi remah yang jatuh, dan segala
percakapan hanya terka-terka belaka.

dan sisa-sisa dari pertemuan dulu, melepas
hingga seluruhnya hatiku yang mengeras,
dalam bentuk perca-perca kertas.

Telah Lewat dan Menjauh

semuanya telah lewat dan menjauh. tak ada lagi cuaca
yang kering dan semuanya selesai saat malam-malam
kita saling menegaskan apa yang terjadi. dan apa yang
tersisa mungkin cuma gerutu, “dulu, kita senang bicara
pada hal-hal yang kita sukai.”

aku selalu membayangkan rambutmu yang bergoyang pelan
seperti daun-daun berdesir menerpa angin, di atas motor,
di jalan yang kita lalui, di keramaian, pada kemacetan. dan
saat itu, suaramu, ada suaramu satu-satunya suara yang kudengar
dalam kebisingan kota: suaramu yang merupa tawa bayi kecil
ketika mendengar lagu sebelum tidur.

kota pun makin menyusut, dan aku takut kau juga akan susut
di dalamnya. cara kita memandang mungkin sama, mungkin
juga berbeda. namun yang pasti, banyak mimpi-mimpi jadi
jatuh, ambruk sepenuhnya, ketika tak ada lagi yang bisa
digapai.

aku masih di sini, berdiam di bujur kota ini, sedangkan kau
telah jauh tak terjangkau.

Menunggu

aku sedang menunggu kabar di sini
di pekarangan belakang ini
suratmu mungkin akan sampai nanti
ketika arah pandang jadi segenggam kelam
dan cahaya tiada warna menjelang malam

di bawah genangan langit
suratmu mungkin masih mengapit
terbenam di dasar timbunan tas tukang pos
yang sedang berlari-lari di bawah bulan sabit

apapun yang tertulis nantinya
aku sudah siap untuk melepas seluruh asa
dan, apapun kabar yang akan menerpa
aku sudah siap untuk merindu selamanya

(2023)

*****

Editor: Moch Aldy MA

Dimas Anggada

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email