Seperti namanya, kelas menengah berada di posisi yang setengah-setengah. Di satu sisi ia berkucupan sehingga tidak bisa digolongkan kurang mampu. Namun, di sisi lain pendapatannya hanya cukup untuk kebutuhan sebulan sehingga tidak bisa disebut orang kaya. Kelas menengah tidak bisa meminta bantuan sosial karena tidak memenuhi kriteria dan tidak sepenuhnya tenang secara finansial karena tidak benar-benar kaya.
Sudah banyak analisis para Ekonom Indonesia maupun contoh dari negara lain terkait pentingnya pemerintah memberi perhatian pada kelas menengah ini. Chatib Basri sudah berulang kali menyatakan pemerintah perlu memerhatikan nasib kelas menengah karena kelas menengah tidak punya banyak pilihan. Kondisi ini diperparah dengan tidak memadainya instrumen perlindungan sosial bagi kelas ini. Kelas menengah tidak berhak akan bantuan sosial karena bukan termasuk kelompok miskin. Negara Chile juga sudah memberi contoh nyata bagaimana amukan kelas menengah mampu menggoyang stabilitas negara tersebut. Diketahui kinerja ekonomi Chile mengesankan dengan pendapatan per kapita tertinggi di Amerika Latin. Selain itu, tingkat kemiskinan menurun dari 53% pada 1997 menjadi 6% pada 2017. Chile juga memiliki Indeks Pembangunan Manusia terbaik di Amerika Latin. Pencapaian-pencapaian ini tidak diiringi dengan kebijakan bagi kelas menengah yang menyebabkan pada Oktober 2019 terjadi gejolak sosial yang nyaris menimbulkan revolusi. Fenomena ini kemudian disebut sebagai ” The Chilean Paradox”.
Situasi Indonesia saat ini memang masih terlihat relatif stabil, tentu ini bukan alasan untuk berpuas tanpa melihat potensi permasalahan ke depannya. Kelas menengah bisa saja menjadi kekuatan pertumbuhan ekonomi dengan sumbangan pada komponen konsumsi masyarakat. Namun, kelas ini juga bisa berubah menjadi aktor gejolak sosial. Sejauh ini kebijakan Indonesia memang fokus pada kelas terbawah dan teratas. Kelas atas dimanjakan dengan berbagai insentif pajak. Kelas bawah diberi berbagai macam bantuan dan subsidi. Kelas menengah meskipun menjadi kelas sosial dengan jumlah terbesar di Indonesia sering kali dilupakan.
Bank Dunia membagi kelas masyarakat Indonesia berdasarkan pengeluaran menjadi 5 kategori. Kelima kategori tersebut adalah kelompok penduduk miskin dengan pengeluaran di bawah garis kemiskinan sebesar Rp354.000 per bulan; Rentan dengan pengeluaran Rp354.000 – 532.000; Menuju kelas menengah dengan pengeluaran Rp532.000 –1,2 juta; Kelas menengah dengan pengeluaran Rp1,2 juta – 6 juta per orang sebulan; dan Kelas atas dengan pengeluaran di atas Rp6 juta.
Dalam kajian ekonomi, kita mengenal terbelahnya sistem ekonomi menjadi dua poros berseberangan yakni ekonomi sosialis dan ekonomi kapitalis. Permasalahan kesenjangan antar kelas merupakan masalah yang tercipta dalam ekonomi kapitaslis dan Indonesia menganut sistem ekonomi ini. Sistem ekonomi yang dianut Indonesia sering kali dianggap menggunakan sistem ekonomi campuran/pancasila/kerakyatan. Namun, pada praktiknya sistem ekonomi tersebut lebih merupakan sistem ekonomi kapitalis yang disesuaikan dengan kondisi Indonesia untuk melanggengkan sistem kapitalis tersebut. Sistem kapitalis yang hanya berfokus pada pertumbuhan ekonomi akan memperuncing kesenjangan distribusi pendapatan. Sistem ekonomi kapitalis memang dianggap lebih cocok dengan sistem politik demokrasi karena hak milik pribadi diakui.
Di negara-negara yang sudah maju, sistem ekonomi kapitalis memang dapat diikuti dengan berkembangnya sistem politik demokrasi. Sistem kapitalis dari awal diciptakan oleh dan untuk negara maju sehingga sering asumsi-asumsi yang dipakainya tidak cocok dengan negara berkembang. Ekonom Thomas E. Weiskopf menjelaskan di negara-negara yang menggunakan sistem ekonomi kapitalis memiliki tiga arah kemungkinan perkembangan.
Pertama, ketika jarak antara yang miskin dan kaya semakin melebar akan terjadi sebuah revolusi dimana kaum miskin mengambil alih kekuasaan.
Kedua, pemerintah subsidi kepada masyarakat miskin dalam bentuk bantuan sosial, tunjangan kesehatan, tunjangan hari tua dan bantuan pangan. Biasanya akan dilakukan oleh negara-negara kapitalis kaya karena tersedianya dana dalam jumlah besar. Cara ini memang efektif untuk menekan polarisasi antara yang kaya dan miskin tetapi, sebenarnya tidak menyelesaikan akar masalah kemiskinan.
Ketiga, di negara-negara yang masih miskin dan menerapkan sistem ekonomi kapitalis. Pemerintah akan melakukan represi militer. Ini adalah pilihan satu-satunya untuk mencegah adanya revolusi karena negara tidak punya cukup uang untuk memberi subsidi pada masyarakat. Sementara kondisi kesenjangan ekonomi sangat kentara di negara-negara kapitalis miskin.
Bercermin dari penjelasan tersebut, Indonesia memang tergolong pada skenario kedua, meskipun penjelasan oleh Weuskopf hanya membagi masyarakat menjadi dua kelas yakni kaum kaya dan kaum miskin. Kelas menengah sendiri kemungkinan besar lebih mampu melakukan protes dan menimbulkan gejolak sosial dibandingkan kaum miskin. Setidaknya ada beberapa alasan yang mendasari pandangan saya tersebut.
Pertama, kelas menengah sudah dapat dikatakan sebagai kelas yang memiliki kesadaran lebih baik daripada kelas miskin. Akses terhadap pendidikan sudah diperolehnya sehingga dapat munculnya kesadaran atas haknya. Sebagai kelas yang terdidik, kelas menengah sangat memungkinkan mengenali adanya kekeliruan secara sistem atas kondisi yang dialaminya.
Kedua, kelas menengah memiliki waktu luang meskipun tidak sebanyak kelas kaya. Waktu luang ini memberi kesempatan untuk berpikir dan mencari informasi terkait kondisi kelasnya. Tentu ini berbeda dengan misalkan, petani yang hampir seharian waktunya habis untuk berladang dan tidak memiliki waktu untuk menganalisis situasi sosial ekonomi masyarakat. Kelas menengah masih memiliki kemewahan waktu untuk berpikir dan menganalisa.
Ketiga, kelas menengah memiliki akses terhadap informasi sehingga memungkinkan ia akan turut teragitasi untuk memprotes kondisi sosial ekonomi yang tengah terjadi.
Apabila pemerintah tidak segera merumuskan kebijakan untuk kelas menengah ini, fenomena yang terjadi di negara Chile bisa saja terjadi di Indonesia. Dengan target menuju Indonesia Emas, negara ini membutuhkan pertumbuhan ekonomi yang stabil. Sudah wajib hukumnya untuk memperhatikan kelas menengah agar tidak terjadi goncangan yang timbul karena kemarahan kelas menengah ini.