Antropolog; peneliti musik, seni pertunjukan, dan budaya. Tinggal di Naarm, sesekali mudik ke Jakarta ketika natal.

Mengapa Dangdut, Bukan yang Lain?

Michael H. B. Raditya

5 min read

Sastrawan Mahfud Ikhwan mengeklaim Denny Caknan, Ndarboy Genk, Abah Lala, dkk. sebagai generasi penerus pop cengeng. Argumen yang terus diulang-ulang adalah ihwal lirik. Awalnya, saya menanggapi positif tulisannya di JawaPos pada 11 Juni dan 9 Juli 2023 dengan judul Ke Mana pergi Penggemar Rinto, Pance, dan Obbie? dan Pop Cengeng, Didi Kempot, dan para Penerusnya, sebab lagu-lagu para pedangdut muda dapat menembus pasar yang beraneka ragam, bahkan membangkitkan gairah massa pop cengeng yang tak tahu harus menambatkan hatinya kepada siapa. Namun, setelah saya renungkan, klaim Mahfud memang menjanjikan dan benar, andai musik hanya sebatas lirik yang dibaca, bukan dinyanyikan, apalagi dijogeti.

Menakar Didi Kempot

Musababnya ada pada mendiang the godfather of broken heart, Didi Kempot. Melalui Didi Kempot juga, Mahfud menjadikan landasan jika para generasi baru dangdut—seperti Denny Caknan, Ndarboy Genk, Abah Lala, dan lainnya—bukanlah generasi baru dangdut, melainkan pop cengeng. Mahfud mencoba menautkannya dengan lagu-lagu Didi Kempot yang lebih kentara asas pop cengengnya ketimbang dangdut. Upaya Mahfud patut diapresiasi dengan membahas lirik dari beberapa lagu Didi Kempot dan sumber inspirasinya, di mana beberapa inspiratornya memang penyanyi pop cengeng. Hal itu pun menjadi alasan Mahfud menciptakan klaim genealogis. Namun, apakah argumennya cukup? Tunggu dulu!

Baca juga:

Memahami Didi Kempot yang tumbuh dalam iklim musik beragam tidak semudah membekukan kekaryaannya pada satu sisi semata. Hal itu sama saja dengan mengerdilkan pencapaian dan kreativitas Sang Maestro. Secara lebih spesifik, saya memfokuskan pada genre musik yang ia tegaskan di akhir hayatnya, congdut atau keroncong-dangdut. Pasalnya, kesan yang saya dapat dari uraian Mahfud pada tulisannya di JawaPos adalah congdut terasa seperti tempelan saja. Padahal, congdut pada musik Didi Kempot bukan hanya perkara adanya instrumen ukulele dan kendang semata. Genre congdut bukan hanya respons sesaat dan aji mumpung atas kembali populernya Sang Raja Patah Hati, melainkan benih yang telah ia tanam sedari lama.

Menurut hemat saya, terdapat dua hal dalam mengejawantahkan kecongdutan Didi Kempot, yakni musik dan performans—dua hal yang memang tidak disinggung oleh penulis asal Lamongan tersebut.

Pertama, musik. Premis pertama yang ingin saya ajukan adalah musik Didi Kempot tidak tunggal, bahkan cenderung berubah di beberapa puluh tahun sebelum ia berpulang. Tolak ukur paling konkret adalah dengan melihat perubahan musik Didi Kempot setelah kehadiran pengiringnya, Lare Jawi band, khususnya format kedua. Dari band yang menemani Didi Kempot itulah kita dapat mengetahui apakah congdut itu hanya akal-akalan atau memang genre yang ia usung sedari dulu. Jika hal itu terjadi sejak dulu, apakah klaim pop cengeng masih bisa dipertahankan? Hmm!

Lare Jawi band format kedua terbentuk pada tahun 2006 sebagai bagian dari konser musik Didi Kempot di Suriname. Lare Jawi format kedua ini tidak hanya diisi band combo—format musik pop Indonesia dan pop cengeng lazimnya, tetapi telah menyertakan instrumen-instrumen yang kini diafiliasikan dengan keroncong dan dangdut, semisal ukulele, kendang Sunda, tak dut, biola, suling, dan beberapa instrumen gamelan. Sepulangnya dari Suriname, Lare Jawi band format kedua inilah yang menjadi (semacam) pengiring tetap Didi Kempot. Dari situlah citra congdut mulai dipatri sesama personil dan kepada penonton.

