Membawa Lari Supardi

Jojon Pistol

6 min read

Udara dari pendingin ruangan terasa mengusap-usap leher setelah mereka melewati pintu otomatis sebuah toko buku. Wangi lavender melintas. Mereka memperhatikan keadaan sekitar ruangan. Paling depan penjual es krim bergerobak hijau disusul kursi pijat dan rak mainan saling berhadapan. Air muka orang-orang tampak bahagia mengunjungi toko aksesoris dan pernak-pernik.

Obeng mengenakan parka berwarana cokelat dan jeans kumal yang dua tahun tidak dicuci. Sedangkan Yatim dengan crewneck hitam dan celana chinos cokelat menyala.

“Apa yang kamu incar?” Obeng bertanya ketika eskalator membawanya ke lantai dua.

“Supardi Joko Darmadi. Aku lupa nama judulnya apa. Temanku pernah cerita soal orang itu.” Jawab Yatim.

Obeng mengangguk. “Terserah kamu, lah. Kamu musti mengurus dirimu sendiri.”

Yatim mengerutkan alis. Ia mengangguk.

Setibanya di lantai dua Yatim merasa takjub, baru kali pertama ia melihat buku sebanyak itu berjejer rapi. Laut Bercerita dan Filosofi Teras menjadi pemandangan utama di rak buku paling depan berdekatan dengan ekskalator. Yatim berhenti sejenak lalu menyentuh sampul bukunya.

“Lalu, apa yang kamu incar?” Yatim kali ini bertanya.

Homo Sapiens bergambar. Dua jilid.” Obeng menyeringai.

“Buku macam apa itu?”

“Lihat saja nanti.”

Sabtu sore toko buku ramai pengunjung. Mereka berdua berpisah mencari buku incaran masing-masing.

***

Dua hari yang lalu Stadion Singaperbangsa lembap. Hujan mengguyur Kota Karawang selama lima jam. Genangan air merangsak ke tengah jalan raya dikarenakan pemerintah setempat begitu payah mengurusi selokan. Warung-warung baru saja membuka terpal yang pada awalnya sebagai siasat untuk menghadang embusan angin. Bunyi klakson kendaraan dan peluit pak ogah nyaring di telinga Yatim yang pada saat itu baru saja sampai di Karawang. Google Maps mengarahkan dirinya ke stadion sebelum sampai ke tempat tujuan. Cuaca yang murung membuatnya ingin memesan segelas kopi di sebuah warung pinggiran pagar stadion.

Dua orang lain datang menenteng tas besar. Mereka berdua terlihat akrab dengan si pemilik warung. Yatim dibuat penasaran ketika salah seorang mengambil sebuah buku. Tanpa berpikir panjang Yatim nimbrung sambil membawa kopinya.

Mereka berkenalan. Orang berkacamata, berambut gondrong dan agak gemuk mengaku bernama Obeng. Sedangkan orang yang lebih kurus dan berambut bergaya Oppa Korea adalah Murat.

Yatim melirik tas besar yang mereka bawa.

Obeng memahami tingkah Yatim. “Isinya bom. Kami mau bikin keributan di Karangpawitan. Biasa, lah.” Lanjutnya sambil cengengesan.

Yatim hanya mengangguk. Sejujurnya Yatim tidak begitu paham.

“Yatim, itu nama aslimu?” Murat penasaran.

“Yatmin Basirul Ulum.”

Yatim berterus terang atas nama aslinya. Nama Yatim didapatkannya dari kawan-kawan sekampung karena bagi mereka nama Yatmin sulit diucapkan. Awalnya ia takut kelakuan kawan-kawannya menjadi sebuah petaka, tetapi sampai hari ini bapaknya masih sehat wal afiat. Ia lahir di Cianjur pada tahun 2005 saat matahari melenggang di atas ubun-ubun. Orangtuanya memiliki beberapa petak sawah dan kebun di belakang rumahanya. Anak tunggal. Awalnya oragtua Yatim merasa keberatan soal rencana Yatim untuk pergi ke Karawang. Tetapi setelah Yatim beberapa kali menjelaskan tentang kesuksesan yang bisa diraih di kota tersebut, orangtuanya menjadi sedikit lunak. Begitulah yang ia ceritakan kepada Obeng dan Murat.

