Kawin Tangkap, Hantu Stigma, dan Problematika Adat di Indonesia

Abita Jovina

3 min read

Salah satu senjata paling ampuh untuk ‘membunuh perempuan’ adalah membenturkannya dengan adat. Dalam cengkraman adat, kemerdekaan individu sering kali tak berarti. Di negara yang majemuk seperti Indonesia, adat istiadat acap kali bergesekan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Dalam banyak peristiwa, adat mampu memenangkan pertandingan sengit ini. Hal paling ironi dari rentetan konsekuensi ini adalah kenyataan bahwa eksistensi adat istiadat ditentukan oleh tangan manusia, sedangkan manusia sendiri secara pasrah bertekuk lutut dalam cengkraman adat. 

Ide-ide tersebut bermekaran usai saya membaca buku pertama Dian Purnomo berjudul Perempuan yang Menangis Kepada Bulan Hitam. Kisahnya membawa saya melambung jauh ke Sumba, Nusa Tenggara Timur. Magi Diela seorang perempuan dengan mimpi besar, berpendidikan, dan memiliki prinsip yang kokoh harus ditaklukkan oleh adat. Kemerdekaannya dirampas, harga dirinya diperjualbelikan, dan kebebasannya terenggut seperti sapi yang ditawan. Secara komprehensif, Magi Diela membawa saya pada suatu adat istiadat yang sedari lama menjadi perdebatan banyak pihak, kawin tangkap. 

Baca juga:

Kawin tangkap menjadi adat yang masih berkembang dan diterapkan secara masif hingga saat ini di wilayah Sumba dan Nusa Tenggara. Atas nama adat istiadat, setiap perempuan di Sumba tidak akan bepergian dengan aman karena riskan untuk ‘diculik’ dan dikawini tanpa persetujuan.

Pada awalnya, kawin adat yang dikenal sebagai kawin culik di Lombok Timur merupakan aktivitas turun-temurun yang dilakukan dengan persetujuan kedua belah pihak dan sering kali diupayakan oleh sepasang yang telah mencintai satu sama lain, tetapi tak mendapat restu dari orangtua. Penyebab lain dari dilaksanakannya kawin tangkap adalah upaya dari pihak pria untuk meringankan belis yang akan diserahkan kepada keluarga pihak perempuan.

Namun, dalam perkembangannya, penyimpangan dari kawin tangkap terjadi dengan ‘menculik’ para perempuan di tempat publik dan memaksa keluarga perempuan untuk menerima belis sebagai ‘tanda jadi’ antara sang pria kepada keluarga perempuan. Pada tahap ini, kawin tangkap tidak lagi dilakukan oleh sepasang yang saling mencintai, melainkan seorang pria yang terobsesi.

Problematika Kawin Tangkap

Problematika kawin tangkap tidak hanya berkisar mengenai prosesnya yang melanggar hak asasi manusia dan berlindung di balik nama adat, melainkan juga esensi yang telah menyimpang. Kawin tangkap menunjukkan supremasi pria yang secara kentara memenjarakan perempuan dalam posisi patriarkis. Keberadaan belis sebagai ‘tanda jadi’ memunculkan citra bahwa perempuan sepadan dengan barang yang dapat diperjualbelikan. Seorang pria dengan banyak uang dapat dengan mudah ‘memilih’ perempuan yang diinginkan, tanpa mempedulikan realita apakah perempuan tersebut mencintai sang pria atau menginginkan perkawinan.

Dalam kasus ini, perempuan yang menerima dan menolak telah menjadi korban atas kejamnya nilai-nilai patriarki yang hidup di masyarakat Indonesia. Ketika menerima tawaran dari kawin tangkap, maka sang perempuan secara tidak langsung melepaskan kebebasannya secara cuma-cuma. Menanggalkan kemerdekaan dan menyerahkan diri untuk mengabdi pada pria yang belum tentu dicintai atau memperlakukannya secara manusiawi. Di sisi lain, ketika menolak ajakan dari kawin tangkap, maka konsekuensi yang diterima adalah pandangan ‘tidak lagi perawan’ atau ‘tak lagi suci’ yang akan membayangi tubuh perempuan seumur hidupnya.