Alih-alih hanya instrumentasi, para pengiring yang sebelumnya telah berkiprah panjang di segitiga musik campursari, keroncong, dan dangdut ini bergerak maju bersama Didi Kempot. Lebih lanjut, mereka mencari format terbaik untuk musik congdut yang mereka usung. Jenis permainan musik mereka juga mulai spesifik dan berbeda dari pop Indonesia, pop Jawa, atau campursari ala Manthous. Bagi saya, sejak saat itulah musik Didi Kempot berkembang, lirik Didi Kempot mengalami penyegaran dan membuat lagunya menemukan pendengar-pendengar baru.

Selain ihwal musik, hal lain yang sama pentingnya adalah performans. Tentu tiada yang keliru dengan performans Didi Kempot di atas panggung. Sedari awal berkiprah, ia memang energetik. Namun, ketika congdut menjadi semangat musikalnya, Didi Kempot turut menyesuaikan. Didi Kempot dapat bersikap dengan lebih leluasa, berjoget dengan lebih asyik, dan merespons penonton dengan lebih bersahabat.

Sebagai contoh, silakan melihat dokumentasi performans “Stasiun Balapan” versi 1998 dan sandingkan dengan versi congdut. Apakah terdapat perbedaan di antara keduanya? Adakah perubahan pada suasana yang dibangun? Bagaimana interaksi di antara mereka, penyaji dan penonton? Jika berubah, apa yang membedakan? Di situlah bagi saya peran musik dan performans bekerja, ketika ia dapat memberikan perbedaan signifikan antara musik dangdut dan pop Indonesia maupun pop cengeng, sekaligus memberikan alasan mengapa lagu-lagu Didi Kempot, walau terinspirasi para penulis lagu pop cengeng, tetap dalam koridor genre yang ia usung, yakni congdut.

Para generasi muda dangdut—setidaknya untuk saya—, seperti Wawes, Guyon Waton, Ndarboy Genk, Denny Caknan, hingga Abah Lala terinspirasi dari paket lengkap Didi Kempot. Mereka terinspirasi Didi Kempot tak hanya sebatas lirik, tetapi juga musik dan performans. Dari keutuhan inilah muncul kreativitas dalam mengembangkan dangdut ala mereka. Hal ini jugalah yang membuat saya mengamini pernyataan Mahfud jika “penggemar “Kartonyono Medot Janji” atau “Mendung Tanpa Udan”, jika dilahirkan 30 tahun lebih awal, akan menyukai “Gelas-Gelas Kaca”, jika pendekatannya sebatas lirik saja.

Benang Merah Dangdut Generasi Muda

Mahfud mencurigai asumsi saya jika Ndarboy Genk, Denny Caknan, Wawes, Guyon Waton, dan lainnya sebagai generasi penerus dangdut. Ia bahkan mempertanyakan dangdut macam apa yang tumbuh dari mengidolakan Didi Kempot, bukan Soneta. Jika mengikuti cara berpikir Mahfud, sudah barang tentu Didi Kempot tidak masuk ke percaturan dangdut; tetapi dari subbab sebelumnya, sudah terjelaskan jika congdut yang Didi Kempot usung bukan sambil lalu dan sekadar saja.

Lebih lanjut, dalam Dangdut Stories: A Social and Musical History of Indonesia’s Most Popular Music, Andrew N. Weintraub menyebutkan bahwa congdut perlu dibaca sebagai cabang dari musik dangdut, setara dengan dangdut daerah, seperti saluang dangdut, pongdut (jaipong-dangdut), dangdut Banjar, koplo, dan lainnya. Pasalnya, congdut tumbuh dari ekosistem yang spesifik, tempat segitiga dangdut, keroncong, dan campursari menjadi unsur percampurannya.

Hal ini turut diartikulasikan Plenthe, pemain kendang format kedua dari Lare Jawi yang menjelaskan segitiga tersebut di iklim musik Solo, Jawa Tengah dan sekitarnya ketika itu. Persoalannya, congdut menjadi tak terhitung karena tidak pernah ditatap dan dituliskan sebelumnya, dan ini menstimulasi saya untuk menuliskannya secara khusus, apalagi dengan tambahan pembahasan soal tema dan lirik yang spesifik, tentu akan lebih memperkuat.