“Kenapa Karawang?” kali ini Obeng yang menimpali pertanyaan. “Banyak kota yang lebih menjanjikan daripada Karawang.” Lanjut Obeng.

Yatim mengusap-usap dagunya.

“Alasan pertama sudah jelas karena ada saudara yang menetap di sini.” Yatim menenggak kopinya. Ia meyakini Karawang lebih menarik dijadikan surga bagi para pemuda yang baru lulus seperti dirinya. Ia mengira Karawang dan lowongan pekerjaan adalah satu kesatuan yang tak bisa dipisahkan seperti Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Pabrik, bank, perusahaan asuransi dan pegadaian tumpah di mana-mana. Ia merasa tidak perlu mengkhawatirkan nasibnya karena saudaranya telah menunggu. Peluang untuk punya pekerjaan terbuka lebar.

Murat dan Obeng tersenyum ampas—seolah-olah mereka berdua sudah sering mendengar keinginan klise seperti Yatim.

“Kemungkinan peluang gagalnya juga besar. Karawang gak semulus yang kamu bayangkan.” Murat mulai gatal ingin menimpali Yatim.

Yatim hanya mengangguk.

“Kalian pernah melamar pekerjaan?” Yatim kali ini yang bertanya.

Obeng menjelaskan bahwa ia sedang bekerja sebagai penulis berita lepas di salah satu media berita lokal. Meski kuliahnya diselesaikan dengan predikat cumlaude ia tidak pernah melamar pekerjaan secara serius. Menjadi wartawan lepas diambil dari tawaran temannya. Sedangkan Murat setelah lulus kuliah memilih berjualan baju bekas. Pernah sekali waktu dia melamar pekerjaan namun hanya sampai pada tahap wawancara. Ia gagal. Murat tidak pernah mencobanya lagi.

“Sambil itu berjalan kami melapak buku dibantu dengan kawan-kawan yang lain. Kami bergantian setiap minggu.” Murat menambahkan.

“Apa menariknya melapak buku?” Yatim menimpah pertanyaan kepada mereka berdua.

***

“Kami punya misi rahasia.” Kata Obeng kepada Yatim. “Aku mau mengajakmu untuk menggantikan Murat. Si tengil itu sedang ada urusan beberapa minggu ke depan.”

Sehari setelahnya mereka berdua tidak sengaja bertemu di warung yang sama. Yatim melongok. Dia mengira sedang mendapatkan informasi menarik. Tangannya mengusap dagu.

“Penting?” tanya Yatim.

“Tentu saja. Ini ada kaitannya dengan kegiatan kami. Nama misinya adalah Liberate of Literations. Misi ini punya tujuan untuk menyelamatkan anak muda sepertimu dari bahaya kebodohan. Kita akan pergi ke Gramedia.”

“Begini, biar kujelaskan dulu. Pertama, buat mengulur-ulur waktu kamu cuma perlu berkeliling rak buku saja dengan wajar, sesekali baca sedikit ulasan buku seolah-olah kamu memang sedang mencari sesuatu. Kedua, ambil buku yang sudah kamu incar dan bawalah berkeliling seolah-olah itu memang buku milikmu, seolah-olah kamu akan membelinya. Ketiga, jangan lupakan CCTV di setiap sudut ruangan, kamu tidak tahu siapa yang sedang mengintaimu di tempat lain. Kalaupun kamu berhasil lolos dari satpam, mukamu akan dipajang selama berbulan-bulan. Itu mungkin saja terjadi. Maka berhati-hatilah.” Obeng mengambil satu batang rokok lalu menyulutnya. “Sejauh ini kami selalu beruntung. Kami melakukan itu secara bergantian. Memberi jeda pada setiap aksi kami agar tidak dicurigai. Satu atau dua bulan.” Obeng berhenti. Ia menyeruput panjang kopi yang sudah disediakan.

