Kadang Main Musik Kadang Tidak

Resistensi Musisi Lawas

Djoko Santoso

2 min read

Talenta muda musisi Indonesia terus bermunculan dari mana pun—ajang pencarian bakat, kanal independen, hingga unggahan cover. Bagi pencinta musik, hal ini menjadi kabar baik karena mereka punya semakin banyak varian menu musik. Namun, hal ini mungkin menjadi kabar buruk bagi para musisi karena lapaknya semakin mengecil dan mulai digusur pedagang musik baru.

Persaingan di industri musik jelas bukan barang baru. Dari generasi ke generasi, musisi kondang datang silih berganti. Namun, kehadiran musisi kondang baru bukan berarti kematian karier musisi kondang lama. Sebut saja, musisi 90-an yang pada masanya bak raja diraja yang menghiasi layar kaca musik Indonesia. Kala itu, MTV Ampuh, sesuai namanya, menjadi acara berita musik yang begitu ampuh dinanti-nanti pemirsa. Beberapa variannya seperti MTV Bujang dan MTV Insomnia juga laris dinanti oleh para remaja yang menunggu musisi idolanya menempati tangga lagu pertama.

Masa-masa itu telah berlalu. Dua hingga tiga dekade kemudian, pasar musik Indonesia berubah drastis. Label mayor yang dulu menjadi satu-satunya supermarket musik tergantikan oleh label indie yang ibaratnya adalah lapak-lapak kecil di pasar musik. Berubahnya model industri menjadikan talenta musik muda memilih untuk menjajakan dagangannya dengan caranya sendiri. Media baru menjadi salah satu pilihan lapak kecil musiknya.

Bagaimana dengan musisi lawas? Apa yang mereka lakukan hari-hari ini? Beberapa di antara mereka masih terus bertahan menjajakan musiknya baik on air maupun off air. Mereka juga beradaptasi dan mencoba peruntungan dengan media baru—perlahan mulai memutus kontrak dengan label mayor dan beralih mazhab ke indie. Apakah masalah mereka selesai? Ternyata belum. Musik yang mereka produksi dan jajakan tak selalu laku di pasar musik modern.

Berapa banyak musisi lawas yang mencoba bangkit lagi dengan membawa lagu baru? Kebanyakan rilisan baru mereka tak terlalu laku. Bahkan, dua lagu baru Dewa 19 pun tak mendapat respons ramai dari pendengar. Di saat yang hampir bersamaan, mereka merekam dan merilis ulang lagu Satu yang sebelumnya vokalnya diisi oleh Once. Secara jumlah stream, lagu ini lebih banyak ditonton di kanal YouTube ketimbang lagu baru Dewa 19. Mengapa bisa seperti itu?

Pendengar musik-musik lama biasanya hanya bisa menerima lagu-lagu “baru” yang hits pada zamannya. Mereka hanya ingin bernostalgia dengan memori saat lagu-lagu lawas itu nge-hits. Mungkin ada memori personal yang melingkupi para pendengar saat itu. Hal demikian tidak terjadi jika mereka mendengar musisi lawas membawakan lagu baru. Para pendengar tak memiliki memori dengan materi lagu itu. Memori mereka telah terisi dengan lagu-lagu baru dari musisi baru yang mungkin menurut mereka lebih relate dengan mereka.

Selain itu, berkembangnya teknologi informasi juga berpengaruh. Walaupun musisi lawas mencoba terus beradaptasi, mereka kalah dengan para musisi muda yang memang lahir dengan masa dan cara ini. Mereka lebih lincah dalam menggunakan teknologi informasi untuk mendistribusikan lagunya. Bahkan, sesama musisi muda pun saling berebut pendengar dengan mengandalkan teknologi ini. Coba, berapa banyak orang yang tahu sebuah lagu dari aplikasi TikTok dan reels instagram?

Masifnya pendistribusian musik dengan jaringan teknologi informasi ternyata memiliki persoalan lain. Konsekuensi logis dari cepatnya mobilitas teknologi informasi yaitu saling melibas—musik baru dengan cepat “mengubur” musik lama. Musik yang datang lebih awal akan cepat dikubur musik yang datang belakangan. Musisi baru dengan lagu baru dengan begitu cepatnya tumbuh. Musik baru seperti tak pernah berhenti menetas dan selalu disusul oleh musik baru lagi. Hal ini juga menjadi jawaban dari pertanyaan mengapa lagu yang begitu trending pada suatu waktu bisa dengan cepat tenggelam.

Tulisan lain oleh Djoko Santoso:

Lantas, bagaimana musisi lawas mempertahankan eksistensinya? Jawaban bijaknya: beradaptasi dengan masa.

Tidak mudah tentunya beradaptasi dengan masa. Mungkinkah para musisi lawas ini menjual ulang musiknya dengan potongan TikTok dan reels Instagram ketika para pendengarnya tak terlalu banyak menggunakan aplikasi media sosial itu? Seberapa banyak pendengar baru akan mendengarkan karya mereka dari penggunaan media sosial?

Cara lain bagi musisi lawas untuk meneruskan eksistensi bisa dengan mengemas ulang lagu-lagu hits mereka dengan aransemen baru, kolaborasi dengan musisi muda, dan cara promosi baru agar mendapat irisan pasar baru. Musisi lawas terus bertahan, tapi musisi muda adalah pemilik zaman.

 

Editor: Emma Amelia

Djoko Santoso
Djoko Santoso Kadang Main Musik Kadang Tidak

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email