Sejak diadakan pertama kali pada 2004, Indonesian Idol kini sudah memasuki musim ke-12. Indonesian Idol menjadi salah satu ajang pencarian bakat paling lama bertahan. Saat banyak acara pencarian bakat penyanyi sudah “bungkus”, acara ini masih eksis dan terus eksis. Banyak talenta yang lahir dari ajang pencarian bakat ini. Namun, mereka tidak selalu mendapat exposure yang besar.
Sebagai sebuah ajang pencarian bakat, tentu Indonesian Idol menjadi pertaruhan para kontestannya. Tidak mengherankan bila tujuan utama menjadi kontestan di acara ini adalah untuk menjadi terkenal, lalu karya dan kariernya diterima konsumen musik Indonesia. Pertanyaan selanjutnya, apakah alumni pencarian bakat ini semua karyanya diterima? Atau, setidaknya, apakah para juara menjadi terkenal dan mulus karier musiknya?
Baca juga:
Pertanyaan tersebut selalu menjadi bahan debat menarik. Kontestan di setiap musim punya “jalan takdirnya” masing-masing. Ada yang diterima di pasar musik, ada yang tidak diterima, ada yang memang memilih menepi untuk mencari jalan sunyi. Judika menjadi salah satu (atau satu-satunya?) jebolan Indonesian Idol yang sukses secara musik. Ia sepertinya memang dijadikan “wajah” pencarian bakat ini. Dengan menjadikannya juri, mungkin penyelenggara ingin mengatakan, “Bisa, lho, kontestan Indonesian Idol jadi juri.”
Selain penerimaan di pasar musik, salah satu hal yang menakutkan di Indonesian Idol adalah kutukan juara. Kita bisa lihat berapa banyak juara Indonesian Idol yang pasca acara malah tenggelam. Misal pun ada yang berkarya, seberapa lama mereka bertahan? Umumnya, eksistensi mereka berumur relatif pendek. Mereka bak singa buas yang mengaum kencang di panggung kontestasi, tapi lelah dan rapuh pasca ditutupnya gedung pertunjukan RCTI.
Lyodra Ginting mungkin satu-satunya juara Indonesian Idol yang mampu melawan “kutukan juara”, setidaknya hingga saat ini. Ia dan dua teman sejawatnya masih punya cukup bahan bakar untuk berkendara di industri musik. Musim 10 tampaknya menjadi musim tersukses sepanjang sejarah Indonesian Idol bagi para kontestannya. Selain trio juara, ada juga Keisya dan Mahalini yang pasca kontestasi masih bertahan di industri, bahkan kariernya semakin meningkat.
Peran para produser musik tampaknya tidak bisa dikesampingkan dalam perjalanan karier para kontestan Musim 10 ini. Yovie Widianto dan Andi Rianto menjadi dua figur yang turut “mengisi bensin” kendaraan musik mereka. Yovie Widianto sudah menciptakan beberapa lagu untuk trio juara. Andi Rianto juga tak mau ketinggalan untuk merekam ulang lagu-lagu lawasnya dan menggandeng Lyodra dan Keisya.
Indonesian Idol Musim 12 juga mendapat exposure yang cukup luas. Momen penyelenggaraannya mendorong pencinta musik untuk merayakan kerinduan dengan menampilkan kontestan yang relatif “berbakat” rata. Tidak seperti musim sebelumnya yang dirasa kurang “nendang” hingga jebolannya kurang terlalu mendapat “dukungan semesta”. Hingga saat ini, belum ada single mereka yang diterima khalayak.
Sepanjang musim Idol, baru di musim ini mempertahankan dua finalis yang berhijab. Sangat jarang ada finalis berhijab hingga grand final. Satu dari Aceh, satunya dari Probolinggo. Dua daerah yang jarang juara kompetisi menyanyi. Aceh sebagai provinsi yang “ketat agama” ternyata mampu melahirkan grand finalist Indonesian Idol. Probolinggo pun bukan kota besar untuk ukuran Jawa Timur. Biasanya, musisi dari Jawa Timur lahir di kota Surabaya.
Demografi finalis pencarian bakat umumnya tak jauh dari Medan, Jakarta, dan Bandung. Sedikit yang berasal dari wilayah timur. Lihat saja sepanjang perjalanan Indonesian Idol, berapa banyak kontestan yang berdarah Batak; Joy Tobing, Judika, Maria, dan Lyodra. Tampaknya, Tuhan telah menitipkan talenta vokal di darah Batak ini. Untuk darah Jawa, hanya segelintir orang. Mungkin hanya Tiara Andini yang menembus posisi tertingginya dan ia pun juga harus puas dengan gelar runner up. Akan tetapi, tidak di musim ini. Salma Salsabila mampu keluar dari pola itu dan berhasil menjadi idola Indonesia musim 12 ini.
Baca juga:
Biar bagaimanapun, kita masih menyisakan kesangsiang tentang model kompetisi ini (dan kompetisi-kompetisi semacamnya). Juara ditentukan oleh jumlah vote, entah berapa persentase vote menentukan, kenyataannya sistem ini masih digunakan hingga sekarang. Entah berbayar, entah tidak. Kita juga tidak tahu, atau memang tidak diberi tahu berapa persentase penilaian juri untuk menentukan pemenang. Apakah mereka ikut menentukan atau kehadiran mereka hanya untuk memberi komentar dan masukan untuk para kontestan?
Apa pun sistem dan bagaimana pun cara mainnya, yang jelas para juara harus menjadi juara dalam arti sebenarnya. Mereka harus berkarya jika ingin bertahan dan dikenang dalam industri musik Indonesia. Berapa orang kontestan pencarian bakat yang namanya sekarang sudah tenggelam? Bahkan tropi juara satu pun tak menjamin mereka jadi penyanyi yang karyanya didengar oleh pencinta musik Indonesia.
Editor: Emma Amelia