Yatim masih tidak mengerti apa yang dikatakan Obeng. Ia hendak mengatakan sesuatu, namun Obeng menghentikannya. “Nah, selanjutnya yang keempat, setelah dirasa aman, sambil kamu berjalan masukan saja bukunya ke dalam totebag. Ingat baik-baik, lakukan seolah-olah kamu sedang memasukan bukumu sendiri. Lima, jika perasaanmu sudah tidak nyaman, segera keluar dari tempat itu lalu pergi sejauh mungkin. Jangan menoleh ke belakang dan melirik ke arah CCTV.”

“Kita mau nyopet? Gila kamu!” Sembur Yatim.

“Kapitalisme yang gila!”

“Apa?” Yatim merasa asing dengan kata itu.

Apa yang dikatakan Obeng bukan sebuah lelucon. Capaiannya yang paling hebat ketika berhasil menggasak sebelas buku dalam waktu satu jam tanpa ketahuan penjaga toko. Dari buku tipis sampai buku berapa ratus halaman sebesar bantal bayi.

“Begini. Intinya ini adalah misi yang penting.”

“Apa untungnya bagiku?”

“Entahlah. Tapi yang jelas jika kamu tertarik aku akan memberimu sebuah pekerjaan. Ah, atau lebih tepatnya aku akan carikan kamu pekerjaan. Setidaknya sampai kamu mendapatkan pekerjaan yang kamu mau. Dan aku akan tunjukkan sesuatu yang menarik atau mengajakmu ke tempat-tempat menyenangkan di Karawang, mungkin.”

Yatim menerima tawaran Obeng. Rasa penasarannya lebih besar ketimbang risiko yang akan ia ambil. Gramedia mungkin bisa jadi tempat yang menyenangkan, pikirnya. Yatim belum sempat menanyakan mengapa mereka harus melakukan hal gila itu.

***

Yatim membaca satu persatu judul buku yang tersedia di rak buku. Funiculi-funicula, Kudasai dan buku-buku dengan judul lain beserta nama pengarangnya. Namun, Tak ada Supardi Joko Darmadi, pikirnya.

Di rak buku pertama tak ada satu pun nama yang ia cari. Ia berpindah ke rak buku yang lain. Sesekali ia membaca tulisan di sisi lain buku dan menemukan nama-nama tapi tak ada Supardi Joko Darmadi. Rak buku kedua selesai. Beralih ke rak buku ketiga dan keempat tetapi Supardi Joko Darmadi masih tak ia temukan. Ia ingin bertanya kepada Obeng yang sedang asik memperhatikan buku-buku di sisi rak buku lain tetapi ia gengsi.

Yatim beranjak ke rak buku selanjutnya dan secara tidak sengaja mendengar sejumlah perempuan membicarakan nama Joko. Sambil mendengarkan mereka berdua berbicara, ia mendekati rak buku itu dan  memperhatikan satu persatu buku. Membaca nama-nama dan judul-judul.

Djokolelono, Joko Anwar, Joko Pinurbo, Joko Tingkir dan Joko yang lain namun tidak menemukan Joko yang ia cari. Ia tidak begitu yakin dengan nama-nama itu apakah benar yang ia cari selama ini. Setelah lama menimbang-nimbang akhirnya ia meletakkan kembali buku-buku itu ke tempat asalnya lalu mencari lagi nama-nama.

Suasana hangat dari segerombol pengunjung membuatnya rindu kepada kawan-kawannya di kampung. Sesekali ia melihat Obeng di kejauhan memikirkan sudah berapa banyak buku yang Obeng cemplungkan ke dalam totebag. Pasti banyak.

Hujan Bulan Juni, Sapardi Djoko Damono!” Katanya setelah membaca salah satu judul buku. tepat di bawah nama itu tertera stiker best seller dilingkari pita berwarna emas. Yatim menimbang-nimbang lagi. Bukan Supardi Joko Darmadi, pikirnya. Dari sekian banyak nama Joko, Joko yang ini paling mendekati. Ia sempat ragu sebelum menenteng buku tersebut ke rak buku yang lain. CCTV mengintai polahnya di beberapa sisi ruangan. Dengan lihai, sesuai dengan arahan Obeng, ia berlindung di bagian yang tidak terjangkau CCTV lalu memasukkan buku itu ke dalam totebag.

