Dalam hitungan hari, masa kerja anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) 2019-2024 selesai, dan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) tampaknya belum juga disahkan. Alih-alih membahas RUU PPRT, DPR malah mengesahkan RUU Kementerian Negara dan RUU Dewan Pertimbangan Presiden menjadi undang-undang. Keduanya dianggap sebagai jalan untuk mewadahi berbagai kepentingan politik sebagai bentuk balas jasa. Sebelumnya DPR juga membahas RUU Pemilihan Kepala Daerah (RUU Pilkada) dalam kurun waktu 72 jam, meskipun akhirnya tidak dilanjutkan setelah mendapat respon penolakan yang besar.
Lantas mengapa RUU PPRT ini mendesak?
Ada sekitar 5 juta PRT yang menunggu disahkannya RUU ini, jumlah ini didominasi perempuan. PRT adalah pekerja yang juga membutuhkan payung hukum dan jaminan hak-hak dalam bekerja. Selain rentan mengalami kekerasan dan eksploitasi, PRT juga banyak yang memiliki jam kerja yang panjang, tidak memiliki asuransi kesehatan hingga standar upah yang tidak jelas. Pola kerja demikian tidak lain sebagai bentuk perbudakan modern. Untuk itu, RUU PPRT diharapkan untuk menjadi aturan terperinci bagi PRT. Meski demikian, RUU ini terkatung-katung hingga 20 tahun.
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap perempuan (Komnas Perempuan) mengungkapkan bahwa kekerasan terhadap PRT pada rentang 2018-2023 saja, sebanyak 2.641 kasus. Baru-baru ini, seorang PRT meninggal dunia karena melompat dari atap rumah majikannya di Karawaci saat mencoba kabur. Penyiksaan dan eksploitasi diduga mendorong PRT ini untuk bertindak nekat.
Jika menengok ke beberapa tahun silam, saat gerakan sipil gencar untuk mendorong RUU berperspektif gender, di antaranya RUU PPRT dan RUU PKS (Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual), DPR justru dapat merespon cepat dan mengesahkan RUU lainnya seperti Omnibus Law Cipta Kerja. Padahal RUU PPRT dan RUU PKS sudah mandek lebih dari satu dekade. Tampaknya ada perlakuan berbeda antara RUU Cipta Kerja dan RUU terkait isu perempuan. Peristiwa serupa lalu berulang kembali, saat DPR secara tiba-tiba membahas RUU Pilkada dan mengesahkan RUU lainnya dan mengecualikan RUU PPRT. Namun, kabar baiknya pada periode jabatan DPR 2019-2024, RUU PKS berhasil disahkan menjadi Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).
Bias Kelas dan Keberpihakan Anggota DPR
Adanya regulasi seperti RUU PPRT pada dasarnya bertujuan untuk melindungi pekerja dan pemberi kerja sekaligus. Namun cara pandang yang kental dengan bias kelas dan gender masih mewarnai proses legislasi. Kerja-kerja domestik yang selama ini dilakukan oleh mayoritas perempuan dianggap sebagai pekerjaan yang tidak membutuhkan keahlian khusus dan dianggap tidak sepenting pekerjaan pada sektor formal. Padahal, terdapat banyak keluarga di berbagai lapisan masyarakat yang sangat bergantung dengan keberadaan PRT. Ini berarti PRT berkontribusi bagi perekonomian negara.
Lantas seperti apa anggota DPR yang sebenarnya kita harapkan?
Mari kita lihat dalam dua periode saja, tidak sedikit anggota DPR terafiliasi dinasti politik atau politik kekerabatan. Keterpilihan anggota DPR 2024-2029 yang berasal dari dinasti politik sebanyak 38,4 persen. Sedangkan pada periode sebelumnya 2019-2024, anggota DPR yang berasal dari dinasti politik sebanyak 17,2 persen.
Ini bisa menunjukkan bahwa proses rekrutmen dan kaderisasi di partai politik kurang ideal, sehingga berpotensi menghadirkan kader yang tidak ideologis dan memahami visi partai politik dengan baik. Belum lagi jika rekrutmen tersebut dilakukan secara tertutup dan elitis, dengan demikian citranya bisa jauh dari politik gagasan. Kaderisasi adalah salah satu jalan agar kader partai yang terpilih dapat ideologis untuk menjalankan prinsip partai politik. Kontestasi politik yang mahal dengan perebutan suara terbanyak mendorong partai politik untuk menggunakan strategi pragmatis dengan menempatkan calon anggota legislatif yang lebih dikenal atau telah memiliki modal sosial dan finansial yang mumpuni. Dalam pencalonan legislatif perempuan, situasinya bisa lebih kompleks, sebab partai politik harus memenuhi amanat konstitusi dengan kouta keterwakilan 30 persen. Demi memenuhi kouta pencalonan, strategi pragmatis tersebut acapkali digunakan oleh partai politik.
Jika caleg yang terafiliasi politik kekerabatan baik laki-laki dan perempuan, memang menempuh kaderisasi tentunya ini bisa diterima. Namun nyatanya, banyak perempuan potensial yang berasal dari akar rumput dan juga perempuan aktivis yang sulit untuk menembus dinding tebal partai. Rekrutmen perempuan dalam kepengurusan parpol dan kandidasi perempuan di pemilu memang tidak didasarkan pada meritokrasi maupun kemitraan dengan jejaring perempuan (Hilman, 2017). Padahal pencalonan perempuan dimaksudkan agar kebijakan yang dihasilkan lebih responsif gender.
Jalan Panjang RUU PPRT
Pada awal tahun 2023, nampak harapan baru bagi RUU PPRT. Saat itu tim pemerintah yang diwakili Gugus Tugas RUU PPRT dari kantor Staf Presiden bersama sejumlah instansi terkait, menyelesaikan pembahasan Daftar Inventaris Masalah (DIM). Pada 23 April 2023, Presiden Joko Widodo bersurat ke DPR untuk meminta dilakukannya pembahasan RUU PPRT bersama kementerian terkait yang telah ditunjuk. DIM yang telah selesai disusun kemudian dikirimkan ke pimpinan DPR, namun lagi-lagi perjalanan RUU PPRT kembali melambat. Di tahun berikutnya tepatnya pada Maret 2024, RUU PPRT menjadi RUU inisiatif DPR. Sesaat, ini seperti babak baru bagi RUU ini. Namun pembahasan RUU PPRT masih jalan di tempat. Ketua Panitia Kerja RUU PPRT, Willy Aditya mengungkapkan bahwa kelanjutan RUU PRT menunggu respon pimpinan DPR untuk memulai pembahasan. Faktanya RUU PPRT justru tersandera di meja Puan Maharani.
Jika RUU PPRT memang tidak disahkan pada periode jabatan DPR 2019-2024, maka harapan itu kini ada pada anggota DPR terpilih 2024-2029 yang sebentar lagi dilantik. Dalam upaya menghasilkan produk legislasi yang berkeadilan dan responsif gender, anggota DPR semestinya bersinergi dengan gerakan sipil di luar dinding parlemen, juga melibatkan aktivis perempuan yang telah lama mengadvokasi hak PRT. Apakah anggota DPR yang baru dilantik nanti akan menunjukkan komitmennya untuk mengesahkan RUU PPRT atau mengulang kepahitan dengan terus menunda saja? (*)