Stigma atas Tubuh Perempuan

Efek domino ini terus bergulir sebagaimana stigma buruk dengan mudah beralih dari mulut ke mulut lain. Setelah dicecar sebagai individu yang ‘tak lagi perawan’, bahwa realita masyarakat Indonesia sangat-amat memuja keperawanan, sang perempuan juga masih mendapat perlakuan buruk dari pihak keluarga karena dianggap membawa aib dan memperburuk citra keluarga. Stigma tabu mengenai ketidakperawanan menjadi fakta pahit yang harus dihadapi perempuan bahwa nilai seorang perempuan didasarkan pada kerapatan selaput dara di selangkangan.

Konsekuensi dari stigma ini mengantarkan perempuan pada kesulitan-kesulitan jilid dua, seperti pembawa sial bagi keluarga, kesulitan mendapat pekerjaan, maupun pasangan di masa depan. Pada tahap ini, kesalahan lagi-lagi dipikul oleh seorang perempuan. Tidak ada toleransi bahwa rentetan kejadian tersebut bermula dari sikap egois para pria dan kenyataan bahwa cinta tak selalu dapat dibeli dengan uang.

Baca juga:

Akan tetapi, kesalahan mutlak yang dilakukan oleh sang pria, tidak lepas dari peran keluarga termasuk ibu dan orang tua yang berperan aktif menjebloskan putrinya ke dalam hasutan perempuan di kelas dua. Sikap untuk tunduk pada pria, menyerahkan keputusan penting kepada ayah (alih-alih mendiskusikan), bahkan anggapan tak perlu berpendidikan asal bisa memasak dan ‘jago di ranjang’ juga tak lepas dari ajaran para ibu di Indonesia.

Rasanya hal tersebut menjadi lingkaran setan yang tak berkesudahan. Tidak menampik fakta, sikap ini mungkin saja terjadi karena para ibu sepakat untuk ‘balas dendam’ atas apa yang dilakukan oleh ibu atau perempuan di sekitarnya terdahulu, sembari para pria terus berupaya semaksimal mungkin menjaga takhta dalam struktur masyarakat. 

Adat kawin tangkap dan rentetan stigma yang menghantui perempuan Indonesia membawa kita pada perenungan yang begitu krusial, khususnya di negara majemuk ini. Siapa yang harus dimenangkan? Adat atau kemanusiaan? Hal ini menjadi penting karena begitu banyak adat istiadat di Indonesia yang bertabrakan dengan nilai kemanusiaan, bahkan cenderung diskriminatif terhadap perempuan. Ironisnya, sampai kini hal ini masih diacuhkan oleh masyarakat luas karena adat dianggap harus lestari meskipun menginjak hak-hak manusia. Perenungan ini turut membawa kita menyusuri bagaimana adat membawa rentetan efek domino tak berkesudahan bagi tubuh perempuan, stigma tidak perawan, anggapan perempuan harus memasak, serta kewajiban perempuan untuk menikah.

Rasanya kalimat bising tersebut lebih baik disimpan saja dalam benak, alih-alih diperbincangkan (mengerikannya, sebagian besar menjadi topik bagi perempuan itu sendiri). Tanpa mendiskreditkan kemanusiaan maupun adat istiadat, saya kira kemerdekaan manusia menjadi nilai yang seharusnya dijunjung oleh manusia itu sendiri. Sebagaimana di awal buku, Dian Purnomo menulis, “Bahwa ada budaya yang memang baik untuk dipertahankan, tetapi ada banyak sekali budaya di Indonesia yang bahkan harus dihapuskan.”

 

Editor: Prihandini N

Abita Jovina

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email