Yatim tidak menyadari seseorang sedang memperhatikan polahnya sejak berkeliling rak buku beberapa kali.

Obeng masih menimbang-nimbang buku mana yang akan jadi target selanjutnya. Yatim mendekatinya setelah dirasa telah berhasil melancarkan aksinya. Obeng memintanya untuk mengambil buku yang lain jika masih mau melakukannya. “Pilih satu buku murahan yang akan kamu beli. Setidaknya,” kata Obeng menambahkan, “supaya kamu tidak terlalu dicurigai.”

Yatim tidak berniat mengambil buku yang lain bahkan tidak berminat membeli satu buku pun. Ia cukup puas dengan apa yang ada di dalam totebag-nya. Wajahnya memucat.

Ia memutuskan untuk keluar dari tempat itu tanpa memberitahu Obeng.

Berbeda dengan Obeng, Yatim hanya seorang amatiran. Ketika eskalator membawanya ke lantai bawah, Yatim mengingat-ingat capaian terbaiknya; mencuri sebuah majalah Hidayah di rak buku sekolah. Baginya majalah itu berhasil merunut suasana siksa kubur dan hal-hal mistis sehingga memikat sang pembaca. Setelah merasa puas dengan aksinya yang pertama, Yatim menjajal peruntungan kedua. Nahas, seorang guru memergoki Yatim sedang mencuri lembar soal ujian akhir sekolah. Jika saja keluarga terdekatnya bukan seorang lurah mungkin ia akan dikeluarkan dari sekolah sebab itu merupakan kasus yang kesekian kali untuknya. Ia hanya dihukum jemur saat upacara bendera; bagian yang paling ia ingat. Yatim ingin melemparkan kenangan itu jauh ke dasar tebing namun sampai kini masih menempel sempurna di dinding ingatannya.

Kali ini ia tidak boleh mempermalukan dirinya sendiri. Supardi Joko Dermadi harus dibawa pulang, katanya, masih teguh dengan nama yang ia buat sendiri.

Di waktu seperti apa manusia dapat mengetahui nasib baik dan nasib buruk? Tentu Yatim tidak pernah tahu. Sesaat lagi mungkin ia akan digelandang satpam atau ditampol oleh penjaga toko sebab kesalahan sepele. Mencuri buku puisi. Di saat situasi seperti itu terjadi, berkelahi pun ia berani. Imajinasinya tersangkut pada beberapa scene salah satu film yang dibintangi oleh Tom Cruise; berhasil mengelabui para penjahat setelah memenangkan adu jotos dan baku tembak lalu memacu motornya hingga terbang meloncati tebing.

Benar saja. Ketika hendak menuju parkiran, salah seorang penjaga terlihat mengikutinya. Ia mengira nasibnya sedang baik ketika motornya leluasa keluar dari area parkir tetapi ia dikejutkan oleh dua penjaga yang lain. Mereka memang berniat menghadang Yatim.

“Bagong!”

Percuma memperlambat laju. Ia tarik gas. Dua penjaga itu masih tegas berdiri. Yatim menggocek motornya. Satu penjaga tersenggol, terpental beberapa langkah. Sedang yang satunya menghindar ketakutan. Gas masih ditarik. Palang pintu parkiran telah menunggunya.

Gas ditarik. Ban melindas polisi tidur, bersama motornya ia terbang beberapa senti. Sekali lagi ia teringat Tom Cruise yang melaju hingga terbang bersama motornya menubruk palang pintu. Yatim ambruk. Punggungnya menghantam aspal.

“Saya membawa lari Supardi Joko Darmadi,” kata Yatim saat diintrogasi seseorang berseragam abu-abu.

***

Karawang, 10 januari 2023

 

Editor: Ghufroni An’ars

Jojon Pistol

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email