Tak hanya itu, Mahfud turut menuduh saya mengunci gugatan, tepatnya soal pernyataan saya mengenai anak-anak muda generasi penerus dangdut, “Mereka bukan barisan pencinta Rhoma, mereka juga bukan penghamba kalangan dangdut koplo, mereka adalah anak-anak muda dengan pengetahuan dangdut minim tetapi justru meraba, menafsirkan, dan membuat dangdut memiliki masa depan.” (Raditya, 2022).

Baca juga:

Memang betul hal tersebut saya tulis pada Maret lalu sebagai tanggapan pikiran pesimistis Mahfud di kolom Halte JawaPos (13 Februari 2022) terhadap generasi penerus dangdut. Namun, narasi itu saya buat sebagai respons atas obrolan bersama beberapa dari mereka ihwal kreativitas yang begitu kaya dan memberi warna pada dangdut. Lebih lanjut, narasi itu muncul dari refleksi atas kehadiran mereka di pentas dangdut terkini. Selain itu, pernyataan bukan pencinta atau penghamba serta pengetahuan minim, tidak serta merta menjelaskan jika mereka buta akan dangdut, melainkan mereka sadar jika cara ungkap dan musikalitas zaman terus berkembang.

Sebagai ilustrasi, saya akan mengambil salah satu contoh grup, yakni Wawes. Munculnya Wawes di tahun 2012—saat itu masih menyandang nama OM Wawes—dengan lagu “Sayang”, justru hadir sebagai counter untuk citra dangdut koplo yang dikenal seronok dan aransemen yang itu-itu saja. Selain itu, para pendiri Wawes memang minim wawasan akan dangdut, khususnya soal aturan, gaya, hingga konflik yang menyertainya. Alhasil mereka terlepas dari patronasi gaya dangdut sebelumnya dan dari perkubuan cabang dangdut. Dampaknya, mereka memiliki kebebasan dalam berkreativitas tanpa perasaan waswas dan kecenderungan mengekor.

Sementara untuk beberapa grup yang lain, pilihan musik mereka justru muncul untuk memberikan warna baru pada musik dangdut yang mereka dengar selama ini. Maka dari itu, Guyon Waton menawarkan musik ala cangkrukan; Gilaz HipHop, NDX Aka serta Pendhoza menawarkan hiphop dangdut, dan seterusnya. Singkat kata, pernyataan itu dibuat untuk mengurai bagaimana awal perjalanan karier mereka dalam musik dangdut.

Selanjutnya, alih-alih buta, mereka tahu akan berkiprah di ekosistem musik yang mana, yakni dangdut dan selingkarnya; dan mereka sadar akan bagaimana ekosistem dangdut di Yogyakarta dan Jawa Tengah. Atas dasar itu, para generasi muda merangkul orang-orang muda yang telah berkiprah di dangdut sebelumnya. Semisal ketika pendirian OM Wawes, para pendiri, Gaseng dan Tony yang memang bukan berasal dari ekosistem dangdut, justru merangkul Gendhut dan Jondil yang adalah pemusik dangdut dan tumbuh besar di grup dangdut legend Jogja, Gilas OBB. Bahkan album pertama mereka didominasi lagu ciptaan Gendhut.

Tak hanya Wawes, Ndarboy Genk pun serupa, di mana ia dikelilingi orang yang paham musik dangdut, semisal Julian yang dahulu aktif di Gilas OBB dan Koneg. Julian menjadi rekan bincang musiknya, melakukan mixing dan mastering untuk Ndarboy, sekaligus menjadi personil bandnya. Hal ini juga terjadi pada Denny Caknan dengan adanya Bayu Onyonk di belakangnya. Bayu yang telah malang melintang di skena dangdut banyak memberikan pengaruh pada Denny Caknan. Kini ia menjadi music director di DC Production. Pun masih banyak orang dangdut di dalam grup-grup tersebut maupun grup lainnya.

Singkat kata, para generasi muda tidak berjalan sendiri, melainkan disokong oleh orang-orang yang memang memiliki sensitivitas dangdut dan menjadi benang merah atas kedangdutan mereka. Hal inilah yang bagi saya membuat mereka terus melanjutkan tongkat estafet dari musik (yang terus) hibrid bernama dangdut.

 

Editor: Prihandini N

Michael H. B. Raditya
Michael H. B. Raditya Antropolog; peneliti musik, seni pertunjukan, dan budaya. Tinggal di Naarm, sesekali mudik ke Jakarta ketika natal.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email