Perempuan, Keperawanan, dan Perlawanan Sunyi dalam Embroideries

Sekar Jatiningrum

3 min read

Pada perjamuan teh, sekelompok perempuan duduk dalam lingkaran, menyimpan rahasia dalam cangkir porselen dan berbagi cerita yang hanya dapat diceritakan antara satu sama lain.  Percakapan mengalir tenang seperti sungai kecil; terkadang menyelam ke dalam luka lama, terkadang melompat-lompat dengan tawa lepas.

Embroideries, novel grafis yang ditulis oleh Marjane Satrapi, membawa kita ke ruang pribadi perempuan Iran, tempat mereka berbagi pengalaman tentang pernikahan, cinta yang gagal, dan impian yang terkubur di balik norma sosial. 

Satrapi, seorang penulis dan ilustrator Iran-Prancis, sebelumnya terkenal melalui karyanya Persepolis, sebuah memoar grafis yang menggambarkan pergolakan hidupnya di Iran setelah revolusi.  Meskipun tetap tajam dalam mengkritik patriarki, ia menampilkan kembali kehidupan perempuan Iran dalam Embroideries, tetapi kali ini dengan nada yang lebih ringan dan humor yang menggelitik.

Keperawanan dan Harga Diri Laki-Laki

Percakapan pun beralih ke topik yang selalu menjadi obsesi masyarakat: keperawanan. Nenek Satrapi membuka cerita tentang seorang teman masa kecilnya yang dipaksa menikah sebelum genap berusia 18 tahun. Namun, gadis itu mencintai pria lain—dan lebih buruk lagi, ia sudah tidak perawan. Jika keluarganya tahu, nyawanya bisa terancam.

Baca juga:

Menanggapi kegelisahan itu, sang nenek menawarkan solusi yang sinis sekaligus ironis. “Ambil pisau silet ini,” katanya. “Pada malam pertama, rapatkan pahamu erat-erat, lalu menangislah sekencang mungkin. Ketika saatnya tiba, gores sedikit kulitmu agar keluar darah. Ia akan bangga dengan kejantanannya, dan kehormatanmu tetap terjaga.”

Di masyarakat patriarki, keperawanan perempuan bukan hanya soal tubuh, melainkan soal harga diri laki-laki. Perempuan diharapkan tetap suci agar pria bisa membuktikan kejantanannya dengan “merobek” selaput dara saat malam pertama. Mereka harus menjaga sesuatu yang bahkan tidak bisa dilihat dengan mata telanjang, sementara laki-laki dibiarkan merayakan kebebasan seksualnya tanpa konsekuensi.

Tak ada satu pun nama yang disebut dalam perjamuan teh itu. Tak ada formalitas, tak ada basa-basi. Cerita-cerita pahit itu mengalir begitu saja—bukan dalam nada sedih atau lirih, tapi dalam tawa-tawa renyah yang terasa menggelitik sekaligus getir. Humor menjadi pelindung; ironi menjadi bahasa untuk meredakan luka.

Obrolan pun bergulir. Seorang perempuan di lingkaran itu menyela dengan kelakar, “Tapi setidaknya ia sudah memegang testis. Aku bahkan tidak pernah melihat atau menyentuh apa pun.” Seketika, semua yang hadir terkejut. Bagaimana mungkin ia bisa hamil?

Dengan santai, perempuan itu menjawab, “Setiap malam, suamiku hanya datang, mematikan lampu, dan tiba-tiba aku hamil.” Ia bahkan tidak tahu apa yang terjadi malam itu. Yang ia ingat hanyalah gelap, lalu bam! bam! bam!—dan entah bagaimana, lahirlah empat anak perempuan.

Di sudut lain, seorang perempuan yang lebih tua berbagi kisahnya. “Sekali-kalinya aku menikah, aku baru berusia 13 tahun.” Lahir dari keluarga aristokrat, ia dijodohkan dengan seorang jenderal berusia 69 tahun. Ketika melihat punggung keriput pria itu, ia tahu ia tidak bisa menerima nasibnya. Maka, pada suatu malam, ia melarikan diri ke rumah bibinya—beruntung, sang bibi memiliki pandangan yang lebih modern dan tidak menyerahkannya kembali ke “penjara rumah tangga.”

