Media sosial kerap diramaikan oleh isu penyalahgunaan Kartu Indonesia Pintar Kuliah (KIP-K). Tidak jarang warganet melakukan doxing terhadap para pelaku dengan menyebarluaskan identitas mereka beserta gaya hidupnya yang sering kali memperlihatkan kesan hedonisme. Apa itu KIP-K dan apa yang bisa kita pahami dari penyalahgunaan KIP-K yang marak terjadi?
KIP-K merupakan sebuah program bantuan biaya pendidikan yang digelontorkan oleh pemerintah Indonesia sejak tahun 2020 untuk mahasiswa berprestasi yang memiliki keterbatasan ekonomi dalam melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi. Tujuan dari program ini adalah untuk mendorong pemerataan akses pendidikan tinggi bagi seluruh kalangan masyarakat, terutama yang berasal dari daerah terpencil, tertinggal, dan terluar (3T). Beasiswa ini mencakup pendanaan untuk pendaftaran seleksi masuk perguruan tinggi, uang kuliah tunggal (UKT), dan biaya hidup.
Pada pelaksanannya, KIP-K berhasil dalam meningkatkan akses pendidikan tinggi bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Berdasarkan data BPS tahun 2014, tingkat partisipasi kasar (TPK) pendidikan tinggi untuk kuintil pendapatan terendah adalah 6%, berbanding jauh dengan masyarakat berpendapatan tinggi yakni sekitar 40%. Sejak dicanangkanya program KIP-K, tingkat partisipasi kasar (TPK) untuk kuintil pendapatan terendah telah mengalami peningkatan hampir dua kali lipat, yakni sebesar 12% pada tahun 2021. Tidak heran apabila biaya yang digelontorkan pemerintah kian meningkat setiap tahunnya. Pada tahun 2024 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (kemendikbud) menggelontorkan dana sebesar Rp13,9 triliun dengan total sasaran penerima 985.577 mahasiswa.
Namun, ditemukanya kasus-kasus penyalahgunaan KIP-K menimbulkan pertanyaan mendalam mengenai proses seleksi program ini. Mengapa beasiswa ini dapat melenceng dari sasaran dan tak dimanfaatkan sebagaimana mestinya? Alokasi dana hasil pajak masyarakat seyogyanya digelontorkan kepada pihak-pihak yang tepat guna memenuhi kebutuhan yang sesuai dengan tujuan mulia pendidikan.
Dugaan dan kekecewaan terhadap penyalahgunaan tersebut menjadi marak di lingkungan mahasiswa akhir-akhir ini. Berawal dari sebuah cuitan pada akun X @undipmenfess yang mengutarakan kekecewaan terhadap salah satu mahasiswa Universitas Negeri Diponegoro (Undip) yang menggunakan dana KIP-K nya untuk gaya hidup hedonisme. Cuitan tersebut memunculkan domino effect, dimana akun-akun menfess kampus lain, seperti @DraftAnakUnpad dan @um_fess melakukan aksi serupa. Dari informasi yang beredar, ditemukan bahwa beberapa mahasiswa penerima KIP-K menunjukan gaya hidup dan citra yang tidak sesuai dengan target sasaran dari program ini, seperti memiliki barang-barang branded, jalan-jalan keluar kota, atau menonton konser mahal.
Gejala Chilean Paradox
Namun demikian, di luar dari tindakan nir empati para pelaku dan kealpaan pemerintah dalam mengelola program ini, terdapat aspek lain yang perlu kita soroti. Penyalahgunaan KIP-K secara tidak langsung menjadi salah satu wujud dari gejala Chilean Paradox.
The Chilean Paradox merupakan fenomena kerusuhan sosial yang terjadi di negara bagian Amerika Latin, Cile, pada Oktober 2019. Kerusuhan meletus ketika perekonomian Cile sedang dalam posisi terbaik, di mana negara tersebut berhasil menurunkan kemiskinan dari 53% menjadi 6% namun ternyata jurang ketidakpuasan terletak pada kebutuhan kaum menengah yang terabaikan.
