Nama Raden Saleh booming di pencarian linimasa netizen Indonesia setelah film Mencuri Raden Saleh (MRS) naik ke layar lebar. Film yang disutradarai oleh Angga Dwimas Sasongko itu mengangkat perspektif sejarah lukisan Raden Saleh yang fenomenal.
Sebagai penikmat, saya akui alur film MRS berhasil memikat perhatian penonton dari awal hingga akhir dengan beberapa plot twist yang rapi. Namun, melampaui alur beserta twist-nya, poin yang membuat film ini menarik untuk ditonton adalah adanya usaha sineas untuk menghadirkan makna lukisan Raden Saleh yang dikemas dalam balutan action. Melalui film ini, penonton awam seakan diajak berkenalan dengan lukisan sang maestro.
Mengenal Raden Saleh
Pelukis ternama Indonesia tersebut bernama lengkap Raden Saleh Syarif Bustaman. Sebagai keturunan Arab-Jawa yang besar di lingkungan ningrat, Raden Saleh dapat dengan mudah mengembangkan bakat seninya hingga berkesempatan belajar seni ke Eropa. Meskipun ia bersekolah di Eropa, Raden Saleh tetaplah seorang nasionalis yang mencintai Indonesia seutuhnya bila ditinjau dari pemikiran-pemikirannya.
Tahun 1830, Pangeran Diponegoro berhasil ditangkap oleh Belanda melalui sebuah siasat licik. Belanda yang sudah kewalahan menghadapi perlawanan gerilya pasukan Diponegoro lantas mengundang beliau ke Magelang untuk merundingkan kemungkinan gencatan senjata. Namun, yang terjadi justru Belanda menangkap Pangeran Diponegoro. Penangkapan Pangeran Diponegoro sekaligus menandai berakhirnya bertahun-tahun Perang Diponegoro di tanah Jawa. Peristiwa ini didokumentasikan oleh pelukis Belanda bernama Nicholas Pieneman dalam lukisan berjudul Penyerahan Pangeran Diponegoro.
Saat peristiwa itu terjadi, Raden Saleh masih belajar di Eropa. Saat kembali, ia melihat lukisan Nicholas dan merasa tidak sepakat dengan penggambaran Nicholas tentang peristiwa itu. Menurut Raden Saleh, gambaran pelukis Belanda tersebut mengesankan superioritas penjajah ketika berhadapan dengan Pangeran Diponegoro yang digambarkan inferior dan pasrah ditangkap begitu saja.
Tidak terima dengan penggambaran Pangeran Diponegoro versi Nicholas, Raden Saleh pun membuat versi lain lukisan peristiwa sejarah tersebut dengan penggambaran yang jauh berbeda. Dalam lukisan tersebut, Raden Saleh menghadirkan sosok Pangeran Diponegoro yang kuat dan tangguh saat berhadapan dengan penjajah. Uniknya pula, judul lukisan Raden Saleh secara tegas menyebut Penangkapan Diponegoro.
Perbedaan lain yang menonjol adalah penghapusan bendera Belanda dalam lukisan Raden Saleh yang justru ditampilkan citranya dengan lugas dalam lukisan Nicholas. Lantas, apa yang bisa dimaknai dari dua sudut pandang yang berbeda terhadap satu kisah yang sama ini? Dari situ, kita dapat belajar soal keberpihakan seniman dalam mengekspresikan karyanya.
Nicholas, sebagai orang Belanda, lebih tertarik meninggikan citra negaranya. Diksi yang digunakan dalam judulnya pun sangat ramah penjajah, Penyerahan Pangeran Diponegoro; seolah Pangeran Diponegoro dengan ikhlas menyerahkan dirinya kepada pihak Belanda tanpa perlawanan. Belakangan, kita pun merasakan sendiri kekuatan penggunaan diksi dalam judul, misalnya antara “oknum” kekerasan dan “pelaku” kekerasan. Dua kata tersebut jelas mempunyai dimensi makna yang berbeda sehingga penggunaan masing-masing kata akan menghasilkan interpretasi yang jauh berbeda pula dalam benak audiens.
Raden Saleh, didorong oleh semangat anti kolonialisme dan kecintaannya pada bangsa Indonesia yang kala itu terjajah, berusaha membuat karyanya berdaya lawan. Ia menghidupkan sosok Diponegoro dalam lukisannya untuk menciutkan nyali para kompeni. Tak dapat dimungkiri, lukisan Raden Saleh menjadi simbol perlawanan. Di sinilah pentingnya menghadirkan perspektif, sudut pandang, atau point of view dalam sebuah karya.
Mewartakan “Raden Saleh”
Dialektika karya lukisan tersebut mengingatkan kita tentang sifat media atau penyebar berita yang mustahil bisa netral. Jujur saja, saya skeptis terhadap klaim media yang mengatakan bahwa mereka netral dan tidak berpihak.
Tidak ada media yang netral. Sebab, ketika menyampaikan sebuah pesan, media sudah memberikan perspektifnya. Untuk itu, yang penting adalah independensi media, bukan netralitas media. Artinya, media tidak disetir oleh pihak-pihak tertentu. Lukisan Nicholas adalah contoh bagaimana media (visual) menjadi penyambung lidah—atau disetir oleh—para penindas penduduk Nusantara.
Dalam hal keberpihakan ini, kita akan lebih sepakat dengan Raden Saleh yang menyuarakan aspirasi orang-orang tertindas. Nah, semestinya beginilah peran media, atau dalam artian lebih luas, konten kreator di berbagai platform dalam menyebarkan ide. Orang-orang yang punya keahlian berkarya dan panggung sudah seharusnya mengambil jalan yang dipilih oleh Raden Saleh, yakni jalan yang berpihak pada kepentingan orang-orang yang terpinggirkan.
Saya rasa, setiap manusia akan sepakat menolak untuk dijajah. Penjajahan merenggut kebebasan yang menjadi hak dasar manusia. Sebab, menurut Buya Syafi’i, pada hakikatnya, penjajahan itu identik dengan pengisapan, penindasan, dan diskriminasi oleh yang berkuasa terhadap yang dikuasai.
Ironisnya, mental penjajah justru diwarisi oleh para korporat dan politisi yang memimpin negeri ini. Kondisi sekarang justru lebih memprihatinkan; orang kita dijajah di negeri sendiri dan oleh sesama orang kita sendiri. Tak cukup sampai sini, mental penjajah juga diwarisi oleh orang-orang biasa dalam bentuk sikap getol mendominasi dan memaksa orang lain yang sama tak berdayanya untuk sepaham dengan dia. Kesemuanya adalah mentalitas bobrok yang seharusnya sudah dihapuskan sejak awal bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya.
Di mana “Raden Saleh” ketika harga BBM naik di tengah kondisi perekonomian masyarakat yang kian sulit? Di mana “Raden Saleh” ketika ada kasus pemaksaan pemakaian jilbab, penyegelan rumah ibadah, pengusiran warga negara hanya karena berbeda identitas dengan kelompok mayoritas, dan seabrek permasalahan negeri lainnya?
Sudahlah, Raden Saleh mungkin lebih enak diromantisasi saja melalui tokoh Piko, seorang pelukis yang andal menduplikat lukisan bersejarah, yang diperankan oleh Iqbaal. Atau, kalau kita mau sedikit lebih optimis, sebenarnya pasti ada saja anak-anak bangsa yang mampu berkarya dalam rangka menciptakan kehidupan yang lebih baik bagi orang-orang di sekitarnya di sudut-sudut kota, di pelosok-pelosok desa, dan di mana saja; tidak harus Raden Saleh, tidak cuma Piko.
Editor: Emma Amelia