Cerita di Balik Tawa

Di dalam ruang tamu itu, kisah-kisah terus mengalir dengan gaya yang jenaka, tetapi di baliknya ada kepedihan yang nyata. Mereka berbicara tentang suami yang egois, pernikahan yang hambar, dan bagaimana mereka harus berpura-pura agar tetap diterima oleh masyarakat. Ada yang menikah karena paksaan, ada yang mendambakan kebebasan, ada pula yang bertahan dalam hubungan yang dingin dan tak berjiwa.

Baca juga:

Satrapi, dengan kecerdasannya, menyampaikan kritik sosial yang tajam melalui percakapan-percakapan ini. Ia menunjukkan bagaimana perempuan dipaksa untuk beradaptasi dengan sistem yang tidak adil. Namun, di balik tekanan yang mereka alami, ada ketangguhan yang luar biasa. Mereka menertawakan kesedihan mereka sendiri, karena di dunia yang tidak berpihak pada mereka, tawa adalah satu-satunya bentuk perlawanan yang tersisa.

Tetapi humor tidak bisa sepenuhnya menutupi luka mereka. Salah satu perempuan bercerita bagaimana ia harus menjalani operasi jahitan keperawanan demi suaminya. Yang lain mengisahkan bahwa kehidupan seksualnya bukan soal kebahagiaan, melainkan kewajiban. Ada pula yang mengungkapkan frustrasi karena selalu dipandang lebih rendah dibanding laki-laki, meskipun mereka memiliki kecerdasan dan keberanian yang sama.

Patriarki yang Mengakar dan Perlawanan dalam Diam

Embroideries adalah potret nyata tentang bagaimana perempuan dibelenggu oleh budaya yang menempatkan mereka sebagai objek. Tafsir agama yang misoginis, adat yang membatasi gerak, dan norma sosial yang menekan kebebasan perempuan menjadi benang kusut yang membentuk kehidupan mereka.

Namun, di balik semua itu, para perempuan ini tetap menemukan cara untuk bertahan. Mereka saling berbagi rahasia, memberi nasihat satu sama lain, dan terkadang melakukan perlawanan dalam diam. Mereka mungkin tidak turun ke jalan untuk meneriakkan hak-hak mereka, tetapi di ruang tamu yang tertutup, mereka membangun solidaritas yang tak tergoyahkan.

Satrapi tidak menawarkan solusi revolusioner, tetapi justru itulah kekuatan buku ini. Ia tidak menghadirkan perempuan sebagai pahlawan yang heroik atau korban yang pasrah, melainkan sebagai manusia yang bertahan dengan caranya sendiri—melalui canda, melalui nasihat, dan melalui keberanian kecil yang sering kali tidak terlihat.

Merajut Kembali Kehidupan

Lebih dari sekadar kumpulan kisah perempuan Iran, Embroideries adalah cerminan kehidupan perempuan di berbagai belahan dunia, di mana tubuh dan pilihan mereka masih dikendalikan oleh norma yang dibuat oleh laki-laki.

Dengan narasi yang mengalir, ilustrasi yang sederhana namun ekspresif, serta humor yang tajam, Satrapi menyajikan kritik sosial yang menggugah tanpa kehilangan sentuhan kehangatan dan kebersamaan. Buku ini tidak hanya berbicara tentang perempuan Iran, tetapi juga perempuan di banyak masyarakat patriarkal lainnya. Diskursus seputar keperawanan, pernikahan paksa, dan penindasan seksual tetap relevan di berbagai belahan dunia, termasuk di negara-negara yang mengklaim telah lebih maju dalam kesetaraan gender.

Membaca Embroideries seperti duduk di ruang tamu bersama mereka—ikut tertawa, ikut merasa geram, dan pada akhirnya, ikut memahami bahwa di balik jahitan patriarki yang menyakitkan, selalu ada benang keberanian yang perlahan-lahan merajut kembali harapan. (*)

 

Editor: Kukuh Basuki

 

Sekar Jatiningrum

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email