Kebijakan-kebijakan pemerintah Cile pada saat itu terlalu difokuskan untuk masyarakat kelas bawah, sedangkan kebutuhan kelas menengah terhadap pendidikan yang layak serta fasilitas umum yang nyaman kurang mendapatkan perhatian. Akibatnya, lebih dari satu juta orang melakukan aksi turun ke jalan dan berlangsung secara anarkis hingga menewaskan hampir 18 orang. Presiden Cile saat itu, Sebastian Pinera, sampai mengumumkan reshuffle besar-besaran pada kabinet.
Fenomena tersebut seharusnya menjadi refleksi bagi pemerintah Indonesia yang tengah mengalami situasi hampir serupa. Kebijakan pemerintah selama ini banyak difokuskan untuk golongan populis (masyarakat kelas atas dan bawah). Berbagai bantuan sosial dicanangkan, namun sebagian besar diperuntukan bagi kalangan bawah. Pemerintah juga mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang semakin mendorong iklim investasi yang memudahkan birokrasi kalangan atas, sedangkan kalangan menengah seakan dianaktirikan.
Kasus penyalahgunaan KIP-K di atas sebetulnya sudah menjadi bentuk dari gejala The Chilean paradox yang dapat terjadi di Indonesia. Merujuk pada realita, kaum menengah di Indonesia saat ini kerap dilanda dilema dalam mengakses kebutuhan. Sebagaimana dikatakan oleh Chatib Basri, mantan Menteri Keuangan Indonesia, “kelas menengah tidak memiliki banyak pilihan, kurang mendapatkan instrumen perlindungan sosial dan tidak berhak mendapat bantuan sosial karena bukan termasuk kelompok miskin.” Mereka berada pada “zona abu-abu”, tidak mendapat manfaat dari program pemerintah namun juga tidak mampu untuk membeli kelas premium.
Dilema tersebut salah satunya dialami dalam konteks pendidikan. Sejumlah perguruan tinggi di Indonesia mematok besaran uang kuliah tunggal (UKT) dan uang pangkal yang semakin sulit untuk ditembus masyarakat, berkisar 40 – 75 juta rupiah. Yang paling terdampak dari masalah ini tentunya adalah masyarakat kelas menengah, pemasukan yang mereka miliki tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan pendidikan yang tinggi, namun aset yang dimiliki tidak menjadikan mereka masuk ke dalam golongan yang bisa mendapat bantuan pemerintah. Tidak jarang mereka harus masuk ke dalam kubangan pinjaman dana pendidikan (student loan). Setelah lulus, mereka akan mendapatkan beban ganda, yakni untuk mencari pekerjaan dan membayar utang pendidikan, namun di sisi lain persentase penyerapan tenaga kerja lulusan universitas baru menyentuh angka 10,3 persen. Kondisi ini secara tidak langsung menyebabkan pemiskinan calon tenaga kerja secara struktural.
Pendidikan yang seharusnya menjadi hak pokok seluruh masyarakat dengan tujuan membangun kehidupan yang lebih layak justru kini diibaratkan menjadi ladang judi, menimbulkan ketidakpastian dan ketakutan akan kesia-siaan. Apabila tidak segera diatasi, kondisi ini dapat berujung pada meningkatnya ketidakpuasan sosial dan polarisasi kelas yang semakin tajam. Kelas menengah dihadapkan pada dua pilihan, berjuang dalam keterbatasan sambil dilanda kecemburuan sosial akibat ketidakadilan kebijakan atau justru menyamar menjadi bagian dari kelas bawah itu sendiri guna mendapatkan bantuan sebagai ujung dari keputusasaan.
Realita itulah yang dapat kita lihat dalam kasus penyalahgunaan KIP-K. Banyak mahasiswa dari kalangan menengah yang merasa terdesak untuk memanipulasi data ekonomi keluarga mereka demi bisa mengakses bantuan yang sejatinya diperuntukkan bagi masyarakat dengan kondisi ekonomi terbawah. Fenomena ini tidak hanya menunjukkan adanya ketimpangan yang semakin nyata dalam akses pendidikan tinggi, tetapi juga menyoroti betapa mendesaknya kebutuhan akan reformasi sistem bantuan pendidikan yang lebih adil dan tepat sasaran.