Berdasarkan hasil perhitungan cepat, pilpres dilaksanakan satu putaran dengan Prabowo-Gibran sebagai pemenang. Namun, bagaimanapun hasil hitung cepat, perhitungan suara secara manual berjenjang yang dilakukan Komisi Pemilihan Umum (KPU) tetap menjadi satu-satunya sandaran dan menentukan hasil akhir.
Berbeda dengan pemilu sebelumnya di era Reformasi, pemilu kali ini diwarnai adanya anomali sekaligus ketidaknetralan pejabat negara yang bermuara pada persoalan etika. Pencalonan Gibran Rakabuming Raka melalui sengkarut putusan MK 90/PUU-XXI/2023 sebagai cawapres Prabowo Subianto serta keberpihakan Presiden Jokowi terhadap paslon nomor urut 2 mencemari pagelaran Pemilu 2024.
Dua skandal itu sudah cukup untuk mempersoalkan legitimasi Pemilu 2024. Buku Il Principe sebagai kamus kaum dikatator memberi pelajaran penting perihal bagaimana kekuasaan digunakan untuk mempertahankan kuasa dengan mengorbankan hukum. Hukum digunakan untuk membenarkan kesewenang-wenangan. Persis lakon Raja Louis IV sebagai pemimpin despot yang mendaku diri sebagai “hukum” sehingga hukum bisa ia belokkan sesuai keinginannya. Pada akhirnya, Louis IV dipenggal ketika Revolusi Perancis (1789) mengemuka sebagai wujud kejengkelan rakyat Prancis terhadap kesewenang-wenangannya.
Pemimpin diktator selalu memperalat hukum demi mempertahankan kekuasaan. Apakah hal serupa terjadi di Indonesia saat ini? Pembaca yang budiman bisa menyimpulkan sendiri.
Kemerosotan Etika, Kemerosotan Demokrasi
Kesalahan memaknai pemilu menyebabkan regresi demokrasi. Ketika seseorang menganggap pemilu adalah segala-galanya, maka cara paling busuk pun rela ditempuh demi menang pemilu. Padahal, pemilu hanya bagian kecil dari demokrasi.
Selain pemilu, demokrasi punya banyak aspek seperti jaminan hak asasi manusia, kesetaraan warga negara, tata kelola pemerintahan yang baik, pemisahan kekuasaan (trias politica), dan negara hukum konstitusional—yang di dalamnya terdapat penyelenggaraan pemilu. Dalam teori demokrasi pun, penyelenggaraan pemilu dimaknai sebatas demokrasi prosedural, bukan demokrasi substansial.
Netralitas pejabat tinggi negara dan Aparatur Sipil Negara (ASN), penegakan kecurangan pemilu yang berkeadilan, keterbukaan informasi publik, independensi penyelenggara pemilu, pemilu berdasarkan ide dan gagasan adalah syarat tercapainya demokrasi substansial. Demokrasi substansial menuntut tegaknya moral dan etika publik. Etika sebagai pemandu menuntun seseorang berkompetisi secara adil dan menjauhi potensi praktik manipulasi kecurangan pemilu. Hal ini justru tidak dicontohkan pemimpin tertinggi yang malah mempertontonkan pelanggaran etika secara telanjang.
Ketika pemilu hanya untuk berebut kuasa, isinya hanya politik pragmatis, bukan nilai perjuangan demokrasi. Tanpa nilai, politik pragmatis itu diisi dengan politik transaksional, politik oportunis, politik uang. Penuh intrik, tapi kosong nilai dan kebermanfaatan buat rakyat.
Baca juga:
Skandal yang mewarnai Pemilu 2024 adalah bukti hilangnya legitimasi rakyat. Artinya, penerimaan masyarakat terhadap proses pemilu sangat minim karena begitu banyak kecurangan terjadi. Persoalan minimnya legitimasi rakyat ini tanda bahwa demokrasi substansial belum dihayati secara maksimal.
Demokrasi substansial dan politik nilai mempunyai maksud yang sama, yaitu sama-sama menginginkan pemilu diasuh berdasarkan kejujuran. Kejujuran berproses dalam politik melalui kontestasi persaingan pemilu secara adil adalah prinsip perjuangan demokrasi. Tanpa kejujuran, pemilu hanya akan dihiasi oleh politik kemunafikan melalui langgam kampanye hitam, politik uang, politik persekongkolan. Itu semua yang dilakukan oleh para elit politik kita, khususnya mereka yang merapat pada Jokowi dan orang-orang di gerbong paslon nomor 2.
Dewasa Berdemokrasi
Abraham Lincoln pernah berujar, “Seseorang bisa berbohong sewaktu-waktu terhadap semua orang, bisa juga berbohong setiap waktu terhadap seseorang, tapi dia tidak bisa berbohong setiap waktu terhadap semua orang.” Politik cawe-cawe dan pemihakan Presiden Jokowi merupakan pembohongan publik yang begitu terang-terangan.
Di era Jokowi, demokrasi tinggal omong kosong. Hukum ditiadakan, etika ditanggalkan, moral dilucuti sampai-sampai masyarakat bingung dengan apa yang sesungguhnya sedang terjadi dengan negara ini. Pernyataan sikap guru besar kampus-kampus tanahair bagai teriakan di tengah gurun pasir yang gaduh sebentar, lalu dengan segera dilupakan.
Upaya para intelektual membunyikan alarm peringatan kepada Jokowi agar tidak melenceng dari rel bernegara boleh dibilang tidak berpengaruh sama sekali. Pemilu sudah terselenggara dengan begitu banyak catatan dan keganjilan. Sebentar lagi, masyarakat akan memperoleh hasil perolehan suara resmi dari KPU, yang kalaupun digugat ke Mahkamah Konstitusi akan sia-sia karena kesemuanya adalah bagian persekongkolan politik paling jorok pasca Reformasi.
Rakyat akan sangat berat hati menerima hasil Pemilu 2024 setelah kecurangan terjadi bertubi-tubi. Sebagai masyarakat yang demokratis, mari perjuangkan kembali demokrasi yang telah dirampas secara brutal oleh para elit dengan terus mengawal proses pemilu hingga akhir dan mengisi pos-pos kritis yang telah lama ditinggalkan oleh partai politik.
Ingat, pemilu hanya bagian kecil dari demokrasi. Selalu kritis dan terus mencatat gerak-gerik politik pemerintahan adalah cara paling rasional untuk menjaga kewarasan dalam rangka mengawal proses membangun demokrasi yang tidak akan pernah final sampai kapan pun.
Editor: Emma Amelia